Pilpres di Mata Internasional

Pilpres di Mata Internasional

emilihan presiden pada Rabu, 8 Juli 2009, merupakan pertaruhan bagi citra Indonesia di mata internasional. Sebagai sebuah negara besar yang pernah terjerat dalam

kubangan otoritarianisme, Indonesia dipandang dunia sebagai salah satu negara yang sukses menjalani transisi demokrasi. Keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan Pilpres 2004 membuahkan predikat sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dunia setelah India dan Amerika Serikat.

Waktu itu, kalangan internasional memuji pelaksanaan Pemilu 2004 sebagai pemilu yang demokratis. Stabilitas politik yang kondusif seiring dengan pergantian kekuasaan yang berjalan secara tertib, aman, dan damai menjadikan Indonesia sebagai contoh baik transisi demokrasi, terutama di negara- negara muslim. Tak berlebihan jika mantan Presiden AS Jimmy Carter yang kini aktif mengamati pemilu di berbagai negara menyatakan “surprisingly fair elections in Indonesia” ( International Herald Tribune, 15/7/2004).

Menurut Carter, pandangan bahwa masyarakat muslim itu antidemokrasi tidak ditemukan dalam kasus Indonesia. Justru sebaliknya, Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia mempertontonkan sebuah praktik demokrasi yang jujur dan adil. Kekhawatiran adanya kekerasan seperti yang kerap terjadi di negara muslim yang sedang dalam proses demokratisasi ternyata tidak terbukti.

Tetapi, citra positif itu sempat ternoda ketika pelaksanaan pemilu legislatif 9 April lalu. Masalah hilangnya hak jutaan Tetapi, citra positif itu sempat ternoda ketika pelaksanaan pemilu legislatif 9 April lalu. Masalah hilangnya hak jutaan

Karena itu, pilpres langsung kali ini tidak hanya momen strategis untuk memperbaiki karut marut pemilu legislatif, tetapi juga sarana penting dalam mengulangi sejarah keberhasilan Pilpres 2004. Modalitas untuk mewujudkan itu bukannya tak ada, tetapi malah berlimpah.

Modalitas Indonesia memiliki modalitas berharga yang bisa

memperkokoh posisi tawar negara ini di hadapan negara lain dalam pentas internasional. Selain predikat sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar dan negara demokrasi terbesar ketiga dunia, Indonesia juga mencatatkan jumlah pemilih terdaftar tertinggi dibandingkan negara manapun. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah penduduk yang terdaftar sebagai pemilih pilpres adalah 176.367.056.

Angka itu lebih tinggi dibandingkan jumlah pemilih terdaftar di Pemilu AS 2008 yang berkisar 153,1 juta. Memang, jumlah itu masih kalah dengan Pemilu India 2009 yang mencatatkan sekitar 714 juta pemilih. Tetapi, karena pemilu itu dilaksanakan selama beberapa hari dalam satu bulan, maka kerumitannya tak setinggi Indonesia yang harus mengakomodasi ratusan juta orang dalam satu hari. Di sinilah kualitas demokrasi kita diuji.

Dengan posisi tawar sebesar itu, banyak negara berkepentingan atas kualitas pemilu Indonesia. Dunia Dengan posisi tawar sebesar itu, banyak negara berkepentingan atas kualitas pemilu Indonesia. Dunia

Sebagai contoh, pilpres di Iran 12 Juni lalu diduga sarat kecurangan yang dilakukan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Protes kubu oposisi atas kecurangan itu disikapi pemerintah dengan aksi kekerasan yang menewaskan 19 jiwa. Sebagai sesama negara muslim, Indonesia diharapkan tidak tertular kasus itu.

Pengalaman menunjukkan transisi demokrasi di negara- negara muslim seringkali tidak berjalan mulus. Sehingga, belum ada satupun negara muslim yang bisa mengisi celah kosong untuk menjadi contoh terbaik keselarasan demokrasi dengan Islam. Karenanya, Indonesia diharapkan bisa mengisi celah kosong itu.

Perbaikan Kualitas Di balik modalitas berharga yang dimiliki Indonesia, terselip

sebuah tantangan besar untuk meningkatkan citra bangsa ini di mata internasional. Demi tercapainya kepentingan itu, perbaikan kualitas pemilu adalah agenda yang tak bisa ditawar.

Perbaikan pertama merupakan tugas KPU untuk menjamin terpenuhinya hak plih setiap warga negara yang telah memenuhi syarat untuk memilih. KPU harus mampu memperbaiki DPT dan mendorong tingkat partisipasi yang lebih tinggi dibandingkan pemilu legislatif lalu.

Kedua, perlu adanya sosialisasi masif kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa pilpres bukanlah sekadar mencontreng nama atau foto capres di bilik suara, tetapi juga bagian dari kampanye Kedua, perlu adanya sosialisasi masif kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa pilpres bukanlah sekadar mencontreng nama atau foto capres di bilik suara, tetapi juga bagian dari kampanye

Ketiga, perbaikan kualitas pemilu takkan ada artinya tanpa jiwa besar capres untuk siap menang dan siap kalah. Percuma saja ada pemilu yang bersih, tetapi capres yang kalah tetap tidak bisa menerima hasilnya. Bangsa ini merindukan adanya jabat tangan erat di antara semua capres untuk mengucapkan selamat kepada pemenang sekaligus pengakuan kekalahan yang kemudian dilanjutkan dengan pernyataan bersama untuk saling mendukung demi kemajuan bangsa dan negara. Kita berharap hal itu terjadi setelah hasil pilpres diumumkan. 

8 Juli 2009