Terorisme Masih Jadi Ancaman
Terorisme Masih Jadi Ancaman
edakan bom di New Delhi (India) dan Quetta (Pakistan) pada Rabu, 7 September 2011, membuktikan terorisme masih menjadi ancaman serius. Dua bom yang meledak di
hari yang sama itu semakin menguatkan indikasi bahwa satu dekade pascatragedi 9/11, terorisme ternyata belum mati meskipun para pemimpinnya telah berguguran. Serangan bom tersebut juga kian melengkapi sebutan dasawarsa pertama abad ke-21 sebagai periode ‘tiada tahun tanpa teror’.
Betapa tidak, hampir setiap tahun setelah serangan teroris
11 September 2001, bom meledak di berbagai negara. Ledakan bom itu antara lain terjadi di Bali (12 Oktober 2002), Moscow (23 Oktober 2003), Madrid (11 Maret 2004), London (7 Juli 2005), Mumbai (11 Juli 2006), Aljir (11 April 2007), Istanbul (27 Juli 2008), Karachi (28 Desember 2009), Lahore (28 Mei 2010), dan Oslo (22 Juli 2011).
Rentetan insiden tersebut mengirimkan pesan bahwa perang global melawan terorisme tidak berdampak besar bagi keamanan global. Alih-alih menyelesaikan persoalan, war on terrorism justru meningkatkan intensitas aksi terorisme. Jika dibandingkan, jumlah aksi terorisme satu dasawarsa pasca-9/11 malah lebih tinggi dari sebelumnya. Dalam catatan Gus Martin (2006), setidaknya ada 43 peledakan bom pasca-9/11. Sedangkan, pada 1991-2001, ada sekitar 25 serangan terorisme di berbagai penjuru dunia.
Kematian Osama bin Laden pada 1 Mei 2011 juga tidak lantas menjadikan dunia aman dari ancaman terorisme.
Sebaliknya, kematian pemimpin Al Qaeda ini menjadi martir bagi gerakan-gerakan perlawanan yang menentang dominasi AS di kancah global. Mereka tampak siap melanjutkan perjuangan Osama untuk menyerang kepentingan AS dimanapun berada. Serangkaian ledakan bom di Pakistan dan Afghanistan sepanjang Mei-Agustus lalu bisa jadi merupakan balasan atas kematian Osama.
Tetap berseminya ancaman terorisme yang menargetkan AS sejatinya merupakan indikasi kegagalan strategi negara ini dalam mengatasi persoalan terorisme global. Sebagai negara yang mengklaim pemimpin perang melawan terorisme global, AS harus bertanggung jawab ketika ternyata perang yang dikumandangkannya justru disikapi dengan perlawanan global yang semakin mengancam perdamaian dunia. Celakanya, perlawanan itu tidak lagi terjadi di wilayah AS, tetapi di wilayah negara-negara yang selama ini mendapatkan kucuran dolar untuk memerangi terorisme.
Pakistan adalah contoh nyata negara yang menderita karena perang ini. Sejak menjadi sekutu utama AS dalam membasmi teroris, Pakistan selalu mendapatkan bantuan militer hampir 2 miliar dolar AS setiap tahun. Sebagian besar bantuan itu dialokasikan untuk membongkar jaringan terorisme di wilayah Pakistan dan sekitarnya. Namun, semakin gencar perburuan teroris di wilayah itu, semakin kencang pula perlawanan jaringan teroris terhadap pemerintah AS dan Pakistan. Akibatnya, hampir tiap tahun Pakistan selalu diserang teroris di berbagai kota seperti Karachi (2006), Peshawar (2007), Islamabad (2008), Lahore (2010), dan Punjab (2011).
AS paham sepenuhnya bahwa mereka sangat dibenci oleh teroris. Tetapi, AS salah memahami alasan di balik kebencian itu. AS menganggap jaringan teroris membenci AS hanya karena tidak sependapat dengan nilai-nilai ideal yang diusung AS seperti liberalisme, demokrasi, dan pasar bebas.
Padahal, jaringan teroris membenci AS bukan hanya karena nilai-nilai khas AS telah merusak nilai-nilai yang mereka anut, tetapi juga kebijakan-kebijakan AS telah mengakibatkan ketidakadilan global dimana-mana. Liberalisme yang telah merasuk dalam kehidupan masyarakat global dianggap sebagai ancaman bagi identitas-identitas lokal yang berkembang di berbagai sudut dunia, terutama di terrorist home ground. Kebijakan AS yang selalu membela Israel meskipun negara ini melancarkan aksi kekerasan terhadap rakyat Palestina dinilai sangat tidak adil.
Persoalannya, strategi yang ditempuh AS bukannya mengubah kebijakannya agar semakin bersahabat, tetapi malah mengeluarkan kebijakan yang lebih keras. Strategi yang dilancarkan juga tidak mengubah nilai-nilainya tetapi malah menyebarkan nilai-nilai itu sekaligus mengubah nilai-nilai yang dianut para pelaku teroris. Strategi itu dengan sangat telanjang diperlihatkan ketika menginvasi Afghanistan (2001) dan Irak (2003).
Meskipun tidak ada bukti kuat bahwa pemerintahan Taliban melindungi Osama, tetapi Presiden George W. Bush tetap mengirimkan mesin-mesin perang AS ke Afghanistan untuk menggulingkan Taliban. Kendati tidak ditemukan senjata pemusnah masal, Irak tetap diserang dengan tujuan untuk meruntuhkan kekuasaan Saddam Hussein. Berlindung di balik perburuan teroris, AS sebenarnya berniat mengekspor nilai-nilai demokrasi khas AS ke kedua negara itu. Tujuannya, dengan menganut demokrasi liberal, AS dapat ikut mengatur pergantian kekuasaan di Afghanistan dan Irak sekaligus mengontrol kedua negara ini.
Parahnya, warisan kebijakan Bush itu dipelihara Presiden Barack Obama dengan cara berbeda. Kebijakan Obama memang lebih lunak dibandingkan Bush. Tetapi, di balik kelunakannya itu, Obama sesungguhnya memiliki tujuan sama dengan pendahulunya, yakni menumpas habis pihak-pihak yang Parahnya, warisan kebijakan Bush itu dipelihara Presiden Barack Obama dengan cara berbeda. Kebijakan Obama memang lebih lunak dibandingkan Bush. Tetapi, di balik kelunakannya itu, Obama sesungguhnya memiliki tujuan sama dengan pendahulunya, yakni menumpas habis pihak-pihak yang
Bagi jaringan teroris, kebijakan ini dibaca sebagai perlawanan tidak langsung AS terhadap mereka. Karena itu, mereka pun juga tidak segan untuk terus menyerang AS dan sekutu-sekutunya. Akibatnya, terorisme masih terus menjadi ancaman meskipun telah diperangi selama satu dekade. Maka, jika AS tidak mengubah kebijakannya, jangan pernah berharap terorisme akan mati.
8 September 2011