Gerakan Konsensus Sulitnya Perjuangan Petani di Era Orde Baru

95 Protes merupakan tindakan primer yang lebih bersifat ekspresif daripada instrumental. Perilaku ini cenderung dilakukan untuk menumpahkan kemarahan, frustasi, atau emosi-emosi lainnya. 240 Perilaku tersebut mereka lakukan karena mendapat tekanan yang kuat dari aparat keamanan dan sumber kehidupannya kebutuhan dasar terancam secara mendadak. Seperti kasus yang terjadi di Tanjung Bintang berikut ini: Di wilayah tanjung Bintang, ancaman aparat keamanan yang disiapkan oleh PT. HIRMA ternyata bukan hanya gertakan saja. Dengan melihat lemahnya kekuatan komunitas setempat, maka program perusahaan dapat terus dilakukan. Seperti yang terjadi di desa Sumber Jaya, pada hari Jum’at tanggal 23 Juli 1976 tanaman masyarakat digusur habis tanpa ada pemberitahuan lebih dulu dan tidak ada ganti rugi apapun. Pada hari Senin tanggal 26 Juli 1976 pihak aparat melancarkan teror berupa ancaman kepada Kepala Kampung dan warga masyarakatnya bahwa me- reka akan membakar rumah dan akan menculiknya. Tindakan semena-mena dan semakin menjadi-jadi yang dilancarkan perusahaan melalui kaki tangan aparat keamanan inilah yang kemudian menyulut amarah dan perlawanan masyarakat. Dalam perlawanan tersebut terjadi jatuh korban meninggal dunia dan banyak menderita luka-luka. Akibat dari peristiwa tersebut banyak warga masyarakat yang ketakutan dan mengungsi. Kepala Kampung waktu itu juga mengungsi ke Tanjung Karang sesuai surat yang dibuatnya pada tanggal 1 Agustus 1976, dan baru kembali setelah diperintah oleh Camat berdasarkan Surat Camat Kepala Wilayah Kecamatan Kedaton Nomor 2971 Des1976 Sumber: Dokumen IPL dan hasil wawancara dengan bapak Kpl, seorang petani, 2008. Perilaku protes tersebut terjadi di banyak tempat ketika terjadi tindakan pembebasan dan mengambil-alihan lahan-lahan petani setempat. Tetapi karena perilaku tersebut sangat lemah atau hampir tidak terorganisir, dan belum mendapat dukungan kuat dari kalangan non petani, maka dengan mudah dapat dilemahkan, dipatahkan dan dilokalisir agar tidak meluas.

5.3.2. Gerakan Konsensus

Persoalan pertanahan bersifat mendasar bagi petani sehingga akan terus diaktifkan sebelum terselesaikan secara tuntas di lapangan. Ketika memakai strategi protes tidak berhasil secara memuaskan, kemudian petani membangun strategi baru, yakni “gerakan konsensus” consensus movement. 241 Dalam studi ini gerakan konsensus, meskipun termasuk gerakan sosial, tetapi eksistensinya cenderung lebih dekat dengan ciri-ciri sebagai kelompok kepentingan interest group daripada gerakan sosial. Melalui gerakan konsensus, para petani secara kolektif berupaya penyelesaikan persoalan pertanahan sesuai prosedur yang 240 Steven E. Barkan dan Lynne L. Snowden, 2001.Op.Cit., hal. 6. 241 Konsep “gerakan konsensus” consensus movement menurut McCarthy dan Wolfson 1988: 26 menunjuk pada mobilisasi sosial yang didukung oleh masyarakat luas 80-90 penduduk dan “sedikit atau bukan oposisi terorganisir”. Sedangkan menurut Lofland 1989:163 dibedakan antara “consensus movements” dan “conflict movements” dilihat dari derajat kepentingan obyektif yang berlawanan dan upayanya untuk merubah kebijakan sosial Lihat Aldon D. Morris dan Carol McClurg Mueller. 1992. Op.Cit., hal. 205, 275. 96 berlaku institutional concensus dan berhubungan dengan para pemegang orotitas setempat. 242 Paling sedikit terdapat enam unsur yang memungkinkan para petani berpartisipasi di dalam proses perjuangan bersama, terutama melalui pendekatan konsensus disajikan dalam Tabel 7. 