Negara di Tapal Batas
Negara di Tapal Batas
enjelang ulang tahun ke-65 proklamasi kemerdekaan Indonesia, republik ini tampak semakin tertatih-tatih dalam mengarungi kompetisi global. Dihadapkan pada
persaingan bebas melintasi batas-batas negara, kita tampak kewalahan dalam mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju yang mendapatkan banyak keuntungan dari proses globalisasi. Ketika negara-negara maju semakin kaya, Indonesia justru terus dibelit problem kemiskinan yang melanda 32,53 juta rakyat negeri ini. Jika diamati, globalisasi memang melahirkan ketimpangan antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Buktinya terlihat dari laporan tahunan Bank Dunia yang menunjukkan bahwa Gross National Product (GNP) per kapita negara-negara berkembang ternyata
20 kali lebih rendah dari negara-negara maju. Semangat globalisasi untuk melakukan homogenisasi sistem secara universal sepertinya berhasil dimanfaatkan oleh negara-negara maju untuk mengekspor nilai-nilai ekonomi liberalnya ke seluruh dunia.
Karena negara-negara tersebut memiliki daya kompetitif tinggi, nilai-nilai liberalisasi dagang yang mereka anut akhirnya menjadi nilai-nilai global yang mampu menerobos proteksi negara-negara berkembang. Globalisasi telah mendorong Indonesia terlibat perdagangan bebas dan memaksakan diri bergabung dalam ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) meskipun banyak pengusaha yang belum siap berkompetisi secara bebas. Persoalannya, dalam menghadapi perdagangan bebas itu, negara kita tampaknya tidak berbuat banyak.
Negara lalai dalam menyiapkan infrastruktur yang mampu memperkuat produsen-produsen dalam negeri untuk meningkatkan kualitas produksinya supaya komoditas yang dihasilkan bisa bersaing di pasar internasional. Negara juga tidak mengatur regulasi untuk menyiasati perdagangan bebas dengan mengerem serbuan produk impor agar tidak langsung bersaing dengan produk lokal maupun nasional. Akibatnya, komoditas perusahaan-perusahaan kita kalah bersaing dengan komoditas korporasi-korporasi global yang terbukti lebih berkualitas namun tetap terjangkau kocek masyarakat.
Gurita Korporasi Global Globalisasi pada dasarnya merupakan pengintegrasian
perekonomian nasional ke dalam sistem ekonomi global. Dalam integrasi itu, sistem proteksionis dihapuskan oleh perjanjian perdagangan yang melegalkan setiap arus masuk-keluar komoditas melintasi batas-batas negara. Terwujudnya aturan itu merupakan hasil perjuangan korporasi-korporasi global untuk memengaruhi negara dalam melegalisasi aturan perdagangan bebas yang menguntungkan mereka.
Dalam kondisi demikian, negara sebenarnya menggadaikan kedaulatannya ke tangan korporasi global. Tak heran apabila jumlah korporasi global tidak hanya meningkat pesat tiga dekade terakhir, tetapi juga mampu menguasai perekonomian dunia. Gurita bisnisnya yang menjalar ke banyak negara menjadikan korporasi global lebih berkuasa dibandingkan negara. Sebagian korporasi global, seperti ExxonMobil dan General Motors, bahkan memiliki kekayaan lebih besar daripada sebuah negara.
Di Indonesia, sejumlah peraturan direvisi untuk memuluskan investasi korporasi global di dalam negeri. Celakanya, ketika investasi itu merusak alam, negara tak berbuat banyak untuk menyelamatkan sumber daya negeri ini. Atas nama pembangunan, negara justru membela korporasi global Di Indonesia, sejumlah peraturan direvisi untuk memuluskan investasi korporasi global di dalam negeri. Celakanya, ketika investasi itu merusak alam, negara tak berbuat banyak untuk menyelamatkan sumber daya negeri ini. Atas nama pembangunan, negara justru membela korporasi global
Memperkuat Negara Ketika pemerintah justru mengakomodasi kepentingan
korporasi-korporasi global yang beroperasi di negeri ini dan bukannya melayani rakyat sebagai sumber kedaulatan, negara kita sesungguhnya berada di tapal batas. Negara tampak bimbang dalam menentukan posisi tegas, antara membela kepentingan korporasi global dengan resiko mengingkari kedaulatan rakyat ataukah membela kepentingan rakyat dengan resiko kehilangan investasi. Idealnya, negara harus mengutamakan rakyat, tetapi realitanya, negara justru memihak korporasi global. Tidak berlebihan jika kita menyebut Indonesia sesungguhnya bukanlah negara demokrasi, tetapi negara korporatokrasi.
