152
Lanjutan:
No Aspek Uraian
4 Strategi gerakan
Aksi-aksi kolektif tidak dilakukan lagi dan cenderung menggunakan pendekatan konsensus akomodatif .
5 Hubungan antar
organisasi gerakan petani
Tidak terjadi kesamaan pandangan dan kesatuan gerak-langkah perjuangan commond platform.
6 Posisi kelompok
aktor pendukung Non petani
Lemah, kembali sebagai advokasi hukum, tidak mendukung aktivitas organisasi gerakan petani.
7 Struktur organisasi
Federatif, hanya SPL yang berubah dari federatif menjadi unitaris SPI-Lampung.
8 Strategi perjuangan
Kembali menggunakan pendekatan institusional 9
Regenerasikaderisasi Minim, tidak ada kaderisasi kecuali SPL; masih
mengandalkan figur ketokohan. 10 Orientasi
tindakan elit
aktor Menjadikan organisasi tani dan sumberdaya basis
sebagai alat mobilisasi dan komoditas dalam dinamika politik lokal.
11 Hubungan dengan
Pemerintah daerah Semakin berjarak, tidak masuk dalam Tim 13.
12 Dukungan petani basis Banyak komunitas petani basis yang secara de facto
keluar dari keanggotaan dan tidak terurus. 13 Hasil pendudukan lahan Distribusinya tidak tepat sasaran, banyak free rider,
dan belum jelas statusnya.
Sumber: Hasil riset, 2008.
6.7. Ikhtisar
Struktur sumberdaya gerakan petani secara umum terdiri atas dua elemen petani dan non petani. Dilihat dari proses konstruksinya, struktur gerakan petani
dapat dibagi menjadi dua, yakni konstruksi gerakan dari atas seperti SPL dan dari bawah seperti DTL. Sedangkan dilihat dari anatominya maka gerakan petani
memenuhi unsur-unsur sebagai gerakan sosial. Mobilisasi sumberdaya dalam gerakan petani didorong terjadi dekonstruksi
struktur politik nasional. Kondisi ini membuka peluang dilakukan gerakan sosio- politik petani dan dengan cepat direspon oleh petani di berbagai wilayah konflik
pertanahan bersama non petani pendukungnya. Rekruitmen elemen non petani dilakukan dengan memperkuat jaringan antar berbagai organisasi sosial-
kemasyarakatan. Sedangkan rekruitmen elemen petani melalui pembentukan organisasi basis. Perpaduan antar kedua elemen tersebut kemudian dibentuk
struktur gerakan petani tingkat provinsi, hingga berhasil dilakukan aksi-aksi
153
kolektif. Keberhasilan aksi-aksi kolektif petani ditandai dengan adanya perubahan kebijakan agraria dan tanah pertanian berhasil dikuasai kembali oleh petani.
Keberhasilan aksi-aksi kolektif dalam gerakan petani tersebut ditentukan oleh empat unsur utama, yakni sub kultur oposisi petani yang didalamnya
mengandung akumulasi sumberdaya mobilisasi potensial petani, terbukanya struktur peluang politik, berhasil dibangun struktur mobilisasi sumberdaya tingkat
provinsi, dan terjadinya proses pembingkaian kolektif yang menghasilkan prinsip- prinsip perjuangan bersama.
Pasca aksi reklaiming terjadi proses penguatan organisasi gerakan petani. Dalam perkembangannya justru terjadi penurunan peran organisasi gerakan
petani sebagai organisasi gerakan agraria. Antar kelompok aktor non petani dengan latar ideologi dan garis perjuangan yang berbeda garis partai politik dan
LSM saling berebut kuasa atas sumberdaya organisasi gerakan petani dan organisasi petani basis. Perebutan kuasa antar kelompok aktor tersebut semakin
mempertajam konflik internal dan berakhir dengan fragmentasi organisasi. Disorientasi tindakan berbagai kelompok aktor elit petani dan non petani
gerakan petani tersebut sampai pada proses komodifikasi petani basis dalam merespon peluang politik institusional untuk mencapai kepentingan praktisnya.
Akibatnya, terjadi distrust, delegitimasi dan penurunan kredibilitas organisasi gerakan petani. Elemen organisasi gerakan petani semakin mengerucut terdiri
atas unsur petani, gerak langkah elemen aktor non petani semakin terpisah dari organisasi gerakan petani, antar organisasi basis anggota menjadi tercerai-berai
tidak mampu dikelola dengan baik, dan kemampuan kontrol organisasi gerakan petani semakin menyempit terkosentrasi pada lingkungan wilayah di mana
pengurus inti berada. Fenomena elitis gerakan petani skala provinsi tersebut sebagai indikasi
terjadinya perubahan drastis sikap partisipatif sebagai hasil dari motivasinya menjadi sebagai pelembagaan yang mendasari motivasi partisipasi mereka.
Artinya, sikap partisipasi para elit aktor gerakan bukan sebagai konsekuensi dari motivasi mereka untuk mencapai tujuan strategis gerakan, melainkan menjadi
sebab yang mendasari motivasinya ekonomi dan politik yang sesaat. Disinilah letaknya mengapa tujuan strategis gerakan petani menjadi semakin jauh
jaraknya dengan tujuan intrumental praktis. Akar gerakan petani komunitas petani basis semakin tercerabut dari batang tubuhnya organisasi tani. Suatu
hal yang logis ketika tujuan instrumental gerakan petani yang semakin dibuat
154
berjarak dengan tujuan strategisnya akan berdampak pada luruhnya soliditas perjuangan petani.
