Strategi AS Menghadang Tiongkok
Strategi AS Menghadang Tiongkok
untuk pertama kalinya, Amerika Serikat berpartisipasi dalam East Asian Summit (EAS) yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, pada 17-19 November 2011. Bersama
Rusia, AS merupakan anggota baru forum dialog negara-negara ASEAN+6 (Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru) itu. Meskipun letak geografisnya jauh di luar wilayah negara-negara ASEAN+6, AS tampaknya tidak ingin ketinggalan dinamika perdagangan di pasar terbesar di dunia ini (sekitar 3,5 miliar penduduk).
Hal itu terbaca dari pernyataan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dalam EAS ke-6 di Hanoi, Vietnam, pada Oktober 2010 lalu: “The East Asia Summit, where you bring other countries in addition to the core ASEAN countries together to discuss political and security matters, is a very important forum for the US to be part of. Where issues of a political, economic, and security consequence are being discussed in the region, the US wants to be there.”
Pernyataan Hillary merupakan sinyal bahwa AS tidak akan melepaskan ASEAN dari orbit pengaruhnya. Apalagi, AS tertinggal satu langkah dari Tiongkok yang telah menyepakati perjanjian ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). AS sesungguhnya gelisah dengan tampilan luar biasa Tiongkok di kawasan ini. Betapa tidak, baru satu tahun ACFTA digulirkan, Tiongkok telah berhasil menancapkan pengaruhnya secara kokoh di Asia Tenggara.
Dua tahun terakhir, komoditas Tiongkok kian merajai pasar ASEAN. Dimana-mana, kita dapat dengan mudah menemukan produk Tiongkok di pasaran. Harganya relatif murah dengan kualitas unggul. Tidak mengherankan jika pada 2010, ekspor Tiongkok ke ASEAN mencapai USD 117,7 miliar, melebihi impornya sebesar USD 113,5 miliar. Khusus ke Indonesia, Tiongkok mampu meningkatkan ekspornya dari USD 14,8 miliar (2009) menjadi USD 20,2 miliar (2010).
Kompetisi Sengit Kompetisi head to head AS versus Tiongkok telah
berlangsung sejak satu dasawarsa lalu. Semula, AS tidak menyadari bahwa Tiongkok sedang bangkit dari tidur panjangnya karena Paman Sam lebih disibukkan dengan war on terrorism. Namun, ketika kebangkitan Tiongkok kian nyata dan berpotensi menjadi ancaman, AS tampak terkejut dan kelabakan.
Perlahan tapi pasti, Tiongkok merebut dominasi AS di sejumlah kawasan, termasuk Asia Tenggara. Di masa lalu, Tiongkok sering dianggap ancaman bagi negara-negara Asia Tenggara sampai-sampai Indonesia memutuskan hubungan diplomatik selama 22 tahun (1967-1989). Tetapi, Tiongkok masa lalu berbeda dengan Tiongkok masa kini. Sekarang Sang Naga yang terus menggeliat telah mampu mengubah predikat sebagai ancaman menjadi mitra strategis. Hal ini tak terlepas dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang sangat signifikan.
Sejak awal 1980-an, Tiongkok mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata 9 persen dan saat ini mempecundangi AS. Di kala pertumbuhan ekonomi Tiongkok terus meningkat tinggi dan cenderung stabil, AS justru menurun drastis. Tahun lalu, Tiongkok berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi 10,3 persen, jauh di atas AS yang hanya 2,8 persen. Setahun sebelumnya, AS bahkan mengalami pertumbuhan negatif akibat hantaman krisis ekonomi global.
Tidak hanya itu, Tiongkok telah menyalip Jerman sebagai eksportir terbesar serta menjungkalkan Jepang sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Rentetan kesuksesan yang mengesankan tersebut membuat Fareed Zakaria dalam bukunya The Post-American World (2011) menyebut Tiongkok sebagai “...the world’s largest country, fastest growing major economy, largest manufacturer, second largest consumer, largest saver, and (almost certainly) second largest military spender.” Pencapaian fantastis itu menjadikan kompetisi antara AS dan Tiongkok berlangsung semakin sengit.
Merangkul Kembali Meskipun AS tetap menjadi kekuatan ekonomi terbesar
global dengan GDP USD 14,66 triliun dan GDP Tiongkok baru mencapai USD 10,09 triliun, namun bukan berarti AS bakal aman. Dilihat dari neraca perdagangan kedua negara, AS mengalami defisit. Pada 2010, defisit perdagangan AS terhadap Tiongkok sebesar USD 273 miliar, melonjak USD 46,2 miliar dibandingkan tahun sebelumnya. Itulah sebabnya, AS pernah menekan Tiongkok agar mengapresiasi mata uang yuan untuk menyeimbangkan daya saing komoditasnya.
Mencermati realita itu, AS merasa penting untuk terlibat langsung dalam persaingan dagang di ASEAN+6. Sebab, kawasan ini memiliki prospek ekonomi yang lebih bagus dibandingkan Eropa yang sedang mengalami krisis. Karena itu, AS berhasrat merangkul kembali negara-negara yang sempat ditinggalkannya ketika perang melawan terorisme. Strategi AS itu diawali Presiden Barack Obama ketika berkunjung ke India, Indonesia, Korea Selatan, dan Jepang tahun lalu.
Dengan India, AS memiliki kemitraan strategis senilai USD
10 miliar. Dengan Indonesia, AS membangun kemitraan komprehensif dalam bidang ekonomi, sosial budaya, dan keamanan. Dengan Korea Selatan, AS bertekad menjaga 10 miliar. Dengan Indonesia, AS membangun kemitraan komprehensif dalam bidang ekonomi, sosial budaya, dan keamanan. Dengan Korea Selatan, AS bertekad menjaga
Melihat berbagai upaya AS itu, kehadiran Obama dalam EAS sesungguhnya dimaksudkan untuk memantapkan kembali kemitraan yang telah dibangun seraya memperluasnya ke negara-negara lain. Bagi AS, dukungan negara-negara ASEAN+6 dalam menghadang laju Tiongkok merupakan kepentingan utama dalam konferensi ini. Kebangkitan Tiongkok perlu dihadang lantaran negara ini diprediksi bakal mendongkel posisi AS sebagai satu-satunya superpower global saat ini.
Sebagai negara besar di kawasan, Indonesia tidak boleh tergiring permainan AS dan Tiongkok. Indonesia harus terlibat aktif dalam permainan dengan terus berupaya meningkatkan posisi tawar di hadapan dua raksasa tersebut. Jika tidak, Indonesia bakal tergilas laju gesit keduanya.
16 November 2011