1. Kepercayaan petani terhadap hak penguasaan tanah tidak bersifat magis, tetapi lebih didasarkan pada bukti-bukti tertentu fisik dan non fisik. Bukti- bukti tersebut di kalangan petani diangap sudah sah dan menjadi alas hak yang cukup kuat untuk menguasai dan memilikinya. 2. Tuntutan petani menguat seiring dengan semakin berkembangnya kekuatan perjuangan. Ketika menjadi anggota organisasi gerakan tani, maka tuntutan tersebut menguat bahwa lahan dapat dikuasai kembali oleh petani. 3. Meskipun berada pada wilayah konflik yang sama tetapi mereka cenderung membuat kelompok sendiri-sendiri terpisah dan berjuang sendiri-sendiri sesuai dengan kondisi dan kekuatan masing-masing. Tabel 8 Unsur-Unsur Gerakan Konsensus Unsur-Unsur Keterangan Kepercayaan Merasa berhak atas tanah sesuai dengan bukti-bukti yang dimiliki. Kepentingan Tuntutan Pengembalian tanah, ganti rugi yang memadai, pembagian tanah, pengusahaan lahan, sertifikasi tanah. Kelompok Informal dengan struktur sangat sederhana dan anggotanya masih terbatas dalam suatu komunitas di masing-masing wilayah konflik. Kepemimpinan Tradisional dan kharismatik Kesadaran Konfliktual berhadapan dengan penguasa dan pengusaha. Strategi Perjuangan Institusional-konsensus Sumber: Hasil riset, 2008. 4. Peranan pemimpin sangat menentukan dan sebagai simpul perjuangan komunitasnya. Pada komunitas adat yang menjadi pemimpin adalah para pemuka adat, sedangkan pada komunitas non adat para pemimpinnya bisa muncul dari warga setempat yang ditokohkan. Secara umum ciri para pemimpin kelompok adalah memiliki wawasan luas, memiliki kemampuan 242 Menurut Michael Schwartz dan Shuva Paul, terdapat dua faktor kunci yang membedakan antara kelompok kepentingan dan gerakan sosial. Pertama, kelompok kepentingan selalu berhubungan dengan para pemegang otoritas yang diberi mandat secara institusional dan mengikuti prosedur institusional yang ada untuk mencapai tujuannya. Sedangkan gerakan sosial dapat melakukan itu, tetapi juga melakukan tindakan- tindakan kolektif yang merusak aturan dan mengacaukan proses normal dalam upaya untuk mencapai tujuanya. Kedua, kelompok kepentingan dapat menyerukan konstituennya untuk aktif mendukung, tetapi modus operandi utamanya dan barangkali eksklusif adalah interaksi antara pemimpinnya dengan para pemegang otoritas institusional. Sedangkan gerakan sosial lebih mengandalkan mobilisasi massa konstituen untuk mencapai tujuannya Aldon D. Morris dan Carol McClurg Mueller. Editor’s. 1992. Ibid., hal. 221. 97 kesaktian, mampu membangun jaringan ke luar, konsisten dan komitmen tinggi, relatif sudah mapan, mampu berargumentasi, mampu melakukan koordinasi dan negosiasi, dan berani dalam berjuang. Kepemimpinan umumnya masih kuat mengacu pada struktur otoritas tradisi setempat. 5. Perasaan senasib in group sudah tumbuh dan mereka sadar berhadapan dengan para pemegang otoritas out-group setempat. Paling tidak mereka berada pada tingkat kesadaran perjuangan karena adanya pertentangan nilai dan kepentingan dengan negara dan perusahaan. Ini merupakan bentuk awal terjadinya konsensus gerakan skala mikro lokal. Mereka dapat lebih intensif berinteraksi mengembangkan kesadaran konfliktualnya. 