Strategi Kultural Menumpas Terorisme
Strategi Kultural Menumpas Terorisme
enggerebekan teroris oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror di Cawang dan Cikampek (12/5) serta di Sukoharjo (13/5) yang menewaskan lima tersangka teroris
menyisakan persoalan mendasar bagi penanganan terorisme di masa depan. Mengulangi kejadian serupa yang menewaskan Dr. Azahari di Malang (9/11/2005), Noordin M. Top di Solo (17/9/2009), dan Dulmatin di Tangerang (9/3/2010), serangkaian operasi Densus 88 sepertinya lebih difokuskan pada penggunaan kekuatan bersenjata ( hard power) daripada upaya preventif untuk merekonstruksi pemahaman ideologis para pelaku terorisme ( soft power).
Banyak pihak menyayangkan aksi polisi yang memilih jalan kekerasan dengan menembak mati tersangka teroris. Sejumlah LSM seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesian Police Wacth (IPW), Komnas HAM, dan Yayasan Prasasti Perdamaian menilai penembakan mati teroris melanggar hak asasi dan itu bukanlah langkah solutif ( Republika, 18 Mei 2010).
Artinya, ada kesalahan fundamental dalam strategi itu. Strategi struktural kekerasan sesungguhnya tidak menyelesaikan akar masalah, melainkan justru memicu pertumbuhan jaringan teroris baru yang siap menebar teror berikutnya. Para pelaku teroris tidak takut dengan kekerasan karena kekerasan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bagi mereka, kematian adalah jalan pintas menuju surga sesuai dengan ajaran yang diyakini.
Pemahaman sempit keagamaan ini dibaca Mark Juergensmeyer dalam buku Terror in the Mind of God (2000) sebagai relasi intim antara pandangan hidup dengan aksi kekerasan. Pandangan hidup bagaikan sebuah nilai yang menggerakkan aksi-aksi kekerasan berbentuk teror.
Selama pandangan hidup seseorang bergeser dari nilai-nilai agama secara universal yang cinta damai, selama itu pula akar masalah terorisme menjadi penyakit kronis yang sukar disembuhkan. Karena itu, terorisme harus diatasi dengan mengidentifikasi dan memahami akar masalah yang melandasinya untuk menemukan sebuah strategi paling tepat dalam mengatasinya.
Akar Masalah Harus disadari, teror yang bersemai di Indonesia merupakan
panggilan suci untuk melawan ketidakadilan yang dilancarkan kekuatan-kekuatan besar dunia. Sebagai kaum minoritas, kelompok teroris merasa tidak nyaman dengan sistem ekonomi politik yang tidak mengakomodasi nilai-nilai fundamental yang mereka usung. Celakanya, mereka tidak memiliki daya kompetitif tinggi sehingga tidak mampu menguasai wacana yang berkembang di masyarakat.
Kondisi itu berdampak pada teralienasinya mereka dari sistem sosial kemasyarakatan. Dalam kondisi teralienasi, mereka lantas menghimpun diri dalam komunitas-komunitas kecil yang jauh dari pergaulan masyarakat. Mereka lalu mengonsolidasikan gerakan untuk melakukan perlawanan dengan bersandar pada radikalisasi pemahaman agama.
Pertemuan alienasi dan radikalisasi menghasilkan tafsir ayat suci yang diputarbalikkan sesuai kepentingan. Jihad yang sesungguhnya bermakna “perjuangan sungguh-sungguh untuk Pertemuan alienasi dan radikalisasi menghasilkan tafsir ayat suci yang diputarbalikkan sesuai kepentingan. Jihad yang sesungguhnya bermakna “perjuangan sungguh-sungguh untuk
Kekerasan menjadi senjata kelompok teroris untuk menekan pihak-pihak yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka. Melalui aksi teror, mereka mengabarkan pesan bahwa meskipun kondisi tidak berpihak pada mereka, tetapi mereka masih bisa eksis dan unjuk kekuatan. Akar masalah semacam inilah yang luput dari perhatian para pengambil kebijakan di negeri ini.
Strategi Masalah terorisme hanya bisa diselesaikan melalui strategi
kultural yang berlandaskan pada nilai-nilai sosial masyarakat. Strategi ini sangat tepat diterapkan dalam kasus terorisme di Indonesia karena dalam denyut nadi bangsa ini tersimpan jiwa perdamaian, keramahan, dan kesantunan. Bagi bangsa ini, kekerasan adalah musuh bersama yang harus dikalahkan sehingga tidak tepat jika kekerasan dilawan dengan kekerasan pula.
Karena itu, tiga aksi strategis semestinya dijalankan pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Pertama, pemerintah dan organisasi-organisasi keagamaan harus bersatu untuk menggiatkan dakwah kultural. Pengajian-pengajian di akar rumput harus dikonsolidasikan untuk menggagas sebuah pemahaman agama yang menebar rahmat bagi alam semesta sehingga mampu memutus sel-sel teroris yang juga bergerak di komunitas-komunitas keagamaan akar rumput. Semua agama tidak pernah mengajarkan terorisme. Sebaliknya, agama mengajarkan toleransi, moderasi, persaudaraan, dan kebaikan bersama; bukannya bom dan teror.
Kedua, rekonstruksi pemahaman agama yang dianut narapidana teroris. Selama ini belum ada langkah konkret Kedua, rekonstruksi pemahaman agama yang dianut narapidana teroris. Selama ini belum ada langkah konkret
Ketiga, penghapusan stigma mantan pelaku terorisme sebagai musuh masyarakat. Kecenderungan buruk yang berlaku di masyarakat adalah penolakan pada para pelaku kejahatan yang telah bertobat, termasuk mantan pelaku terorisme. Orang-orang seperti ini seringkali tidak diterima oleh masyarakat sehingga mereka pun merasa disingkirkan. Dampaknya, mereka bisa berpotensi kembali ke ideologi terorisme seperti yang sebelumnya dianut karena di situ mereka pasti diterima. Karena itu, stigma buruk mantan pelaku terorisme harus dihapuskan. Sebagai warga negara yang telah menjalani hukuman atas hasil perbuatannya, mereka berhak hidup tenang dan damai dalam pergaulan masyarakat.
14 Mei 2010