Pelajaran dari Pilpres Iran

Pelajaran dari Pilpres Iran

H Hossein Mousavi. Mengacu pada pengumuman Kementerian

asil pemilihan presiden Iran (12/6/2009) yang dimenangkan calon presiden incumbent Mahmoud Ahmadinejad diprotes kubu oposisi yang dimotori Mir

Dalam Negeri Iran (13/6/2009), Ahmadinejad unggul dengan perolehan 62,63 persen; dikuntit oleh Mousavi (33,75 persen), Mohsen Rezaei (1,73 persen), dan Mehdi Karroubi (0,85 persen).

Hasil itu mengejutkan banyak pihak karena sebelumnya Mousavi diprediksi menang satu putaran. Kharisma Mousavi yang mampu merebut hati sebagian besar rakyat Iran dengan program-programnya yang reformis menjanjikan adanya perubahan di negeri para mullah itu. Popularitas mantan Perdana Menteri Iran di era Perang Irak-Iran (1980-1988) ini mampu menenggelamkan Ahmadinejad yang dianggap gagal dalam mengatasi problem domestik meskipun berkibar di panggung politik internasional.

Berdasarkan tren semacam itu, tudingan bahwa pemerintah berkuasa bertindak curang menjadi perkembangan yang tak terhindarkan. Tak pelak, Mousavi yang merasa dirugikan menggelar demonstrasi besar-besaran di Teheran. Akibatnya, stabilitas politik Iran terganggu seiring dengan terjadinya bentrokan antara pendukung Mousavi dengan polisi antihuru- hara yang berpihak pada Ahmadinejad.

Menyimak perkembangan politik terkini di Iran, setidaknya ada tiga pelajaran yang bisa kita petik.

Jujur dan Adil Pertama, pemilihan seorang pemimpin negara harus

dijalankan dengan jujur dan adil sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Krisis politik Iran bermula dari adanya dugaan manipulasi suara yang dilakukan pemerintah. Dugaan itu kian kuat setelah media Inggris The Daily Telegraph berhasil mendapatkan bocoran hasil asli pilpres Iran ( Jawa Pos, 16/6/09). Menurut hasil itu, Mousavi memenangkan pilpres dengan torehan 19,1 juta suara. Sebaliknya, Ahmadinejad menduduki peringkat ketiga dengan capaian 5,7 juta suara, sekitar 7,7 juta suara di bawah Karroubi.

Benar atau tidaknya versi bocoran itu jelas masih menunggu pembuktian lebih lanjut. Tetapi, yang pasti, pilpres Iran menyisakan masalah yang mengancam penegakan demokrasi di negara itu. Secara substansi, demokrasi mensyaratkan penyelenggaran pemilu yang jujur, adil, dan terpercaya sehingga hasil akhirnya dapat diterima oleh semua pihak yang berkompetisi.

Namun, dalam praktiknya, tidak ada pihak yang bisa dipercaya di Iran. Pemerintah dan institusi penyelenggara pemilu jelas tidak memiliki kredibilitas tinggi. Buktinya, hasil pemilu ditolak oleh pihak-pihak yang kalah.

Bagi kita di Indonesia, pelajaran yang bisa diambil adalah untuk menghasilkan sebuah pemilu yang kredibel dan terpercaya, pemerintah dan penyelenggara pemilu harus bertindak jujur dan adil. Tidak boleh ada manipulasi suara hanya untuk mengamankan posisi di kekuasaan. Tidak boleh ada pula tekanan kepada pihak-pihak tertentu untuk memilih capres tertentu. Jika ini yang terjadi, dikhawatirkan huru-hara politik seperti di Iran menular pada kita.

Jalur Hukum Kedua, setiap ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan

presiden semestinya dilaporkan kepada institusi yang berwenang untuk kemudian diproses sesuai hukum yang berlaku. Iran menyajikan sebuah contoh yang tidak patut ditiru. Perasaan kalah karena dicurangi tidak dilampiaskan melalui gugatan hukum sesuai aturan yang berlaku, tetapi sebaliknya dimuntahkan di jalanan dalam bentuk aksi unjuk rasa yang berakhir rusuh. Konsekuensinya, kerugian tidak hanya terlokalisir pada capres yang kalah, tetapi kian meluas pada rakyat yang menjadi korban tak bersalah dari aksi anarkis itu. Perkembangan terakhir, tujuh orang tewas dalam kerusuhan itu.

Memang benar Mousavi telah melayangkan gugatan atas kemenangan Ahmadinejad pada Dewan Wali sebagai institusi tertinggi yang berwenang memutuskan sengketa pemilu. Namun, gugatan itu baru dilayangkan setelah dia mengerahkan ratusan ribu pendukungnya untuk turun ke jalan memprotes hasil pilpres. Gugatan itu terasa terlambat karena harus menunggu bentrokan massa yang menghasilkan kerusuhan terburuk sejak Revolusi Islam 1979.

Pelajarannya, setiap capres yang tidak puas dengan hasil pilpres hendaknya langsung menggugat melalui jalur hukum. Kita memiliki pengalaman yang menyejukkan ketika banyak pihak tidak puas dengan pelaksanaan pemilu legislatif 9 April lalu. Waktu itu, sejumlah partai memilih memperkarakannya melalui Mahkamah Konstitusi dan bukannya memprovokasi massa untuk protes di jalanan. Pengalaman ini patut diulangi manakala pada pilpres 8 Juli nanti ada pihak yang merasa dirugikan.

Keterlibatan Asing Ketiga, keterlibatan asing perlu diminimalisir dalam proses

penentuan pimpinan nasional suatu negara. Pilpres Iran menarik perhatian banyak kekuatan asing, terutama negara-negara yang selama ini menjadi musuh Iran, seperti Amerika Serikat dan Israel. Mereka berkepentingan atas pergantian kekuasaan di Iran karena eksistensi Ahmadinejad yang kerap melontarkan kecaman-kecaman keras kepada AS dan Israel menjadi ancaman tersendiri bagi kedua negara itu.

Patut diduga, kekuatan-kekuatan asing itu mendukung penantang Ahmadinejad. Buktinya, mereka menuding adanya kecurangan dalam pilpres Iran dan tidak mengakui terpilihnya Ahmadinejad. Intervensi asing menjadikan stabilitas politik domestik Iran dan juga kawasan Timur Tengah kian tidak menentu.

Menyongsong pilpres bulan depan, Indonesia patut waspada terhadap kemungkinan keterlibatan negara lain untuk ikut menentukan pemimpin masa depan negeri ini. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia yang dihuni mayoritas muslim, Indonesia memiliki daya pikat tinggi di hadapan negara-negara lain. Dengan modalitas seperti ini, banyak negara berkepentingan untuk mengajak Indonesia menjadi sekutu sinergis di masa depan. 

17 Juni 2009