Terorisme dan Negara Gagal

Terorisme dan Negara Gagal

entetan aksi teror yang marak dua bulan terakhir ini semakin menunjukkan bahwa Indonesia telah bergerak menjadi negara gagal (failed state). Kegagalan negara ini

untuk membongkar habis jaringan terorisme harus dibayar mahal dengan semakin meningkatnya ancaman keamanan terhadap rakyat. Semula, publik berharap setelah dieksekusinya Imam Samudera, Amrozi, dan Mukhlas, serta ditembak matinya Azahari, Noordin M. Top, dan Dulmatin; jaringan terorisme lumpuh total sehingga rasa aman dapat dinikmati masyarakat.

Namun, teror bom buku di Jakarta pada 17 Maret 2011 dan bom bunuh diri di Mapolres Cirebon Jumat pekan lalu (15/4) membuyarkan harapan tersebut. Kedua aksi teror itu membuktikan bahwa jaringan terorisme masih tetap bercokol di negara ini. Eksistensinya kian tampak ketika Kamis (21/4), polisi menemukan 9 paket bom seberat 100 kilogram di dekat Gereja Christ Catedral dan pipa gas Serpong, Tangerang.

Masalah terbesar penanganan terorisme di Indonesia sebenarnya terletak pada kegagalan pemerintah dalam menangkal kemunculan teroris-teroris baru. Alih-alih menghentikan aksi terorisme, kematian sejumlah gembong terorisme di tangan polisi justru memicu hasrat orang-orang yang baru direkrut untuk menjadi ‘pengantin’ yang siap menebar teror berikutnya. Jika sebelumnya target terarah pada simbol-simbol Amerika Serikat dan Barat, kini sasaran ditujukan pada markas kepolisian yang merupakan simbol keamanan negara.

Ketika markas kepolisian saja tidak aman, publik patut mengkhawatirkan keamanan dirinya. Ketika publik merasa terancam, negara harus bertanggung jawab untuk menangkal ancaman itu untuk menjamin keamanan masyarakat. Persoalannya, negara tampaknya telah gagal menjalankan tugas itu seiring dengan masih merebaknya aksi terorisme yang mengancam keselamatan rakyat.

Karakteristik Sejumlah pakar sepakat bahwa negara gagal berpotensi

menjadi lahan subur terorisme. Dalam buku Failed States in a World of Terror (2002), Robert Rotberg menganggap negara gagal sebagai “ reservoirs and exporters of terror”. Pada 5 Juli 2005, New York Times juga melaporkan bahwa “failed states that cannot provide jobs and food for their people, that have lost chunks of territory to warlords, and that can no longer track or control their borders, send an invitation to terrorists.” Monty G.

Marshall (2002) membenarkan klaim tersebut berdasarkan data bahwa pada 1991-2001, banyak teroris yang berasal dari negara otoriter dengan pendapatan rendah dan konfliktual seperti Sudan, Aljazair, dan Afghanistan.

Menurut Rotberg (2002), negara gagal dicirikan oleh meningkatnya kekerasan politik dan kriminal, melemahnya kontrol negara atas wilayah teritorialnya, serta merebaknya konflik etnis dan agama. Selain itu, negara gagal juga mengalami perang sipil, penurunan pendapatan per kapita, peningkatan inflasi, korupsi tingkat tinggi, dan kemiskinan.

Karakteristik yang buruk tersebut memicu peningkatan serangan terhadap legitimasi pemerintahan negara gagal. Karena kemampuan negara lemah dan pemerintah bekerja secara eksklusif hanya untuk memenuhi kepentingan penguasa, maka banyak kelompok yang menunjukkan loyalitas rendah pada negara. Akibatnya, rakyat terpecah belah dalam perbedaan dan Karakteristik yang buruk tersebut memicu peningkatan serangan terhadap legitimasi pemerintahan negara gagal. Karena kemampuan negara lemah dan pemerintah bekerja secara eksklusif hanya untuk memenuhi kepentingan penguasa, maka banyak kelompok yang menunjukkan loyalitas rendah pada negara. Akibatnya, rakyat terpecah belah dalam perbedaan dan

dan berdampak pada peningkatan jumlah kelompok teroris. Daya tarik negara gagal bagi organisasi teroris adalah

keuntungan yang disediakan bagi kelancaran operasional jaringan mereka. Keuntungan itu antara lain kemudahan untuk merekrut anggota baru, melaksanakan pelatihan militer, mengakses senjata, mendapatkan sumber pendanaan, dan melancarkan serangan. Karena itu, wajar jika negara gagal menjadi surga bagi kelompok teroris.

Kegagalan Indonesia Berdasarkan indeks negara gagal yang dirilis majalah

Foreign Policy (2010), Indonesia menempati peringkat ke-61 negara paling gagal di dunia. Memang, kegagalan negara kita tidak separah Somalia, Chad, Sudan, Zimbabwe, dan Kongo yang menempati peringkat lima besar. Indonesia juga masih lebih berhasil dibandingkan negara-negara tetangga seperti Myanmar (peringkat 16), Timor Leste (18), Laos (40), Kamboja (42) Filipina (51), dan Papua Nugini (57).

Meski demikian, tetap saja kondisi negara ini sungguh mencemaskan. Secara kasat mata, kita melihat kegagalan negara di berbagai bidang. Di bidang ekonomi, kemiskinan melanda sekitar 30 juta warga. Di bidang sosial, tingginya tingkat pengangguran berkontribusi besar meningkatkan angka kriminalitas. Di bidang hukum, korupsi telah menjangkiti aparat birokrasi.

Di bidang pendidikan, banyak gedung sekolah yang tidak layak pakai. Di bidang budaya, negara gagal menjaga kelestarian budaya dari serangan budaya asing sekaligus gagal menjaganya dari klaim negara lain. Di bidang agama, negara gagal merawat kemajemukan dalam bingkai toleransi antarumat beragama.

Serentetan kegagalan tersebut semakin melemahkan otoritas pemerintah sekaligus memicu ketidakpuasan sejumlah kelompok terhadap negara. Situasi semacam ini membuka peluang kelompok teroris untuk mengorganisasi diri, berlatih, memperoleh dana, mengelola logistik, merekrut anggota baru, dan berkomunikasi dengan jaringannya. Akibatnya, di negara gagal, aksi terorisme tidak akan pernah mati.

Karena itu, pemerintah perlu memerhatikan bahwa untuk menumpas jaringan terorisme tidak cukup hanya menangkapi satu per satu anggota jaringan teroris, tetapi juga memerkuat otoritas negara di mata publik. Caranya, tingkatkan kepercayaan rakyat kepada negara dengan menyelesaikan semua akar masalah yang membelit republik ini! 

23 April 2011