Pesan di Balik Teror Solo

Pesan di Balik Teror Solo

ENTETAN aksi teror yang mengguncang Solo dua pekan terakhir membuktikan jaringan teroris masih hidup dan tetap menebar ancaman menakutkan bagi

masyarakat. Penembakan dua orang polisi yang sedang bertugas di pos pengamanan Gemblegan (17/8/2012), pelemparan granat di Gladak (18/8/2012), dan penembakan yang menewaskan satu orang polisi di Singosaren (30/8/2012) menampakkan adanya pesan tertentu yang hendak dikirimkan jaringan teroris kepada semua kalangan. Meskipun terduga pelaku ketiga serangan itu telah tewas di tangan Detasemen Khusus 88 Antiteror Jumat lalu (31/8/2012), bukan berarti pesan yang disampaikan lantas ikut- ikutan mati. Sebaliknya, pesannya akan tersebar ke segala penjuru seiring dengan luasnya liputan media massa.

Bagi jaringan teroris, tersampaikannya pesan aksi mereka kepada publik merupakan salah satu tujuan utamanya. Persoalannya, karena sasaran terorisme adalah target yang dipilih secara acak, pesan yang disampaikan seringkali tidak jelas sehingga memunculkan beragam dugaan.

Tiga dugaan berikut bisa jadi pesan yang ingin dikumandangkan pelaku penembakan beruntun di Solo. Pertama, jaringan teroris tetap eksis dan berkembang biak meskipun sejumlah pimpinannya telah tewas maupun tertangkap. Kedua, penembakan polisi terhadap terduga teroris harus dibalas pula dengan aksi serupa. Ketiga, pemerintah tidak berdaya mengamankan rakyat dari ancaman kekerasan.

Eksistensi Dengan menyerang pos polisi, jaringan teroris bermaksud

menunjukkan eksistensinya. Banyak orang mengira tewasnya para gembong teroris seperti Noordin M. Top dan Azahari mengakibatkan jaringan teroris kocar-kacir dan tidak mampu beraksi lagi. Faktanya, jaringan mereka telah bermetamorfosis menjadi sel-sel kecil yang tidak memiliki garis struktural dengan organisasi apapun dan tidak terkoordinasi satu sama lain. Sebagian merupakan sempalan dari kelompok Noordin dan sebagian lainnya adalah aktor-aktor baru yang ingin unjuk gigi.

Bagi jaringan teroris, pilihan untuk beroperasi dalam kelompok-kelompok kecil merupakan pilihan strategis karena dengan begitu pergerakan mereka akan sulit terdeteksi polisi. Aparat keamanan dipaksa bekerja keras untuk tidak hanya mengawasi satu jaringan besar, tetapi juga mewaspadai pertumbuhan teroris-teroris baru yang berlangsung tanpa kontrol.

Seringkali, rekrutmen teroris-teroris baru ini menargetkan anak-anak muda yang terinjeksi oleh semangat jihad yang salah. Dua terduga teroris yang tewas (Farhan dan Mukhsin) Jumat lalu (31/8) adalah anak muda berusia 19 tahun. Farhan adalah anak tiri Abu Umar, terpidana teroris yang telah divonis 10 tahun penjara Mei lalu. Besar kemungkinan, kemampuannya menggunakan senjata secara terlatih di usia yang masih sangat muda didapatkan dari ayah tirinya itu.

Balas Dendam Aksi teror Solo merupakan peringatan terhadap institusi

kepolisian sebagai aparatur negara yang paling bertanggung jawab menangani masalah keamanan. Bagi teroris, peringatan itu juga dimaksudkan untuk mengabarkan pesan pembalasan atas berbagai penggerebekan jaringan mereka di masa lalu.

Kemungkinan terdekat, jaringan teroris balas dendam atas penangkapan Mawan Kurniawan oleh Densus 88 di Bandung, Kamis siang (30/8). Pelaku teror Solo bisa jadi tidak mengenal Mawan, tetapi perasaan senasib seperjuangan untuk melawan polisi dapat mempersatukan mereka untuk mencapai kepentingan sama.

Dalam kamus teroris, berlaku hukum “nyawa balas nyawa”. Ketika ada anggota jaringan teroris yang tertangkap atau terbunuh di tangan polisi, maka balas dendam harus dilakukan. Balas dendam itu dilakukan saat aparat keamanan lemah. Kelemahan aparat bakal memicu keberanian pelaku teror untuk menyerang polisi.

Karena itu, sebelum melakukan aksinya, jaringan teroris selalu menyurvei tempat-tempat yang tidak memiliki keamanan ketat. Pos keamanan polisi adalah sasaran empuk karena tempat ini paling mudah dijangkau sebab lokasinya berada di tepi jalan raya yang ramai oleh aktivitas masyarakat. Dalam kerumunan masyarakat semacam itu, polisi tidak akan pernah menduga akan diserang.

Tidak Berdaya Polisi hanyalah sasaran antara aksi teror Solo. Target teror

sesungguhnya adalah pemerintah yang dianggap kelompok teroris sebagai “ thaghut”, yaitu pemerintahan musyrik yang wajib diperangi. Pelaku teror ingin mengabarkan kepada khalayak bahwa pemerintahan SBY sekaligus Pemerintah Kota Solo yang dipimpin Joko Widodo telah gagal menjamin rasa aman publik. Wibawa Jokowi yang dianggap berhasil memimpin Solo dijatuhkan hingga ke titik nadir. Pesannya jelas, Jokowi yang selama tujuh tahun kepemimpinannya mampu menghadirkan kenyamanan di Solo dan menjadi tumpuan harapan masyarakat ternyata gagal mengamankan kota ini.

Pemerintah dibuat tak berdaya menghadang ancaman keamanan tersebut. Walaupun berhasil menangkap pelaku teror dalam waktu singkat, tetapi langkah itu terkesan reaktif. Indikasinya adalah intelijen tidak mampu mengendus kemungkinan aksi teror dan polisi baru beraksi ketika serangan sudah terjadi. Aparat keamanan tampaknya khawatir upaya preventif dengan menangkapi para terduga teroris sebelum beraksi dianggap sebagai pelanggaran HAM karena tidak adanya bukti kuat mereka terlibat aksi terorisme. Inilah salah satu penyebab yang membuat pemerintah seolah tak berdaya melawan teroris.

Apapun pesan yang disampaikan, kewaspadaan haruslah terus ditingkatkan, terutama memasuki bulan September dan Oktober. Pengalaman buruk negeri ini sepuluh tahun terakhir menunjukkan September dan Oktober adalah dua bulan yang rawan teror. Pada 9 September 2004, pengeboman terjadi di Kedutaan Besar Australia. September tahun lalu, Achmad Yosefa Hayat meledakkan bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Solo. Pada 12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005, bom bunuh diri menyalak di Bali. Mencermati kecenderungan itu, jangan sampai aparat lengah karena ada kemungkinan jaringan teroris kembali beraksi untuk memperingati sepuluh tahun tragedi bom Bali bulan depan. 

1 September 2012