Klaster Industri TINJAUAN PUSTAKA

13 geografis suatu klaster dapat mencakup suatu kota, daerah kabupaten, provinsi, atau bahkan suatu jaringan negara tetangga. Konsep ini dapat digunakan untuk mengembangkan industri yang bersifat luas atau pada industri yang terfokus pada jenis-jenis produk tertentu Tambunan 2001. Keunggulan suatu industri disuatu negara atau daerah bukanlah ditentukan oleh kesuksesan industri itu sendiri tetapi merupakan kesuksesan kolektif dari kelompok industri Porter 1990. Karakteristik utama yang menjadi kunci pengembangan klaster industri, sebagaimana dipresentasikan oleh Depperin 2006, adalah: 1 klaster industri melibatkan perusahan-perusahan yang saling berhubungan dan terkait dengan pemasok yang terspesialisasi, penyedia layanan, dan lain-lain; 2 klaster industri merupakan institusi-institusi yang bekerjasama; 3 adanya keterlibatan dan partisipasi dari universitas, asosiasi, dan lembaga swadaya masyarakat dalam bentuk penelitian, pelatihan tenaga kerja, dan konsultasi dalam rangka pemantapan klaster; 4 klaster industri memiliki konsentrasi geografis yang memudahkan pengembangan dan akses antar pelaku yang terlibat didalam klaster; dan 5 klaster dan komponen-komponen lainnya yang berasosiasi serta terkonsentrasi dalam wilayah geografis memungkinkan terjadinya interaksi dan efisiensi yang dapat dikembangkan oleh perusahan yang berhubungan dan juga menyediakan akses pada tenaga kerja yang lebih terspesialisasi. Keterkaitan industri dalam klaster, selain dapat meningkatnya nilai tambah dan daya saing, juga akan menumbuhkan inovasi yang berkelanjutan dan memperkuat posisi tawar bagi setiap anggota klaster Porter 1990. Inovasi akan muncul karena adanya ruang atau peluang yang besar bagi para anggota untuk melaksanakan proses pembelajaran. Perusahan tertentu akan belajar pada perusahan lain yang memiliki keunggulan dan kemajuan, sebaliknya perusahan yang unggul perlu terus memacu keunggulannya secara berkelanjutan. Selain itu, keterkaitan yang ada akan memungkinkan terjadinya perpindahan tenaga kerja antar perusahan dalam klaster yang berakibat pada terjadinya transfer pengetahuan pada perusahan yang menerima tenaga kerja tersebut sehingga akan mendorong terjadinya pertumbuhan kinerja dari perusahan tersebut. Pertumbuhan ini dapat memperdalam integrasi vertikal ataupun integrasi horizontal dari klaster tersebut. 14 Selain kemudahan mengakses tenaga kerja, perusahan didalam akan memperoleh manfaat berupa biaya transportasi dan biaya transaksi yang dikeluarkan menjadi kecil Karaev et al. 2007; Anonim 2008. Hal ini dimungkinkan karena perusahan-perusahan berlokasi saling berdekatan atau karena adanya aglomerasi. Aglomerasi juga akan mendorong persaingan melalui transfer informasi, pengetahuan dan teknologi diantara perusahan yang saling terkait. Transfer pengetahuan dan teknologi ini dapat memunculkan industri baru yang menyebabkan klaster menjadi lebih besar. Porter 1990 mengemukakan bahwa pembentukan klaster merupakan proses dinamis dimana pertumbuhan suatu perusahan yang memiliki daya saing pada klaster tersebut akan membangkitkan kebutuhan akan adanya industri terkait lainnya pada klaster dimaksud. Dengan berkembangnya klaster akan terjadi sistem yang saling memperkuat sehingga manfaat akan mengalir ke depan forward linkage dan ke belakang backward linkage pada seluruh industri yang terdapat dalam klaster. Selanjutnya dikatakan bahwa persaingan antara perusahan dalam klaster akan mendorong pertumbuhan karena persaingan akan mendorong perusahan dalam klaster untuk lebih inovatif dan terdorong untuk melakukan pengembangan teknologi baru. Keadaaan ini selanjutnya menstimulus kegiatan penelitian dan pengembangan. Kajian terhadap klaster-klaster industri di Eropa Barat menunjukkan bahwa industri kecil dan menengah yang berada dalam klaster dapat berkembang lebih cepat dan lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan pasar dibandingkan dengan industri kecil dan menengah yang beroperasi secara sendiri-sendiri di luar klaster Tambunan 2001. Pengembangan klaster industri di suatu kawasan, wilayah atau lokasi tertentu memerlukan tahapan identifikasi. Menurut Porter 1998, identifikasi tersebut dimulai dengan menentukan perusahan inti, yang umumnya berskala besar, serta mengidentifikasi konsentrasi perusahan-perusahan sejenis lainnya yang memiliki skala usaha yang kecil dan menengah. Dalam hal ini perlu juga dianalisis keterkaitan kedepan dan kebelakang dari industri dengan institusi lain dalam suatu rantai vertikal. Langkah selanjutnya adalah menganalisis rantai 15 hubungan horizontal yaitu berkaitan dengan saluran pemasaran bersama atau menghasilkan produk yang sifatnya saling melengkapi. Tambunan 2001 mengemukakan beberapa pertimbangan dalam pengembangan klaster industri kecil dan menengah di Indonesia. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah penentuan sentra-sentra industri yang ada, sentra- sentra mana yang akan dibantu perkembangannya dengan menggunakan strategi tersebut. Kriteria pemilihan bisa didasarkan pada prospek pasar di dalam negeri atau ekspor, potensi kesempatan kerja yang dapat diciptakan, ataudan intensitas penggunaan sumber-sumber daya lokal. Setelah itu, langkah berikutnya adalah melakukan diganosis klaster dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimiliki klaster-klaster yang dipilih tersebut, permasalahan-permasalahannya, dan bentuk-bentuk bantuan yang diperlukan. Dalam proses diagnosis tersebut ada beberapa tahap yang harus dilakukan secara berurut. Akan tetapi, sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu mengenai jaringan bisnis dari klaster-klaster yang terpilih tersebut, yakni relasi mereka dengan pemasok bahan baku dan input-input lain, pensuplai mesin dan peralatannya, pasar, dan relasi mereka dengan pengusaha-pengusaha besar, universitas, bank, pemerintah, dan lembaga-lembaga lainnya. Selain jaringan bisnis, menurut Tambunan 2001, faktor lain yang sangat besar pengaruhnya terhadap kinerja klaster adalah iklim usaha, yang sifatnya bisa mendukung atau menghambat. Di dalam iklim usaha ini termasuk iklim ekonomi makro, rezim perdagangan, infrastruktur, sistem perpajakan, sikap bank dan lembaga keuangan lainnya terhadap industri kecil dan menengah, dan kebijakan- kebijakan pemerintah yang mempengaruhi langsung maupun tidak langsung perkembangan dan pertumbuhan klaster-klaster industri kecil dan menengah. Penyusunan rencana implementasi suatu program sangat tergantung pada hasil diagnosis. Hasil diagnosis tersebut harus memberikan rumusan permasalahan yang ada secara jelas dan lengkap Tambunan 2001. Permasalahan bisa bervariasi antara satu klaster dan klaster lainnya di dalam klaster itu sendiri, permasalahan yang dialami seorang pengusaha bisa berbeda dengan permasalahan yang dihadapi pengusaha-pengusaha lainnya. Permasalahan yang dialami industri kecil dan menengah pada klaster-klaster tergantung antara lain pada jenis 16 komoditas yang dibuat. Pada umumnya, permasalahan tersebut menyangkut aspek-aspek, seperti pemasaran, pengadaan bahan baku, permodalan, SDM, teknologi, informasi, dan lain lain. Apabila hasil diagnosis terhadap suatu klaster menemukan beberapa masalah, harus ditentukan mana di antaranya yang merupakan masalah utama. Rencana aksi akan berisi sejumlah aksi-aksi yang fokus atau prioritasnya adalah pada penyelesaian masalah utama tersebut. Keberadaan kelembagaan dalam sistem agroindustri dapat menjembatani keterbatasan agroindustri dalam mengakses dan mengoptimalkan faktor-faktor struktural seperti modal, pemasaran, persaingan, bahan baku, teknik produksi proses dan teknologi, dan manajerial. Disamping itu, jika kelembagaan tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik pada gilirannya akan berdampak pada kondisi produk yang dihasilkan dan harga. Secara konseptual, Hubeis 2007 mempresentasi bentuk dan hubungan kelembagaan dalam sistem agroindustri seperti pada Gambar 2. Instansi Teknis Usaha Besar Lembaga Keuangan Lembaga Inkubasi Lembaga Pendukung Program Pengembangan Bisnis Unit Usaha UKM Perguruan Tinggi Pasar Gambar 2 Kelembagaan konseptual program pengembangan agroindustri. Menurut Nasution 2001, kelembagaan yang mempunyai peluang untuk mengembangkan agroindustri, sebaiknya selain mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen dalam hal jumlah dan mutu, agroindustri juga harus mampu membela kepentingan petani sebagai produsen terutama mampu meningkatkan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Dengan demikian bentuk kelembagaan agroindustri tersebut harus direkayasa dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat. 17 Bentuk kelembagaan yang banyak dipakai dalam sistem pengembangan agroindustri diantaranya adalah kelembagaan yang berbasis kemitraan Hafsah 1999; Hubeis 2007; Mangunwidjaja