148
petani antara lain ketika wakil dari petani di keluarkan dari keanggotaan Tim 13 pada tahun 2002. Kedudukan Tim 13 semakin jelas ketika SK Gubernur
dikuatkan dengan SK Menteri.
6.6.3. Stagnasi Gerakan Petani
Gerakan petani kembali berada dalam kondisi stagnan, tidak bergerak maju, dan tidak menghasilkan perubahan struktural agraria yang berarti bagi
perbaikan nasib petani. Efeknya dalam dimensi gerakan petani adalah telah muncul kembali derajat tekanan-tekanan sosial-psikologis tertentu bagi para alit
aktor gerakan, strategi gerakan petani kembali pada pendekatan konsensus, dan organisasi gerakan semakin kehilangan kepercayaan dan legitimasi, baik oleh
pemerintah maupun oleh konstituennya. Para elit gerakan cenderung berpandangan sama bahwa aksi massa petani
tidak lagi sebagai strategi gerakan yang efektif. Seperti IPL dan Mirak Nadai bahwa bagi mereka persoalan pertanahan bukan lagi menjadi agenda kerja
organisasi gerakan petani tetapi diintegrasikan dalam tata kerja pemerintah desa dan pemerintah daerah. Kondisi ini melemahkan ciri organisasi gerakan ke dalam
posisi stagnan, menjadi penunggu dan berharap akan datang kebaikan hati para pemegang otoritas. Legitimasi organisasi terkait dengan derajat trust konstituen
juga semakin melemah, sehingga posisi tawar petani menjadi menurun. Selama berada pada kondisi seperti itu, maka masih sangat jauh jika kita
tetap manaruh harapan kepada organisasi petani sebagai organisasi gerakan
Nasib Petani Dalam Dinamika Peran Tim 13
Sejak terbentuknya tahun 1998 kerja Tim 13 sudah menghasilkan banyak rekomendasi penyelesaian konflik pertanahan, tetapi tidak banyak yang sampai
ditindaklanjuti di lapangan. Ada kesan dibentuknya Tim 13 sebagai upaya untuk menampung persoalan pertanahan berhadapan dengan petani. Rekomendasi
yang dihasilkan bukan untuk diselesaikan tetapi sebagai upaya penggembosan amarah petani. Hasil rekomendasi disimpan dimasukkan ke dalam “lemari es”,
tidak dihilangkan tetapi dibekukan.
Hingga tahun 2001 kinerja Tim 13 mandul dan pada tahun yang sama petani kembali menggugat dan berhasil melakukan perombakan susunan
keanggotaan Tim 13. Hasil perubahan hanya berjalan kurang dari satu tahun, anggota wakil dari petani disingkirkan karena dianggap sebagai “duri dalam
daging” dan orientasi kerja Tim 13 semakin tidak berpihak pada kepentingan petani. Dengan tidak ada penghalang dari wakil petani maka penyelesaian kasus
konflik pertanahan semakin kuat dapat diarahkan sesuai dengan hukum posistif. Proses penyelesaian yang demikian syarat dengan kepentingan pihak lawan
penguasa dan pengusaha dan karena itu penyelesaian secara hukum ditentang oleh para wakil petani Sumber: Hasil wawancara dengan para aktor inti gerakan
petani dan anggota Tim 13 seperti PS, SL, NS, AY dan AR.
149
untuk dapat mewujudkan kedaulatan petani dan meningkatkan daya tahan petani baik secara ekonomi, sosial, politik, psikologis maupun kultural. Jika beberapa
organisasi gerakan petani dalam kondisinya hingga saat ini dapat dibuat suatu kiasan, maka masing-masing berada dalam kondisi yang relatif sama, yaitu: a
DTL tidak bertahan lama dan sampai saat ini berada dalam kondisi “mati suri”. Ini terjadi ketika elit aktornya tahun 1999-2000 berhasil ditekan oleh kelompok
pesaingnya untuk tidak memiliki akses di ruang publik. Kemudian pada tahun 2001 sebagian anggota basisnya menyatu membentuk IPL; b IPL dalam kondisi
pasif. Irama gerak IPL ini sebenarnya lebih dekat dengan tujuan praktis petani daripada tujuan strategis gerakan. Kondisinya yang pasif tersebut terjadi sejak
dikeluarkan dari keanggotaan Tim 13 tahun 2002, karena di anggap “duri dalam daging”. Pada tahun 2005 upaya penyelesaian status tanah di 6 enam desa
diserahkan kepada pemerintah desa melalui Tim Koordinasi Antar Desa TKAD. Jaringanya dengan Petani Mandiri masih sebatas komitmen, sedangkan
realisasinya belum ada. Gairah untuk bangun bersama Raca Institute hingga saat ini baru sebatas wacana; c SPL baru sembuh dari sakit kronis setalah
berubah menjadi SPI-Lampung pada awal tahun 2008. Elemen organisasi masih dalam kondisi sakit dan dalam proses pembenahan. Para elitnya masih sering
berbenturan terkait dengan pemahaman dan praktik kerja SPI sebagai organisasi petani yang baru dengan beberapa anggota basis yang juga baru; d Mirak
Nadai MN dalam posisi menunggu kebijakan dari pemerintah, terutama dalam menyelesaikan persoalan pertanahan di Padang Ratu. Sama dengan IPL bahwa
MN ini lebih dekat dengan tujuan pragmatis petani. Sejak melemahnya aksi-aksi reklaiming hingga saat ini tidak ada isu-isu
kritis gerakan yang diproduksi, tidak adanya kaderisasi, lemahnya konsolidasi antar organisasi dan menguatnya kontrol negara terhadap gejolak petani.
