Warisan Ahmadinejad, Tantangan Rouhani
Warisan Ahmadinejad, Tantangan Rouhani
eiring dengan kemenangannya dalam pemilu Iran pada Jumat, 14 Juni 2013, Hassan Rouhani dipastikan terpilih sebagai presiden menggantikan Mahmoud Ahmadinejad.
Dalam pemilihan presiden kesebelas sepanjang sejarah Iran itu, Rouhani yang termasuk golongan reformis meraup 18,6 juta suara (50,7 persen), unggul jauh di atas para pesaingnya dari kubu konservatif, Mohammad Bagher Qalibaf (15,3 persen) dan Mohsen Rezaei (12,6 persen). Tiga kandidat lainnya, Ali Akbar Velayati, Saeed Jalili, dan Mohammad Gharazi, memperoleh suara tidak lebih dari 10 persen. Dengan suara mayoritas 50% +
1 ada dalam genggamannya, Rouhani melenggang mulus ke kursi presiden hanya dalam satu putaran.
Kemenangan Rouhani sangat mengejutkan. Sebab, dalam sejumlah jajak pendapat sebelum hari H pilpres, politikus 64 tahun itu memang diprediksi menang, tetapi suaranya tidak bakal mencapai 50 persen. Pada jajak pendapat yang diadakan oleh lembaga survei Aftab misalnya (11/6/2013), Rouhani diperkirakan meraup 27,2 persen, unggul tipis dari Ghalibaf (20,1 persen) dan Mohammed Reza Aref (14,6 persen).
Namun, konstelasi politik mendadak berubah setelah Aref yang berasal dari kelompok reformis mengundurkan diri tiga hari sebelum pilpres. Hal itulah yang akhirnya menyatukan suara reformis dan memecah suara konservatif. Kelompok reformis kian solid dan percaya diri setelah dua mantan Namun, konstelasi politik mendadak berubah setelah Aref yang berasal dari kelompok reformis mengundurkan diri tiga hari sebelum pilpres. Hal itulah yang akhirnya menyatukan suara reformis dan memecah suara konservatif. Kelompok reformis kian solid dan percaya diri setelah dua mantan
Pertarungan politik Iran memang selalu melibatkan kalangan konservatif dan reformis. Kubu konservatif yang kini berkuasa dan sangat dekat dengan pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei cenderung represif dalam politik domestik dan tak segan berkonfrontasi langsung dengan Amerika Serikat di panggung global. Sedangkan, kubu reformis menyerukan adanya kehidupan yang lebih bebas dan berkeinginan menurunkan ketegangan dengan negara-negara Barat yang selama ini mencurigai program nuklir Iran.
Empat tahun terakhir, konflik antara dua kelompok tersebut semakin memanas. Pemicunya adalah terpilihnya kembali Ahmadinejad sebagai presiden setelah memenangkan pilpres 2009 melawan kandidat reformis, Mir Hossein Mousavi. Merasa dicurangi penguasa, Mousavi lantas menggerakkan demonstrasi besar-besaran untuk memprotes hasil pilpres yang berujung pada serangkaian aksi kekerasan di jalan-jalan Teheran. Pemerintahan Ahmadinejad menyikapinya secara represif dengan menangkap Mousavi dan menjebloskannya dalam tahanan rumah hingga kini.