Sailah 2008. Selama ini berbagai pola kemitraan pernah diterapkan di Indonesia namun masih ditemukan berbagai permasalahan dalam pelaksanaannya. Pola kemitraan tersebut diantaranya pola anak angkat, bapak angkat, inti plasma PIR, model usaha ekonomi bersama, model inkubator, penyertaaan modal ventura, dan lain-lain. Pola kemitraan partisipatif dianggap relevan untuk mengembangkan sektor agroindustri pedesaan Mangunwidjaja Sailah 2008, karena menerapkan prinsip-prinsip: 1 rekayasa kelembagaan ekonomi masyarakat harus mengacu pada budaya setempat dimana kegiatan agroindustri bermuara, 2 kemitraan usaha didasarkan pada prinsip saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling menghidupi, 3 bentuk lembaga ditetapkan melalui musyawarah dari wakil unsur bersarikat, 4 transformasi kelembagaan kelompok informal binaan menjadi lembaga formal mandiri dilakukan melalui proses yang wajar demokratis dan sesuai dengan tahap penataan sistem agroindustri yang diterapkan, 5 sumber dana terpadu berasal dari berbagai sumber yang dapat menjamin efisiensi biaya serta memungkinkan diterapkannya pola bagi hasil, 6 untuk mencapai efisiensi bisnis yang tinggi maka pelaku utama kemitraan seyogyanya mempunyai entiti bisnis dalam jalur sistem bisnis yang sedang dikembangkan. Selanjutnya Mangunwidjaja dan Sailah 2008 menyatakan bahwa aspek penting yang dapat dijadikan pendekatan dalam pembentukan pola pembinaan kemitaraan partisipatif adalah a aspek bisnis untuk menjamin kelayakan usaha, b aspek kesejahteraan sosial untuk menjamin manfaat usaha, c aspek keikutsertaan para pelaku kemitraan untuk menjamin keberlanjutan usaha, dan d aspek teknologi untuk menjamin teknik dan mutu produk. Perencanaan pengembangan klaster industri memerlukan sistem pengukuran kinerja yang berguna untuk mengevaluasi kinerja klaster yang dibangun sehingga diketahui bagian sistem mana yang harus dipertahan dan diperbaiki dalam menyusun strategi kedepan. Carpinetti 2008 mengemukakan sejumlah indikator yang dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan klaster yang dikelompokkan kedalam empat kategori yaitu a indikator ekonomi dan sosial, 18 b kinerja perusahan, c efisiensi kolektif dan d modal sosial Gambar 3. Indikator modal sosial menyangkut ukuran-ukuran yang berhubungan dengan nilai budaya seperti rasa saling percaya dan kerja sama yang terjadi. Indikator kinerja perusahan berkaitan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh agroindustri sebagai perusahan khususnya berkaitan dengan tingkat pertumbuhan dan daya saing yang dapat diukur melalui kinerja finansial dan non finansial. Manfaat sosial ekonomi berhubungan dengan kontribusi terhadap perekonomian lokal, lapangan kerja dan hasil-hasil lain yang menimbulkan manfaat ekonomi dan sosial. Sedangkan efisiensi kolektif berkaitan dengan ekonomi eksternal dan implementasi kerjasama antara pemangku kepentingan di dalam klaster. KINERJA KLASTER INDUSTRI MODAL SOSIAL KINERJA PERUSAHAN AGROINDUSTRI EFISIENSI KOLEKTIF MANFAAT SOSIAL EKONOMI Gambar 3 Model pengukuran kinerja klaster industri Carpinetti 2008 Pengukuran kinerja klaster industri juga dikemukakan oleh Departemen Perdagangan dan Industri Inggris http:www.dti.gov.ukfilesfile14008.pdf. Pengukuran tersebut disebut industrial development scoreboard IDS. Metode ini dibedakan atas: 1 competitive industrial performance CIP yang dilihat dari a volume dan nilai ekspor, b pangsa ekspor manufaktur berteknologi menengah dan teknologi tinggi, c nilai tambah manufaktur, d pangsa nilai tambah manufaktur berteknologi menengah dan teknologi tinggi, dan 2 faktor pengungkit kemampuan dari CIP itu sendiri, diantaranya ketrampilan, penelitian dan pengembangan, investasi asing, royalti dan lisensi, dan infrastruktur. 19 Selain itu, Arthurs et al 2007 juga menawarkan sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keberhasilan pengembangan suatu klaster industri yang terdiri atas indikator umum dan indikator khusus. Indikator umum didasarkan pada data statistik yang dipublikasikan yang meliputi a investasi pada penelitian dan pengembangan RD, b kompetensi sumberdaya manusia, c paten, d pembelian teknologi. Sedangkan indikator khusus terdiri atas a keterkaitan rantai pasok dan forward market, b kerjasama partnership, c tukar menukar informasi dan pengetahuan knowledge sharing, d modal sosial social capital, dan e pengetahuan tacit sumberdaya lokal.