Di tengah tapal batas itu, menolak globalisasi jelas bukan pilihan strategis karena membuat negara ini terisolasi dari pergaulan komunitas global. Karena itu, langkah yang harus diambil adalah negara tetap terlibat dalam proses globalisasi seraya memperkuat posisi tawarnya dalam berhadapan dengan aktor-aktor internasional lain, terutama korporasi global.
Penguatan negara bukan berarti mengubah negara menjadi otoriter dan bisa bertindak sewenang-wenang, melainkan menjadikan negara berwibawa tidak hanya di mata rakyat, tetapi Penguatan negara bukan berarti mengubah negara menjadi otoriter dan bisa bertindak sewenang-wenang, melainkan menjadikan negara berwibawa tidak hanya di mata rakyat, tetapi
Pemerintah yang bersih dan berwibawa pasti bertindak tegas dan menolak kompromi jika ada korporasi yang menawarkan konsesi dalam bentuk apapun. Pemerintah yang bersih dan berwibawa juga harus menyediakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat karena ini telah menjadi tanggung jawab negara ( state accountability) untuk menyejahterakan rakyat, bukannya malah mengalihkan tanggung jawab kepada korporasi ( corporate responsibility).
Pemerintahan sekarang sebenarnya memiliki modalitas besar untuk melakukan itu karena kuatnya legitimasi yang didapat dari rakyat. Tinggal sekarang bagaimana mengapitalisasi modalitas itu untuk menciptakan sebuah negara kuat yang tak mudah goyah oleh terpaan globalisasi. Karena itu, peringatan 65 tahun kemerdekaan Republik Indonesia hendaknya dijadikan momentum bersejarah untuk menyelamatkan negara yang sedang terancam oleh globalisasi ini dari kehancuran.
3 Agustus 2010
Warisan Arroyo dan Tantangan Noynoy
ada Rabu, 30 Juni 2010, Benigno “Noynoy” Aquino III dilantik sebagai presiden ke-15 Filipina. Putra pahlawan demokrasi Benigno “Ninoy” Aquino dan mantan Presiden
Corazon “Cory” Aquino itu terpilih sebagai presiden dalam pemilu 10 Mei lalu setelah meraih 15,2 juta suara (42 persen), unggul 5,7 juta suara dari rival terdekatnya, Joseph Estrada. Sementara itu, Gloria Macapagal Arroyo yang sebelumnya menjabat presiden selama sembilan tahun terpilih sebagai anggota Kongres.
Terpilihnya Noynoy menumbuhkan harapan rakyat Filipina untuk menikmati kesejahteraan ekonomi dalam kepemimpinan bermoral dan bersih dari korupsi yang tidak bisa diwujudkan Arroyo. Predikat Noynoy sebagai anggota dinasti Aquino kian melambungkan harapan itu karena orangtuanya dikenal sebagai tokoh prodemokrasi yang sangat peduli terhadap nasib rakyat.
Sejak Cory Aquino berhasil menumbangkan rezim otoritarian Ferdinand Marcos melalui people power pada 1986, demokrasi memang bersemai kembali di Filipina. Tetapi, iklim demokratis itu ternyata tidak diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat. Demokrasi justru dimanipulasi penguasa untuk memperkaya diri melalui aneka praktek korupsi yang mewabah mulai tingkat pusat hingga daerah. Di tangan Arroyo, praktek busuk itu kian berkembang luas.
Oleh sebab itu, ketika Noynoy muncul ke panggung politik Filipina dengan janji memerangi korupsi, rakyat tanpa ragu memercayakan nasib Filipina kepadanya. Senator berusia 50 Oleh sebab itu, ketika Noynoy muncul ke panggung politik Filipina dengan janji memerangi korupsi, rakyat tanpa ragu memercayakan nasib Filipina kepadanya. Senator berusia 50
Namun, melihat kondisi kontemporer Filipina, janji itu sepertinya tidak mudah diwujudkan. Filipina yang diwariskan Arroyo kepada Noynoy adalah Filipina yang sarat korupsi dan rawan pemberontakan. Warisan buruk itulah yang menjadi tantangan terbesar Noynoy sepanjang kepemimpinannya selama enam tahun ke depan.