Tabel 13 menunjukkan bahwa hingga masa reklaiming para pemimpimpin organisasi gerakan petani, LSM, dan para mahasiswa aktivis pendukungnya
menjadi aktor idealis, berorientasi pada penerapan program land reform by leverage dan dapat tersosialisasikannya ide tersebut. Pasca reklaiming, banyak
dari kelompok aktor gerakan tersebut yang kemudian berubah menjadi oportunis. Akibat lebih lanjut adalah struktur gerakan petani mengalami deformasi,
decoupling dan akhirnya hingga saat ini mengalami stagnasi. Tabel 13 Tipe Aktor dan Orientasinya
Elemen Tipe Aktor
Masa Reklaiming Pasca
Reklaiming Materialis Oportunis
Idealis Oportunis
Status • Pimpinan
organiasi gerakan petani
• LSM • Mahasiswa
aktivis • Pimpinan
organiasi gerakan petani
• LSM • Mahasiswa
aktivis Petani
pengikut • Free riders
• Aktivis partai politik
• Penguasa formal
Orientasi Utama
Penerapan Program land reform norm
oriented Kekuasaan
sosial-politik dan ekonomi
Land property
resource- oriented
• PejabatTuan yang baik hati
• Social-political power.
Capaian Langsung
Tersosialisasikannya ide land reform
sebagai sesuatu yang bisa
dilaksanakan • Citra sebagai
pejuang dan pahlawan
petani. • Kekuasaan
sosial-politik dan ekonomi
Pemilikan aset tanah
untuk kepentingan
pertanian • Citra sebagai
pejuang dan pahlawan petani.
• Kekuasaan sosial politik
Sumber: Diadaptasi dari Wahyudi, 2005. Op.Cit., hal. 198.
155
BAB VII INVOLUSI GERAKAN AGRARIA
7.1. Kearah Konstruksi Teori Involusi Gerakan Agraria
Konsepsi involusi dalam perubahan sosial berada pada dimensi struktural, yakni menunjuk pada suatu kondisi struktur yang stagnan tetap, tidak berubah,
sehingga eksistensi dan perkembangannya tidak mampu memproduksi sistem gerakan sebagai wadah institusional perubahan sosial. Cliffrod Geertz memakai
konsepsi “involusi” sebagai alat analitik terhadap usaha tani sawah di Jawa. Konsepsi tersebut diperoleh dari Alexander Goldenweiser, seorang antropolog
Amerika, yang digunakan untuk melukiskan pola kebudayaan yang ketika sudah mencapai bentuk yang pasti kemudian dia tidak berhasil menstabilisasinya atau
mengubahnya menjadi suatu pola yang baru, tetapi terus berkembang ke dalam sehingga menjadi semakin rumit, seperti tampak pada seni dekoratif Maori dan
dalam Gothik akhir.
262
Misalnya, seni dekoratif Maori...Tidak dapat dihindari lagi, hasilnya adalah kerumitan yang makin lama makin hebat, keanekaragaman dalam keseragaman,
keahlian seni dalam monotoni”. Contoh lain, seperti dalam Gothik akhir. Bentuk- bentuk dasar dari kesenian telah mencapai puncaknya, unsur-unsur struktural telah
membantu dan tidak mungkin ada variasi-variasi lagi, keaslian yang diciptakan telah tidak ada lagi. Namun perkembangan terus berjalan. Terkepung oleh pola
yang telah membantu di segenap penjuru, maka dipergunakanlah fungsi ketelitian pada garis-garis kecil. Daya cipta yang luas telah mengering di sumbernya, dan
digantikan oleh sejenis keahlian seni yang khusus, semacam penjelimetan teknis....
Konsepsi “involusi” dari Alexander Goldenweiser yang menjadi alat analisis Clifford Geertz, oleh Sajogyo
263
digambarkan lebih jelas dalam suatu kiasan sebagai berikut:
Kemandegan atau kemacetan pola pertanian yang ditunjukkan oleh tidak adanya kemajuan yang hakiki. Jika pun ada gerak, misalnya orang berjalan, berlari, atau
menunjukkan gerakan lain di dalam lingkungan air, tidak ada gerakan yang menghasilkan kemajuan: orang tetap berada di tempat sama, misalnya di perairan,
berenang di tempat menjaga diri tidak tenggelam tanpa mencapai tujuan lain
. Pada sisi lain Farhad Nomani and Sohrab Behdad menggunakan konsepsi
“involusi struktural” untuk melihat terjadinya erosi serius dalam hubungan
262
Clifford Geertz. 1983. Involusi Pertanian: Proses perubahan ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara., hal. 85-86i. Dia mendefinisikan konsep “Involution” menunjuk pada “overdriving of an established
form in such a way that it becomes rigid through an inward overelaboration of detail” Clifford Geertz. 1963. Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia. Berkeley and Los Angeles: University
of California Press, p. 82.
263
Clifford Geertz. 1983. Ibid., hal. xxiii.