Pelajaran dari Krisis Thailand
Pelajaran dari Krisis Thailand
risis politik Thailand dari hari ke hari menunjukkan perkembangan yang semakin mencekam. Sejak Maret lalu, krisis di Negeri Gajah Putih ini telah menewaskan
66 jiwa dan melukai lebih dari 1.700 orang. Bahkan, seminggu terakhir tercatat ada 37 orang tewas akibat bentrokan berdarah antara tentara Thailand dan massa Kaus Merah yang menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva ( Jawa Pos, 18/5/2010).
Krisis ini merupakan efek domino dari kudeta militer terhadap PM Thaksin Shinawatra pada 19 September 2006. Sejak Thaksin jatuh, Thailand tidak pernah lepas dari rentetan kerusuhan politik yang menjatuhkan penguasa. Dalam empat tahun terakhir, tercatat ada lima PM yang memimpin Thailand, yakni Suruyud Chulanont (1/10/2006-29/1/2008), Samak Sundaravej
(29/1/2008-9/9/2008), Somchai Wongsawat (10/9/2008-2/12/2008),
Chanweerakul (2-17 /12/2008), dan Abhisit Vejjajiva (17/12/2008-sekarang).
Chaovarat
Setiap pergantian PM hampir selalu diawali demonstrasi besar-besaran oleh pihak oposisi. Demonstrasi terakhir terjadi empat bulan setelah Abhisit dilantik sebagai PM. Waktu itu, massa pro-Thaksin memalukan pemerintahan Abhisit melalui keberhasilannya menggagalkan KTT ASEAN di Pattaya.
Bagi Indonesia, rentetan aksi anarkis yang berujung pada krisis politik tiada akhir di Thailand itu menghasilkan dua pelajaran berharga. Pertama, demokrasi harus mampu melahirkan pemerintahan kredibel yang dipercaya rakyat.
Kedua, pemerintahan kredibel harus bekerja secara serius untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pemerintah Kredibel Seluruh rakyat Thailand telah sepakat untuk menerapkan
demokrasi sebagai sistem terbaik dalam mengelola negara. Sebagai manifestasi kedaulatan rakyat, jalan yang dipilih untuk memunculkan pemimpin negara adalah melalui mekanisme pemilihan umum. Pemilu telah digelar secara periodik untuk menghasilkan pemerintahan yang sah. Tetapi, setiap kali hasil pemilu keluar, protes selalu bermunculan dari pihak yang kalah.
Pemilu terakhir pada 23 Desember 2007 di luar dugaan dimenangkan Partai Kedaulatan Rakyat (PPP) yang memiliki hubungan dekat dengan Thaksin. Hasil ini ditolak oleh massa pendukung kudeta terhadap Thaksin sehingga mereka berupaya tanpa henti menjatuhkan pemerintahan pro-Thaksin dengan segala cara. Upaya ini berhasil setelah sejumlah bandara di Thailand diduduki massa dari Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) sehingga menciptakan kebuntuan politik yang berbuah pada keputusan parlemen untuk menggelar pemilihan PM yang dimenangkan Abhisit pada 15 Desember 2008.
Itu berarti demokrasi Thailand telah gagal menghasilkan pemerintahan terpercaya. Kredibilitas pemerintahan hasil Pemilu 2007 sangat rendah di mata rakyat karena diduga korup. Pemerintahan Abhisit juga mengalami krisis kepercayaan karena tidak mampu memenuhi kesejahteraan rakyat. Thailand telah memberikan pelajaran bagi Indonesia bahwa pemilu harus diikuti dengan pemenuhan harapan mayoritas rakyat. Jika tidak, rakyat akan mencabut mandat pemerintahan yang sah dengan segala cara.
Indonesia termasuk mulus dalam melaksanakan pemilu di era reformasi. Pemilu 2004 dan 2009 menghasilkan Indonesia termasuk mulus dalam melaksanakan pemilu di era reformasi. Pemilu 2004 dan 2009 menghasilkan
Kesejahteraan Rakyat Di negara manapun, rakyat pasti mengimpikan hidup
sejahtera. Bagi banyak orang, demokrasi dipercaya mampu mewujudkan impian itu. Thaksin adalah pemimpin demokratis yang mampu menghadirkan kesejahteraan bagi mayoritas rakyat di pedesaan. Tetapi, Thaksin tidak mampu memakmurkan masyarakat kelas menengah karena kekuasaannya justru dimanfaatkan
bisnisnya dengan menyingkirkan para pengusaha.
untuk
kepentingan
Sebaliknya, Abhisit mampu memenuhi harapan kelas menengah Thailand, tetapi tidak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat miskin. Tak heran, mayoritas demonstran yang menuntut pengunduran dirinya adalah orang-orang miskin. Meskipun Abhisit bebas dari korupsi, tetapi yang paling penting bagi rakyat Thailand adalah bagaimana mereka bisa makan teratur setiap hari.
Pelajaran yang bisa diambil oleh Indonesia adalah kesejahteraan harus dinikmati oleh semua kalangan, tidak peduli dia berasal dari desa atau kota, tidak memandang dia termasuk golongan masyarakat bawah atau menengah. Tanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan ada di di pundak pemerintah. Karena itu, pemerintah Indonesia harus secara serius meningkatkan kesejahteraan rakyat secara merata di semua kawasan.
Kita masih sering melihat, di beberapa daerah pinggiran, ada orang tidak punya uang untuk makan, ada anak putus sekolah karena tidak memiliki biaya, dan ada bayi sakit-sakitan karena orangtuanya tidak mampu mencukupi kebutuhan gizi. Sementara, di daerah yang dekat dengan pusat kekuasaan, banyak orang bergelimang harta karena mendapatkan fasilitas istimewa dari pemerintah.
Ke depan, kita tentu tidak menginginkan ketimpangan semacam itu terus abadi di negeri ini. Karena itu, agar tidak mengalami krisis seperti Thailand, program-program kesejahteraan harus lebih diprioritaskan daripada program- program politis yang realitanya hanya kosmetik belaka untuk memoles citra baik pemerintah di mata rakyat.
21 Mei 2010