Korupsi Dalam laporannya tahun 2009, Transparency International
menempatkan Filipina sebagai negara terbersih ke-139 (di antara 180 negara) di dunia. Negara ini masih lebih korup dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura (3), Brunei Darussalam (39), Malaysia (56), Thailand (84), dan Indonesia (111). Wajar jika Filipina menempati peringkat seburuk itu karena korupsi di negara ini telah berjalan secara sistemik. Tidak hanya para pejabat pemerintahan dan birokrat, korupsi bahkan diduga kuat juga dilakukan Arroyo semasa menjabat presiden.
Banyak orang percaya kemenangan Arroyo dalam Pemilu 2004 bukanlah kemenangan murni, melainkan sarat dengan kecurangan koruptif. Wakil presiden di era Estrada ini juga sering menggunakan kekuasaannya untuk melindungi bisnis keluarga dan kroninya. Realita itulah yang membulatkan tekad Noynoy untuk menyelidiki kasus korupsi Arroyo hingga tuntas.
Tetapi, tantangan ini sungguh sangat sulit terwujud. Sebab, sebelum mengakhiri jabatan presiden, Arroyo telah menunjuk salah seorang stafnya menjadi hakim agung dengan tujuan menghapus tuduhan korupsi terhadapnya. Selain itu, di masa Tetapi, tantangan ini sungguh sangat sulit terwujud. Sebab, sebelum mengakhiri jabatan presiden, Arroyo telah menunjuk salah seorang stafnya menjadi hakim agung dengan tujuan menghapus tuduhan korupsi terhadapnya. Selain itu, di masa
Janji Noynoy untuk menyeret Arroyo ke pengadilan makin sulit jika Arroyo berhasil terpilih menjadi ketua Kongres. Dengan dukungan ratusan pendukungnya yang menguasai Kongres, Arroyo berpotensi menghambat penyelidikan terhadap dirinya. Arroyo bisa saja memakzulkan ( impeachment) Noynoy jika rival politiknya ini serius mengusut kasusnya. Akhirnya, kemungkinan yang terjadi adalah adanya konsesi politik di antara mereka untuk mengamankan jabatan masing-masing.
Karena itu, jika ingin menyelesaikan tantangan ini, Noynoy harus mampu mengontrol semua kekuatan hukum dan politik untuk bersatu padu memerangi korupsi. Ia tidak boleh ragu melakukan itu karena dukungan rakyat yang besar terhadapnya merupakan modalitas berharga yang tak dimiliki pejabat lain. Kegagalannya dalam menyeret Arroyo ke pengadilan berpotensi menurunkan dukungan publik terhadapnya.
Separatisme Selain korupsi, Arroyo juga mewariskan masalah
separatisme kepada Noynoy. Hingga akhir masa jabatannya, Arroyo tidak mampu meredam pemberontakan yang dilancarkan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Mindanao. Perundingan damai yang digagas Arroyo tak jelas realisasinya hingga kini. Operasi militer juga tidak sanggup melumpuhkan pemberontak di kawasan Filipina Selatan itu.
Tantangan terbesar Noynoy adalah seberapa kuat ia dapat mengonsolidasikan kekuatan militer untuk mendukung penuh dirinya dalam menyelesaikan masalah separatisme. Dukungan militer penting didapatkan karena militer Filipina terkenal oportunis. Tak heran jika ada tentara yang bekerja sama dengan Tantangan terbesar Noynoy adalah seberapa kuat ia dapat mengonsolidasikan kekuatan militer untuk mendukung penuh dirinya dalam menyelesaikan masalah separatisme. Dukungan militer penting didapatkan karena militer Filipina terkenal oportunis. Tak heran jika ada tentara yang bekerja sama dengan
Para tentara itu lebih loyal kepada pemberontak daripada pemerintah karena kehidupan mereka dicukupi pemberontak. Itulah yang mendorong mereka melakukan percobaan kudeta berkali-kali kepada pemerintahan yang sah. Maka, untuk memuluskan
Noynoy harus menggandeng kekuatan militer. Lagi-lagi, Noynoy harus berkompromi dengan sejumlah petinggi militer karena banyak jenderal kotor yang pasti dirugikan jika dia melancarkan program pemerintahan bersihnya.
jalan
pemerintahannya,
Celakanya, kharisma Noynoy yang sangat kuat di mata rakyat ternyata tidak berarti apa-apa di hadapan petinggi militer dan pemberontak. Noynoy dianggap sebagai pemimpin yang hanya mengandalkan nama besar orangtuanya, tetapi miskin pengalaman karena baru berpolitik praktis setelah terpilih sebagai anggota DPR 12 tahun lalu. Untuk itu, agar mampu menyelesaikan tantangan-tantangan yang menghadangnya, Noynoy