a. Tidak ada kaderisasi sebagai indikasi semakin lemahnya keberlanjutan gerakan petani. Satu-satunya organisasi petani yang sudah melakukan
konggres ke II adalah SPL pada akhir tahun 2007 ketika akan berubah menjadi SPI-Lampung. Kondisinya sama dengan pada awal berdirinya
konggres ke-I tahun 1998. Mantan para elit aktor SPL yang sudah tidak aktif di dalamnya memaknai berubahnya SPL menjadi SPI-Lampung terkesan ada
unsur pengkarbitan kembali seperti dulu dan itu sebagai alat politik dan legitimasi normatif dalam mencapai kepentingan status quo para elit di pusat
FSPI daripada kepentingan petani dalam SPL. Bapak Mt.R mengatakan:
150
Banyak kawan-kawan yang menganggap bahwa konggres ke-II SPL kemudian berubah menjadi SPI-Lampung itu bukan karena kemauan anggota SPL atau
karena tuntutan internal demi peningkatan kapabilitas organisasi gerakan, tetapi lebih karena kepentingan status quo para pengurus pusat FSPI. Seperti
ketua FSPI sekarang sudah menjabat selama dua periode dan menurut ADART tidak dapat dipilih kembali. Dengan berubahnya FSPI Federatif
menjadi SPI Unitarian maka berubah pula ADART organisasi dan itu merupakan organisasi baru. Dengan cara ini sangat memungkinkan ketua
FSPI dan kawan-kawannya untuk dapat dipilih kembali. Ternyata benar dia terpilih menjadi ketua SPI dan juga kembali menjadi koordinator La Via
Campesina. Ini bukan kaderisasi atau estafet atau istilah lainya jika ternyata di pusat tetap dipegang oleh mereka sebagai wajah lama yang ingin terus
berkuasa.
Pada pihak lain, ada dua arah kecenderungan sifat organisasional antara sistem federatif dan unitarian dalam hubungannya dengan organisasi tingkat
nasional. Sistem federatif masih dipegang kuat oleh konstruksi gerakan dari bawah, sedangkan sistem unitarian digunakan oleh konstruksi gerakan dari
atas. Dengan mempertahankan sistem federasi membuat organisasi petani tingkat daerah larut dalam kehidupan petani basis dan semakin jauh dari
irama kehidupan organisasi tingkat nasional. Sedangkan sistem unitarian membuat organisasi petani di tingkat wilayah semakin tergantung bahkan
terkesan sebagai bemper dalam irama kehidupan organisasi tingkat pusat. b. Kondisi organisasi gerakan petani semakin melemah. DTL masih “mati suri”,
sedangkan IPL, SPL dan MN menjadi asosiasi-asosiasi gerakan movements association atau kelompok swalayan self-help groups. Perhatian tidak lagi
tertuju pada produksi isu-isu kritis dan strategis yang menjadi persoalan substantif petani dalam jangka panjang dan umum, tetapi lebih tertuju pada
persoalan kejelasan status tanah dan bersifat kasuistik. Karena pendekatan konsensus atau mekanisme institusional yang dipergunakan maka hubungan
dengan pemegang otoritas dan perusahaan menjadi tergantung tidak setara lagi. Dominasi sumberdaya agraria kembali sepenuhnya berada pada para
pemegang otoritas dan tetap lebih berpihak kepada pengusaha. Bapak SL mengatakan:
Ketika masih memiliki posisi tawar yang kuat dan berada dalam hubungan kekuasaan setara 1998-2002 para wakil petani sering berdialog dengan para
pemerintah daerah dan dengan para pengusaha dalam ikut menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan di Lampung. Sekarang posisi tawar petani
seperti itu tidak dimiliki lagi dan bahkan beberapa Posko semakin tidak solid dan tidak mampu menghadapi setiap gangguan baik dari dalam apalagi dari
luar, terutama dari pemerintah dan perusahaan, meskipun belum sampai pada titik kritis yang mengusik kebutuhan dasar mereka sebagai petani.
