Skenario Masa Depan Libya
Skenario Masa Depan Libya
asa depan Libya semakin tidak menentu. Serangkaian protes terhadap rezim Moammar Khadafy yang menggema di seantero negeri mulai 15 Februari lalu,
hingga kini tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Para demonstran yang telah muak dengan 41 tahun 5 bulan kekuasaan Khadafy tetap menuntutsang kolonel mengundurkan diri meskipun unjuk rasa itu telah menewaskan lebih dari 6.000 orang.
mempertahankan kekuasaannya dan bahkan bersumpah melawan para demonstran hingga tetes darah terakhir. Pengunduran diri sejumlah menteri (seperti Menteri Kehakiman Mustafa Abdel- Jalil) dan duta besar (seperti Duta Besar Libya untuk PBB Abdurrahman Shalgam) sebagai bentuk protes atas kekejaman rezim Khadafy yang membantai rakyat Libya juga tidak mampu memaksanya meletakkan kekuasaan.
Khadafy memilih
untuk
tetap
Meskipun sebagian petinggi militer telah membelot ke pihak oposisi, Khadafy meyakini bahwa kekuasaannya tidak akan runtuh karena dia dibela oleh tentara bayaran dari Chad, Niger, dan Sudan. Para loyalis Khadafy ini terus berjuang mempertahankan kekuasaan sang diktator yang mengkudeta Raja Idris pada 1 September 1969 itu dengan menghadang setiap aksi massa di kota-kota utama seperti Tripoli, Zawiya, dan Misrata. Direbutnya Benghazi (kota terbesar kedua di Libya) dan Brega (kota pusat intalasi minyak di Libya Timur) oleh Meskipun sebagian petinggi militer telah membelot ke pihak oposisi, Khadafy meyakini bahwa kekuasaannya tidak akan runtuh karena dia dibela oleh tentara bayaran dari Chad, Niger, dan Sudan. Para loyalis Khadafy ini terus berjuang mempertahankan kekuasaan sang diktator yang mengkudeta Raja Idris pada 1 September 1969 itu dengan menghadang setiap aksi massa di kota-kota utama seperti Tripoli, Zawiya, dan Misrata. Direbutnya Benghazi (kota terbesar kedua di Libya) dan Brega (kota pusat intalasi minyak di Libya Timur) oleh
Di tengah situasi demikian, Libya kemungkinan dihadapkan pada tiga skenario masa depan. Pertama, perang saudara antara kelompok pro-Khadafy dan kontra-Khadafy. Kedua, intervensi oleh sejumlah negara yang menganggap Khadafy telah melanggar hak asasi manusia. Ketiga, instabilitas politik jika Khadafy akhirnya terguling, tetapi tidak ada satupun tokoh yang pantas menggantikannya.
Perang Saudara Pada 20 Februari 2011, Saif al-Islam (putra Khadafy)
menyatakan bahwa jika ayahnya mundur, Libya akan terbenam dalam perang saudara. Tak perlu menunggu Khadafy mundur, perang saudara di negara ini sudah terjadi seiring dengan semakin sengitnya pertempuran antara kubu pendukung Khadafy dengan kelompok oposisi.
Jika dibandingkan, jumlah pendukung Khadafy sebenarnya masih kalah banyak dari kelompok penentangnya. Sebab, sejumlah orang dekat Khadafy telah meninggalkan dirinya dan bahkan turut bergabung dalam oposisi. Hanya saja, pendukung Khadafy menguasai sejumlah wilayah strategis yang dapat dimanfaatkan untuk meredam pergerakan oposisi sehingga dia masih merasa aman bertengger di kekuasaan.