2.5. Pengembangan Inovasi dan Teknologi

Teknologi adalah sarana untuk melakukan suatu tugas, ke arah kehidupan manusia yang semakin baik dan sejahtera Said 2001. Teknologi dapat juga dianggap sebagai pengetahuan dan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan. Selain itu, teknologi dapat diterapkan untuk merancang bangun suatu produk dan proses yang baru, atau pencarian ilmu yang baru. Oleh karena itu, pengelolaan teknologi yang kompleks di atas hendaknya dilakukan secara efektif dan efisien sehingga akan memperoleh hasil yang optimal. Hubeis 1993 teknologi dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu: 1 teknologi standar dengan sistem produksi standar, peralatan standar, dan pekerja berkualifikasi sedang contoh: susu pasteurisasi, sirup, dan selai buah- buahan skala menengah; 2 teknologi mutakhir dengan sistem produksi kompleks, peralatan kompleks, dan pekerja berkualifikasi tinggi contoh: industri makanan dan minuman kaleng, kultur jaringan, dan industri kertas; 3 teknologi tradisional dengan sistem produksi standar, peralatan tidak banyak, dan pekerja kurang berkualifikasi contoh: home industry gula merah batok, kerupuk sagu, dan ikan asin; 4 teknologi transisi dengan sistem produksi standar, peralatan sederhana sampai modern, dan pekerja kurang berkualifikasi contoh: industri tempe dan tahu skala menengah, industri pakan ternak, dan nata de coco skala menengah. Pengelolaan teknologi adalah suatu seni dan praktik dari manajemen teknologi yang fundamental. Dalam tingkat perusahaan agroindustri, pengelolaan 20 teknologi adalah suatu fungsi terpadu yang tunggal a single integrated function, yang beroperasi secara menyeluruh pada suatu organisasi Said 2001. Semua aktivitas agroindustri seharusnya berusaha mengelola penelitian, pengembangan, manufakturing, kreativitas, inovasi dan berbagai isu tunggal secara terpadu dan diarahkan kepada tujuan-tujuan bisnis yang ideal. Said 2001 menawarkan komponen-komponen spesifik yang harus diperhatikan dalam melakukan penilaian terhadap teknologi yang digunakan dalam kegiatan industri. Komponen-komponen tersebut meliputi: 1 mendefinisikan isu bisnis, 2 mendefinisikan konteks bisnis, 3 menggambarkan teknologi, 4 meramalkan teknologi, 5 meramalkan dampak pada industri, 6 mengidentifikasi respons-respons yang tersedia pada perusahaan, 7 menganalisis perubahan-perubahan pada struktur industri, 8 mengevaluasi dampak pada industri, 8 menganalisis respons-respons alternatif, 9 mengevaluasi respons-respons alternatif, 10 mengkomunikasikan hasil-hasil yang diperoleh, 11 mengalihkan teknologi, 12 melakukan partisipasi pada pengambilan posisi, dan 14 formulasi posisi. Inovasi berkaitan dengan metode untuk melakukan sesuatu dan berhubungan dengan resiko-resiko, kegagalan, cara-cara berpikir yang baru mengenai manajemen dan tidak belajar dari cara-cara lama. Inovasi merupakan proses mengerjakan sesuatu yang baru Stuti 2009, dan mempertimbangkan fenomena random dari berpikir kreatif Fargerberg 2005. Penting disini adalah mengakui bahwa inovasi mengimplikasikan tindakan, bukan hanya pemahaman dan penyusunan ide-ide baru. Inovasi merupakan susunan dari komponen kepakaran, interaksi antara berbagai pihak, keragaman latar belakang narasumber, dan dapat diaplikasikan Anonim 2008. Dalam kaitannya dengan pengembangan industri kecil dan menengah, Little 1993 yang diacu dalam Stuti 2009 membagi inovasi kedalam 3 jenis yaitu 1 inovasi produk, 2 inovasi proses, dan 3 inovasi organisasional. Sejalan dengan itu, Anonim 2008 mengemukakan bahwa inovasi dapat menghasilkan sesuatu yang baru misalnya jenis produk, metode produksi, sumber pasokan, pasar dan eksploitasi pasar, serta cara mengorganisir bisnis.