c. Kepentingan ego kelompok atau ego organisasi masih tetap mengemuka berada di atas kepentingan substantif petani. Sebagai aktor gerakan
151
mestinya semuanya bermuara pada tujuan yang sama, yakni perubahan sistem agraria transformasi struktural sebagai basis utama ideologi
gerakan. Meskipun secara tekstual tujuan strategisnya sama, tetapi dalam praktik belum adanya konsolidasi dalam menyatukan visi, misi dan gerak
langkah perjuangan bersama. d. Kesadaran politik petani hanya sampai pada tataran elit dan tidak sampai
pada tataran akar rumput petani basis. Elit petani mampu memobilisir petani basis karena mereka menginginkan tercapainya tuntutan-tuntutan praktis.
Ketika tuntutan mereka sudah terpenuhi maka komitmen perjuangan menjadi melemah sejalan dengan semakin melemahnya hubungan struktural
perjuangan. Disini peran elit petani menjadi berada di antara dua sisi, yakni berada pada ruang bermain para elit organisasi gerakan atau berada pada
ruang para petani basis. e. Meskipun peluang politik tetap terbuka bagi gerakan petani, tetapi kontrol
negara terhadap perjuangan petani semakin menguat dan berjalan seiring dengan semakin melemahnya organisasi gerakan petani. Gejolak petani di
tingkat akar rumput dapat dilokalisir sedemikian rupa sehingga solidaritas di antara mereka semakin sulit ditegakkan kembali. Hingga saat ini persoalan
pertanahan masih banyak yang dihadapi petani dan belum tahu kapan dapat terselesaikan.
Secara lebih rinci arah kecenderungan perkembangan organisasi gerakan petani DTL, IPL, SPLSPI-Lampung dan MN di Lampung sebagaimana tampak
disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12 Ciri-Ciri Perkembangan Organisasi Gerakan Petani DTL, IPL, SPLSPI-
Lampung dan MN di Lampung
No Aspek Uraian
1 Isu kritikal
• Masih tetap terkonsentrasi pada persoalan material pertanahan.
• Tanah dikuasai oleh petani penggarap. 2
Orientasi gerakan Gerakan petani yang pada awalnya bersifat populis
kemudian berubah menjadi bias sebagai gerakan bersifat elitis.
3 Orientasi organisasi
gerakan petani a. Orientasi klien komunitas petani basis: sebagai
organisasi sukarela atau yang memperjuangkan kepentingan lokal sendiri melalui jalur pemerintah.
b. Orientasi otoritas: kembali berciri sebagai kelompok kepentingan ikut berpartisipasi dalam dinamika
politik lokal.
152
Lanjutan:
No Aspek Uraian
4 Strategi gerakan
Aksi-aksi kolektif tidak dilakukan lagi dan cenderung menggunakan pendekatan konsensus akomodatif .
5 Hubungan antar
organisasi gerakan petani
Tidak terjadi kesamaan pandangan dan kesatuan gerak-langkah perjuangan commond platform.
6 Posisi kelompok
aktor pendukung Non petani
Lemah, kembali sebagai advokasi hukum, tidak mendukung aktivitas organisasi gerakan petani.
7 Struktur organisasi
Federatif, hanya SPL yang berubah dari federatif menjadi unitaris SPI-Lampung.
8 Strategi perjuangan
Kembali menggunakan pendekatan institusional 9
Regenerasikaderisasi Minim, tidak ada kaderisasi kecuali SPL; masih
mengandalkan figur ketokohan. 10 Orientasi
tindakan elit
aktor Menjadikan organisasi tani dan sumberdaya basis
sebagai alat mobilisasi dan komoditas dalam dinamika politik lokal.
11 Hubungan dengan
Pemerintah daerah Semakin berjarak, tidak masuk dalam Tim 13.
12 Dukungan petani basis Banyak komunitas petani basis yang secara de facto
keluar dari keanggotaan dan tidak terurus. 13 Hasil pendudukan lahan Distribusinya tidak tepat sasaran, banyak free rider,
dan belum jelas statusnya.
Sumber: Hasil riset, 2008.
6.7. Ikhtisar