Cukup Sudah Malaysia!

Cukup Sudah Malaysia!

alaysia kembali berulah. Setelah mengklaim kepemilikan Ambalat, kesenian reog Ponorogo, tari pendet, dan lagu “Rasa Sayange”, Polisi Diraja Malaysia

menangkap tiga petugas Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam di Tanjung Berakit, Kepulauan Riau, Jumat pekan lalu (13/8). Mereka ditangkap ketika menggiring lima kapal nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan yang masih termasuk dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia itu.

Dalam perkembangannya, masalah itu berakhir damai setelah pemerintah kedua negara sepakat menukar tiga aparat Indonesia dengan tujuh maling ikan asal Malaysia yang tertangkap. Mencermati cara penyelesaian itu, tampak sekali adanya pelecehan yang dilakukan Malaysia kepada Indonesia. Bagaimana bisa tujuh maling ikan yang terbukti bersalah melanggar hukum laut internasional karena mencuri di perairan negara lain dibarter dengan tiga aparat yang menegakkan hukum di wilayah kedaulatan negaranya?

Perasaan kita sebagai anak bangsa yang berdaulat jelas teriris melihat model penyelesaian itu. Pemerintah Indonesia bukannya bersikap tegas dengan memproses tujuh maling ikan tersebut sesuai hukum yang berlaku, tetapi justru membebaskannya setelah diiming-imingi pembebasan tiga aparat negara ini. Wajar saja jika ada yang berpendapat bahwa Malaysia sengaja menangkap dan menahan aparat negara kita Perasaan kita sebagai anak bangsa yang berdaulat jelas teriris melihat model penyelesaian itu. Pemerintah Indonesia bukannya bersikap tegas dengan memproses tujuh maling ikan tersebut sesuai hukum yang berlaku, tetapi justru membebaskannya setelah diiming-imingi pembebasan tiga aparat negara ini. Wajar saja jika ada yang berpendapat bahwa Malaysia sengaja menangkap dan menahan aparat negara kita

Kelemahan Posisi Tawar Proses penyelesaian melalui barter tahanan yang tak setara

menunjukkan kelemahan posisi tawar Indonesia dalam menghadapi Malaysia. Sudah berulang kali negara tetangga kita itu mengganggu kedaulatan Indonesia, tetapi berulang kali pula negara ini tak berdaya melawannya. Penyebabnya, pertama, Malaysia menganggap Indonesia sebagai musuh, sebaliknya Indonesia menganggap Malaysia sebagai mitra strategis.

Karena itu, Malaysia selalu merasa terancam oleh Indonesia sehingga selalu berupaya merebut sedikit demi sedikit tiap jengkal wilayah kedaulatan negara kita. Sebaliknya, Indonesia selalu berusaha memahami apa yang dilakukan Malaysia sehingga sikap toleran selalu ditampilkan untuk menjaga hubungan baik sebagai mitra strategis. Indonesia seolah takut jika Malaysia marah karena bakal kehilangan mitra strategis, tetapi Malaysia tak pernah takut jika Indonesia marah karena selalu siap siaga berperang melawan musuh.

Persepsi semacam itu tampak jelas di lapangan ketika Polisi Diraja Malaysia berani menerobos wilayah Indonesia dan mengeluarkan tembakan peringatan dua kali untuk menangkap petugas patroli Indonesia. Dalam persepsi Malaysia, musuh harus dihadapi dengan kekuatan senjata. Ironisnya, aparat Indonesia tidak dibekali senjata api sehingga tak kuasa melawan karena dalam persepsi Indonesia, mitra strategis tidak boleh dihadapi dengan senjata, melainkan negosiasi dan diplomasi.

Kedua, nasib jutaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia menjadi dilema tersendiri bagi Indonesia. Pemerintah mengkhawatirkan keselamatan TKI jika bersikap keras terhadap Malaysia. Dalam kondisi damai saja banyak TKI Kedua, nasib jutaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia menjadi dilema tersendiri bagi Indonesia. Pemerintah mengkhawatirkan keselamatan TKI jika bersikap keras terhadap Malaysia. Dalam kondisi damai saja banyak TKI

Oleh sebab itu, pemerintah selalu memilih bersikap lunak terhadap apapun gangguan yang dilancarkan Malaysia sehingga tampak lemah berhadapan dengan negara yang merebut Sipadan dan Ligitan dari Indonesia ini. Daya tawar yang lemah menyebakan Indonesia ragu bertindak keras kepada Malaysia. Dalam kondisi demikian, Malaysia merasa berada di atas angin sehingga tak segan menunjukkan arogansinya yang kadang kala kelewat batas.

Ketegasan Pemimpin Di tengah posisi tawar yang lemah, ketegasan pemimpin

sangat diperlukan negeri ini untuk melawan arogansi Malaysia. Pemimpin yang tidak tegas, peragu, dan lemah hanya menjadikan negara ini bulan-bulanan negara tetangga. Karena itu, pemimpin yang tegas, kuat, dan berwibawa dibutuhkan untuk menggertak balik Malaysia.

Di masa lalu, Soekarno mampu dan berani melakukan itu dengan rencananya mengganyang Malaysia. Sayangnya, di masa kini, Presiden Yudhoyono tidak berani melakukannya. Di kala kedaulatan negara terancam, Yudhoyono tidak mengeluarkan komentar apapun dan justru sibuk memoles citra diri dengan membagi-bagikan buku-buku tentang keluarganya ketika upacara peringatan 65 tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara (17/8/2010).

Memang benar, pemerintah -melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa- telah melayangkan nota diplomatik berisi protes keras. Namun, langkah itu belum cukup mengingat sepanjang tahun ini, Indonesia telah mengirimkan sembilan nota diplomatik dan semuanya tidak ditanggapi serius Malaysia.

Buktinya, meskipun berkali-kali diprotes Indonesia, Malaysia tetap saja melanggar kedaulatan negara kita.

Manakala nota diplomatik tidak cukup ampuh menghentikan agresivitas Malaysia, sikap lebih tegas dan keras semestinya diambil pemerintah. Demi menjaga martabat dan harga diri kita sebagai sebuah negara-bangsa yang berdaulat, pemerintah tidak perlu ragu untuk mengusir duta besar Malaysia untuk Indonesia dan menarik pulang duta besar Indonesia untuk Malaysia. Cukup sudah Malaysia mempermainkan kita! 

19 Agustus 2010