Itulah sebabnya, kelompok oposisi merasa penting merebut wilayah strategis tersebut untuk menggerorgoti kekuasaan Khadafy. Walaupun kota-kota utama di Libya Timur telah dikuasai oposisi, tetapi hal itu tidak cukup jika belum berhasil merebut Tripoli. Persoalannya, merebut Tripoli tidak mudah dilakukan karena persenjataan kelompok oposisi kalah canggih dibandingkan pendukung Khadafy yang memiliki alat tempur modern. Ketika peralatan tempur modern digunakan untuk Itulah sebabnya, kelompok oposisi merasa penting merebut wilayah strategis tersebut untuk menggerorgoti kekuasaan Khadafy. Walaupun kota-kota utama di Libya Timur telah dikuasai oposisi, tetapi hal itu tidak cukup jika belum berhasil merebut Tripoli. Persoalannya, merebut Tripoli tidak mudah dilakukan karena persenjataan kelompok oposisi kalah canggih dibandingkan pendukung Khadafy yang memiliki alat tempur modern. Ketika peralatan tempur modern digunakan untuk
Intervensi Militer Tanda-tanda intervensi terhadap Libya tampak dari beragam
sikap yang ditunjukkan para pemimpin dunia dan organisasi internasional. Presiden Perancis Nicolas Sarkozy mendesak Uni Eropa memberikan sanksi keras terhadap Libya karena tidak ada toleransi bagi rezim yang membantai masyarakat sipil (Kompas, 24/2). Presiden Amerika Serikat Barack Obama menganggap pertumpahan darah di Libya sudah keterlaluan sehingga AS mendesak masyarakat dunia bersatu membantu rakyat Libya (Kompas, 25/2). Perdana Menteri Inggris David Cameron merencanakan pemberlakuan zona larangan terbang di Libya (Kompas, 2/3). Dewan Keamanan PBB dan North Atlantic Treaty Organization (NATO) telah memikirkan kemungkinan menyerang Libya (Kompas, 4/3).
Sinyal penyerangan sudah ditunjukkan oleh pengiriman sejumlah kapal perang negara-negara Barat ke lepas pantai Libya. Mencermati hal itu, tampaknya skenario Balkan akan melanda Libya. Pada 1999, negara-negara anggota NATO melancarkan intervensi militer ke wilayah Balkan untuk mendongkel kekuasaan Presiden Serbia Slobodan Milosevic. Milosevic yang dituduh telah membasmi etnis Albania akhirnya diseret ke Mahkamah Internasional sebagai penjahat perang.
Jika Khadafy tetap bertindak brutal, tidak tertutup kemungkinan dia mengalami nasib serupa dengan Milosevic. Bagi negara-negara Barat, tindakan itu relatif mudah dilakukan karena dukungan terhadap Khadafi kian melemah. Apalagi, mereka berkepentingan atas sumber minyak Libya yang akan dengan mudah dikeruk jika Khadafy tumbang.
Instabilitas Politik Mengingat kekuasaannya semakin tergerogoti, jatuhnya
Khadafy dari kursi kepemimpinan Libya tampaknya tinggal menunggu waktu. Masalahnya, hingga kini belum ada figur berpengaruh yang layak dipercaya menggantikan Khadafy. Sebab, selama empat dekade berkuasa, Khadafy telah menutup semua lini menuju kekuasaan bagi semua orang, kecuali bagi Saif yang memang telah disiapkan menggantikan dirinya.
Selama bertahun-tahun rakyat Libya hanya dikenalkan pada sosok Saif sebagai pemimpin masa depan sehingga menutup peluang munculnya figur alternatif. Jika Khadafy terguling, hampir pasti Saif bakal terusir dari Libya. Karena itu, tantangan masa depan bagi rakyat Libya adalah menemukan sosok pengganti yang tepat dan tidak tergoda mempertahankan kekuasaan terus-menerus.
Celakanya, gerakan demokratisasi di Libya sama sekali tidak memunculkan figur pemimpin alternatif seperti di Mesir. Oleh sebab itu, ada kemungkinan pihak-pihak yang terlibat dalam gerakan ini akan saling berebut kekuasaan pasca-Khadafy. Akibatnya, Libya pasca-Khadafy bakal mengalami instabilitas politik karena kesulitan memilih pemimpin terlegitimasi yang dipercaya semua kalangan.
21 Maret 2011