Pelajaran dari Kudeta Niger
Pelajaran dari Kudeta Niger
elalui kudeta yang menewaskan tiga orang, kelompok militer pimpinan Kolonel Adamou Harouna mengambil alih kekuasaan Presiden Niger Mamadou Tandja, Kamis
lalu (18/2). Kudeta yang berlangsung dramatis itu dilancarkan ketika Tandja sedang menggelar sidang kabinet di Istana Presiden. Tentara yang menyebut dirinya Dewan Tertinggi Restorasi Demokrasi (CSRD) lantas membubarkan pemerintahan Tandja dan membatalkan konstitusi yang melanggengkan kekuasaan presiden tanpa batas.
Kudeta itu terjadi tidak lama setelah para pemimpin Afrika bersatu dalam sebuah tekad untuk “melawan setiap bentuk kudeta terhadap pemerintahan yang sah” dalam Konferensi Tingkat Tinggi Uni Afrika di Addis Ababa Januari lalu. Tekad itu memang perlu dikumandangkan karena kudeta memang menjadi momok bagi perkembangan demokrasi di Afrika. Dalam waktu dua tahun terakhir, pemerintahan konstitusional di Mauritania, Guinea, dan Madagaskar telah ditumbangkan lewat kudeta. Ironisnya, Tandja yang juga hadir dalam KTT itu justru menjadi korban kudeta.
Lantas, pelajaran apakah yang bisa kita petik dari fenomena ini?
Taat Konstitusi Setelah kudeta militer 1999, Niger memasuki iklim
demokratisasi seiring diadakannya pemilu pada tahun yang demokratisasi seiring diadakannya pemilu pada tahun yang
Militer kecewa terhadap keputusan tersebut. Tandja dianggap telah melanggar konstitusi untuk menggelar pemilu tiap lima tahun dan turun tahta setelah menjabat presiden selama dua periode. Bangunan demokrasi Niger yang telah dibangun selama 11 tahun dirobohkan oleh Tandja dalam waktu sekejap. Akibatnya, militer mencabut dukungan terhadap Tandja dan menurunkannya secara paksa dari kursi kepresidenan.
Bagi Indonesia yang sedang mengonsolidasikan demokrasi, kudeta Niger memberikan pelajaran bahwa sebagai sebuah konsensus bersama, konstitusi harus ditegakkan dalam setiap kesempatan. Pemimpin negara harus selalu diawasi dan diingatkan untuk tidak sewenang-wenang dalam memainkan konstitusi sesuai kehendak pribadi.
Masa jabatan presiden maksimal dua periode harus terus dilestarikan dan dilindungi dari pihak-pihak yang berkeinginan mengubahnya. Kita sudah cukup menderita dengan tiadanya masa jabatan presiden selama Orde Baru. Kekuasaan terpusat pada satu tangan yang berjalan puluhan tahun berpotensi menyuburkan benih-benih korupsi.
Untungnya, sejak kita lepas dari rezim otoritarian 12 tahun lalu, tidak ada satupun presiden yang memiliki hasrat berkuasa tanpa batas waktu. Dalam perjalanan bangsa ke depan, ini merupakan modal berharga untuk menapaki tangga kematangan demokrasi yang kokoh. Untuk memperkaya modal itu, konstitusi harus mampu menutup peluang adanya pelanggengan kekuasaan oleh pemimpin negara.
Penegakan Hukum Hukum di Niger tampaknya diabdikan untuk kepentingan
penguasa. Sebelum mengubah konstitusi, Tandja menggelar referendum untuk meminta persetujuan rakyat agar dirinya diizinkan berkuasa tanpa batas. Melalui berbagai macam rekayasa, Tandja mendapatkan dukungan 92,5 persen pemilih. Pengadilan lantas mengesahkan hasil kontroversial yang ditolak oposisi itu.
Permasalahannya, penolakan oposisi tidak bisa disalurkan melalui gugatan hukum karena pemerintah menutup pintu masuk untuk melakukan itu. Militer yang mencermati kondisi ini tampak tidak tahan untuk membatalkan hasil itu secara inkonstitusional setelah semua saluran macet total. Pengadilan telah menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan.
Melalui kasus ini, kita bisa mengambil pelajaran tentang pentingnya penegakan hukum dalam penyelesaian perkara politik. Indonesia telah berada di jalur yang benar dengan adanya Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi lembaga tertinggi untuk memutuskan sengketa pemilu. Hanya saja, independensi MK diragukan setelah Ketua MK menghadiri undangan Presiden dalam pertemuan antarlembaga tinggi negara di Istana Bogor (21/1). Karena itu, MK perlu dikawal agar selalu bersikap independen dan tidak menjadi alat kekuasaan sehingga dapat menghasilkan keputusan yang adil.
Penguatan Masyarakat Sipil Gerakan masyarakat sipil di Niger tergolong lemah.
Terbukanya kran demokrasi pada 1999 tidak diiringi dengan konsolidasi gerakan-gerakan masyarakat untuk mengontrol pemerintah. Masyarakat Niger seolah terlena dengan kekuasaan totalitarian sejak negara ini merdeka dari Prancis pada 1960 sehingga kesempatan untuk terlibat dalam penentuan pemimpin Terbukanya kran demokrasi pada 1999 tidak diiringi dengan konsolidasi gerakan-gerakan masyarakat untuk mengontrol pemerintah. Masyarakat Niger seolah terlena dengan kekuasaan totalitarian sejak negara ini merdeka dari Prancis pada 1960 sehingga kesempatan untuk terlibat dalam penentuan pemimpin
Kelemahan itu menjadikan militer kian menonjolkan perannya untuk menyetir pemerintahan yang terpilih secara demokratis. Kontrol atas pemerintahan bukannya dilakukan oleh masyarakat sipil, tetapi oleh militer. Kondisi ini jelas berbahaya karena dengan kekuatan senjatanya, militer dapat merebut kekuasaan sewaktu-waktu jika pemerintahan tidak berjalan sesuai keinginannya. Kudeta atas pemerintahan Tandja merupakan refleksi dari kondisi tersebut.
Belajar dari kudeta Niger, gerakan masyarakat sipil di Indonesia perlu terus diperkuat untuk meminimalisir kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan, baik oleh pemerintah maupun oleh militer. Dibandingkan Niger, kita lebih beruntung karena perkembangan demokrasi di Indonesia diiringi dengan menjamurnya gerakan-gerakan sosial dan organisasi-organisasi nonpemerintah yang tak pernah henti mengawasi jalannya pemerintahan. Atas nama demokrasi, siapapun tidak boleh melemahkan gerakan masyarakat ini!
22 Februari 2010