6. Pertimbangan biaya costs dan keuntungan benefits dalam berjuang tidak bisa diabaikan. Strategi perjuangan yang ditempuh ditentukan oleh kekuatan kelompok yang berkembang seiring dengan kekuatan kontrol negara. Tetapi, secara umum mereka cenderung menggunakan jalur institusional, baik melalui jalur hukum pengadilan maupun melalui cara musyawarah mediasi dan negosiasi. Melalui strategi institusional gerakan konsensus ternyata juga tidak efektif, yakni banyak yang kasusnya masih terkatung-katung. Krisis kepercayaan petani terhadap lembaga hukum formal semakin kuat menjelang jatuhnya rezim Orde Baru dan tetap tinggi pada awal-awal reformasi. Indikasinya, penyelesaian persoalan pertanahan melalui jalur hukum kurang diminati oleh petani dibanding dengan cara musyawarah, meskipun dengan cara ini juga banyak yang kandas. Salah satu contoh kasus terjadi di wilayah PT DHL sebagaimana diungkapkan oleh bapak PS, seorang tokoh petani yang ikut bermusyawarah waktu itu: Pada tahun 1997 pernah dilakukan musyawarah antara petani dengan PT.DHL yang dimediasi oleh Gema Trikora dan pemerintah kabupaten Lampung Selatan. Hasilnya, terjadi kesepakatan antara petani dengan perusahaan, yakni masyarakat boleh melakukan tumpang sari seluas 300 Ha. Sudah ada suratnya dari pemerintah kabupaten Lampung Selatan waktu itu. Tetapi, alhamdulillah pihak perusahaan tidak mau melaksanakan kesepakatan itu. Kata ”Alhamdulillah” yang diucapkan tersebut memiliki dua makna terkait dengan gerakan petani di kemudian hari. Pertama, jika waktu itu ternyata pihak perusahaan mau melaksanakan kesepakatan bersama tanaman tumpang sari, maka ini dapat dipakai sebagai alasan perbuatan baik pihak perusahaan dan sebagai bukti peduli terhadap nasib petani di sekitarnya. Hal ini di kemudian hari dapat menjadi tekanan psikologis bagi petani untuk melakukan reklaiming. Kedua, sebaliknya sikap perusahaan yang mengingkari kesepakatan tersebut 98 merupakan peluang bagi petani dikemudian hari pada tahun 1998 untuk berani melakukan reklaiming. Di Trimodadi, Lampung Utara di mana masyarakat setempat bahkan sudah berjuang sejak 1960-an ketika tanah yang sudah dikuasainya diambil paksa oleh perusahaan. Pada masa Orde Baru sudah meminta penyelesaian ke pemerintah pusat tetapi tidak ada tanggapan. Akhirnya mereka melakukan aksi reklaiming meskipun tetap gagal. Bapak SP seorang tokoh petani di Lampung Tengah dan pernah memimpin aksi reklaiming di Trimodadi menceritakan: “... perjuangan masyarakat Trimodadi untuk memperoleh kembali tanah yang dicaplok perusahaan sudah sejak Orde Lama. Ketika itu dipimpin oleh kepala kampung dan dibantu oleh BTI. Kemudian pada masa pak Harto mereka juga sudah berupaya secara baik-baik dan sudah mengadu ke pusat Jakarta, tetap tidak ada tanggapan. Bahkan ketika perusahaan melakukan perluasan lahan maka tanah-tanah penduduk di sekitarnya juga diambil lagi. Mereka tahu bagaimana kerasnya Orde Baru dan waktu itu mereka tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa sakit hati dan terus mengadu pada pemerintah. Mereka juga sering diancam- ancam dan dicap anggota PKI, BTI. Ketika jaman reformasi saya bersama mereka sudah berusaha merebut kembali tanah-tanah itu, bahkan barisan ibu-ibu dikerahkan, dan dibantu oleh SPL, tetapi tetap tidak berhasil “. Penyelesaian pertanahan oleh berbagai komunitas petani selama lima tahun 1998-2002, seperti di lima wilayah kabupatenkota di provinsi Lampung Bandar Lampung, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Tulang Bawang dan Way Kanan dari 220 kasus yang ada hanya 71 32 kasus yang dapat diselesaikan. Dari 43 kasus yang diajukan dengan cara penal terdapat sebanyak 24 56 kasus yang terselesaikan, sedangkan dari 177 kasus yang diajukan dengan cara non penal terdapat 47 27 kasus yang diselesaikan. 243

5.3.3. Gerakan Lokal-Tradisional