JAT, Organisasi Teroris?

JAT, Organisasi Teroris?

elalui Executive Order 13324, Pemerintah Amerika Serikat menetapkan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sebagai organisasi teroris pada Kamis, 23 Februari 2012.

Dalam pernyataan kebijakan itu, JAT dituduh “... has conducted multiple attacks targeting civilians and Indonesian officials, resulting in the deaths of several Indonesian police ... has robbed banks and carried out other illicit activities to fund the purchase of assault weapons, pistols, and bomb-making materials.”

Pengeboman bunuh diri Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo pada 25 September tahun lalu dianggap AS sebagai bukti aksi terorisme organisasi yang didirikan Abu Bakar Ba’asyir ini. Karena itulah, pemerintah AS memerintahkan untuk membekukan semua aset JAT dan melarang warganya berhubungan dengan JAT.

Tak pelak, kebijakan AS tersebut memicu perdebatan tentang apakah JAT layak disebut organisasi teroris. Beragam reaksi bermunculan di Indonesia menanggapi kebijakan itu. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan bahwa penetapan JAT sebagai organisasi teroris hanya berlaku di AS saja, tidak berlaku secara global. Menurut Marty, penetapan teroris secara global hanya dapat dilakukan melalui resolusi PBB ( Antara, 25/2/2012).

Sementara itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menyatakan akan mengonfirmasi penetapan JAT sebagai teroris ke pemerintah AS dan mengoordinasikan langkah lanjutan dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Di sisi lain, Sementara itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menyatakan akan mengonfirmasi penetapan JAT sebagai teroris ke pemerintah AS dan mengoordinasikan langkah lanjutan dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Di sisi lain,

Pertentangan Definisi Sejauh ini tidak ada definisi pasti tentang terorisme. Para

pengambil kebijakan dan pakar yang mengkaji terorisme masih berbeda pendapat soal siapakah yang layak disebut teroris karena kadangkala teroris bagi satu pihak ternyata dianggap pahlawan bagi pihak lain. Bagi AS, semua pihak yang melawan Paman Sam, seperti Al Qaeda, Jamaah Islamiyah, Hizbullah, dan Hamas adalah organisasi teroris. Sebaliknya, kalangan yang merasakan adanya ketidakadilan global yang diciptakan AS menganggap organisasi-organisasi itu sebagai pahlawan karena berani menentang negara superpower ini. Bagi para penentang AS itu, negeri adidaya inilah teroris yang sesungguhnya.

Meski demikian, dilihat dari aksi dan dampak yang ditimbulkan, hampir semuanya sependapat bahwa terorisme pasti dilancarkan dengan jalan kekerasan bermotif politik untuk menyebar efek ketakutan secara meluas. Namun, menurut Noam Chomsky (2001), label terorisme pada masa kini dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat. Karena istilahnya berbelok pada upaya perlawanan ‘orang lemah’ terhadap ‘orang kuat’ yang menguasai kekuasaan, maka seringkali aksi terorisme memiliki tujuan politik.

Itulah sebabnya, Gus Martin (2006) mendefinisikan terorisme sebagai “ ...politically motivated violence ... usually directed against soft targets (i.e. civilian and administrative government targets), and ... with an intention to affect (terrorize) a target audience.” Pendapat senada disampaikan oleh

Paul Johnson (2008) yang menyebut terorisme adalah “ …the deliberate, systematic murder, maiming, and menacing of the innocent to inspire fear in order to gain political ends… terrorism is politically evil, necessarily evil and wholly evil…”

Berdasarkan aneka pandangan itu, dapat dirumuskan empat indikator terorisme. Pertama, dilakukan dengan jalan kekerasan. Kedua, dilakukan untuk menciptakan ancaman ketakutan. Ketiga, ditujukan kepada target yang meluas. Keempat, dilakukan untuk mencapai tujuan politik. Artinya, semua aksi kekerasan bertujuan politik, tidak peduli dilakukan oleh individu, kelompok, maupun negara, dapat dikategorikan sebagai terorisme.

Bukan Teroris Mengacu pada empat indikator tersebut, penetapan JAT

sebagai organisasi teroris sesungguhnya tidak memiliki dasar yang kuat. JAT memang memiliki tujuan politik untuk menegakkan khilafah Islam di Indoneisa, tetapi harus dipahami, bahwa secara organisatoris, JAT tidak pernah memerintahkan aksi kekerasan. Sejauh ini tidak ditemukan bukti ada keputusan JAT yang melegalkan aksi teror. Dalam pedoman organisasinya, juga tidak ada instruksi meledakkan bom bunuh diri.

Bahwa ada mantan anggota JAT yang melakukan pengeboman bunuh diri, seperti Muhammad Syarif (pelaku bom Mapolres Cirebon, 15/4/2011) dan Achmad Yosefa Hayat (pelaku bom GBIS Solo, 25/9/2011), hal itu merupakan inisiatif individual yang bersangkutan. Mereka sebenarnya anggota jamaah yang tidak taat asas terhadap keputusan organisasi karena merasa pimpinan JAT hanya pandai beretorika tanpa melakukan aksi nyata. Kekecewaan atas sikap JAT yang dianggap tidak melakukan jihad yang sesungguhnya dilampiaskan dengan membentuk jaringan baru yang siap beraksi kapanpun dan dimanapun. Sel-sel kecil tersebut Bahwa ada mantan anggota JAT yang melakukan pengeboman bunuh diri, seperti Muhammad Syarif (pelaku bom Mapolres Cirebon, 15/4/2011) dan Achmad Yosefa Hayat (pelaku bom GBIS Solo, 25/9/2011), hal itu merupakan inisiatif individual yang bersangkutan. Mereka sebenarnya anggota jamaah yang tidak taat asas terhadap keputusan organisasi karena merasa pimpinan JAT hanya pandai beretorika tanpa melakukan aksi nyata. Kekecewaan atas sikap JAT yang dianggap tidak melakukan jihad yang sesungguhnya dilampiaskan dengan membentuk jaringan baru yang siap beraksi kapanpun dan dimanapun. Sel-sel kecil tersebut

Dengan demikian, harus dibedakan antara JAT sebagai suatu organisasi dengan kelompok sempalannya. Sebagai suatu organisasi, JAT tidak pernah melancarkan aksi terorisme. Namun, harus diakui sejumlah mantan anggota JAT terlibat aksi terorisme ketika mereka tidak lagi membawa bendera jamaah ini. Oleh sebab itu, label teroris lebih tepat disematkan kapada kelompok sempalan tersebut daripada JAT.

Sebagai negara berdaulat, Indonesia tidak boleh terpengaruh kebijakan AS. Pemerintah harus semaksimal mungkin menghindarkan adanya intervensi AS karena memang ada dugaan kebijakan tersebut dikeluarkan untuk memengaruhi keputusan Mahkamah Agung atas kasasi vonis 9 tahun penjara yang sedang diajukan Ba’asyir. Kepada AS, pemerintah harus berani dengan tegas mengatakan “ it’s your business, not my business.” 

1 Maret 2012