Sejak saat itu, suara kaum reformis dibungkam penguasa. Meski demikian, aksi protes tersebut telah berhasil memulai gerakan reformasi di seantero Iran. Janji-janji reformasi yang menggemakan masyarakat yang lebih bebas merasuk dalam diri jutaan rakyat Iran, terutama anak-anak muda. Generasi yang kebanyakan lahir setelah revolusi 1979 ini tumbuh dengan kesadaran politik yang tinggi tentang arti nilai-nilai demokrasi dan kebebasan. Mereka adalah golongan terdidik yang memiliki akses lebih besar pada jaringan internet sehingga sekali saja Sejak saat itu, suara kaum reformis dibungkam penguasa. Meski demikian, aksi protes tersebut telah berhasil memulai gerakan reformasi di seantero Iran. Janji-janji reformasi yang menggemakan masyarakat yang lebih bebas merasuk dalam diri jutaan rakyat Iran, terutama anak-anak muda. Generasi yang kebanyakan lahir setelah revolusi 1979 ini tumbuh dengan kesadaran politik yang tinggi tentang arti nilai-nilai demokrasi dan kebebasan. Mereka adalah golongan terdidik yang memiliki akses lebih besar pada jaringan internet sehingga sekali saja
Karena itu, kemenangan Rouhani sesungguhnya dapat dikatakan sebagai kemenangan kaum muda yang jenuh dengan situasi Iran kontemporer. Betapa tidak, di masa Ahmadinejad, Iran tenggelam dalam kubangan utang yang mencapai US$ 500 miliar, terjerat inflasi 40 persen, dan tercekik oleh pertumbuhan ekonomi negatif. Celakanya, negeri para mullah ini sedang terisolir dalam politik dunia sehingga harapan untuk mendapatkan bantuan ekonomi dari negara-negara maju bagaikan mimpi di siang bolong. Dalam kondisi tidak menguntungkan seperti itulah Ahmadinejad mewariskan pemerintahannya kepada Rouhani.
Tak pelak, tantangan Rouhani ke depan tidak bisa dikatakan ringan. Presiden ketujuh Iran ini tidak hanya dihadapkan pada tantangan serius di dalam negeri, tetapi juga tantangan pelik di luar negeri. Harapan rakyat Iran untuk menikmati kebebasan barangkali dapat diwujudkan Rouhani dengan mudah. Sejak awal, dia telah berjanji untuk memberikan kebebasan seluas- luasnya kepada rakyat Iran dan membebaskan seluruh tahanan politik ( CNN, 16/6/2013). Tetapi, tentu bukan kebebasan semata yang diinginkan rakyat Iran. Lebih dari itu, rakyat Iran mengimpikan masa depan ekonomi yang cerah.
Karena itu, Rouhani harus bergerak cepat memenuhi harapan tersebut. Jalan yang ditempuh doktor lulusan University of Glasgow ini tampaknya mengarah pada perbaikan hubungan dengan negara-negara maju untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Harus diakui, sanksi yang diterima Iran akibat program nuklir yang dikembangkan pemerintahan Ahmadinejad telah memukul telak perekonomian negeri Persia ini. Embargo ekonomi dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa hanya bisa diakhiri jika Rouhani memoderasi sikap Iran terhadap tuntutan negara-negara penentang itu.
Moderasi Rouhani mulai tampak ketika dia menyampaikan pidato kemenangannya dengan menyatakan: “
A new opportunity has been created by this great epic, and the nations who tout democracy and open dialogue should speak to the Iranian people with respect and recognise the rights of the Islamic Republic.” (Al Jazeera, 16/6/2013). Persoalannya, sikap Rouhani yang moderat berkebalikan dengan sikap Khamenei sebagai pemimpin tertinggi Iran yang keras terhadap Barat. Keduanya memiliki sejarah hubungan buruk ketika Rouhani yang menjabat juru runding nuklir Iran (2003-2005) kerapkali mengkritisi kebijakan Khamenei.
Konflik di antara kedua pemimpin tersebut bisa jadi akan muncul kembali jika politik luar negeri Iran tetap dikendalikan penuh sang pemimpin tertinggi, sementara sang presiden terpilih tidak mampu berbuat banyak untuk memenuhi harapan kaum reformis. Jika Rouhani tidak mampu membujuk Khamenei untuk memoderasi sikap Iran, kondisi negara ini tidak akan jauh berbeda dengan semasa dipimpin Ahmadinejad, tetap kritis terhadap Barat, tetapi dengan suara yang lebih lunak.
17 Juni 2013