Kuatnya Sistem Agraria Dominan

165 kekuasaan terhadap sumberdaya mobilisasi berarti kelompok yang lain tidak memiliki atau kehilangan derajat kekuasaannya. Sehingga masing-masing pihak saling mencegah pihak lain dan tindakannya cenderung berjarak dengan upaya bermediasi karena berarti akan mengurangi derajat kekuasaan yang dimiliki. Misalnya, perebutan dominasi dalam struktur kekuasaan antar kelompok aktor pendukungnya menyebabkan DTL menjadi mati suri, kepemimpinan SPL sering jatuh bangun, sering terjadi konflik internal dan berakhir dengan fragmentasi DTL pecah menjadi IPL dan SPL pecah menjadi Mirak Nadai. Sifat ambivalensi peran elemen aktor non petani dalam gerakan agraria selain memperkuat juga melemahkannya ketika terjadi disorientasi tindakan. Pengaruh negatifnya adalah: 1 keputusan organisasi gerakan syarat campur tangan pihak lain tidak independen, 2 organisasi gerakan menjadi tidak bebas mengatur diri sendiri tidak otonom dan semakin berjarak dengan basisnya, dan 3 terjadi benturan kepentingan yang mengganggu stabilitas organisasi petani sebagai organisasi gerakan agraria. Kuatnya unsur bernegasi tersebut berakibat antar elemen struktural gerakan antar petani, antar non petani, dan antara petani dan non petani menjadi terpisah dan sulit disatukan kembali. Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa beragamnya organisasi gerakan petani yang berkembang di Lampung terutama bukan sebagai akibat dari keterbatasan jangkauan kontrol masing-masing tetapi lebih sebagai produk fragmentasi akibat konflik internal, yang pada tataran wilayah provinsi lebih diwarnai oleh tindakan-tindakan elemen aktor non petani daripada oleh elemen aktor petani sendiri. Oleh karena itu, selain masing-masing organisasi petani mengalami penurunan perannya sebagai organisasi gerakan agraria, interaksi di antara mereka juga tidak didasari oleh common platform dalam memperjuangkan kepentingan substantif petani.

7.4. Kuatnya Sistem Agraria Dominan

Srukturasi eksternal menunjuk pada integrasi gerakan agraria di dalam lingkungan organisasionalnya. Pada tataran meso dapat dilihat hubungannya dengan jaringan pendukung, dengan aliansinya, dan dengan para pemegang otoritas. Temuan pokok penelitian bahwa semakin terkonsentrasinya struktur sumberdaya gerakan pada komunitas petani basis ternyata berjalan seiring dengan semakin renggang hubungannya dengan jaringan pendukung. Realitas 166 ini difahami berbeda antara sisi petani dan non petani. 272 Perbedaan pandangan tersebut menyebabkan terjadi trauma jejaring antara elemen petani dan non petani. Selain itu, dalam perjalanannya memang pernah terjadi tindakan para elit aktor non petani yang menodai perjuangan petani untuk mencapai kepentingan sesaat mereka, sedangkan kepentingan substantif petani menjadi terabaikan. Semakin memudarnya jaringan pendukung networks sejalan dengan memudarnya hubungan aliansi dengan berbagai pihak, karena aksi-aksi kolektif petani yang non institusional sudah tidak dilakukan lagi. Momentumnya sudah terlewati dan biaya yang harus ditanggung untuk membangun kembali struktur gerakan seperti dulu terlalu besar, terlalu beresiko dan tidak sebanding dengan hasil-hasil yang akan dicapai terutama yang menguntungkan bagi kalangan non petani. Sementara itu menurut kalangan non petani, bahwa para petani sekarang ini sudah menjadi “borjuasi kecil” sudah mendapatkan tanah yang cukup sehingga susah untuk diajak berjuang lagi. Ritme kehidupan petani kembali pada karakternya yang mengarah pada pola pandangan, sikap dan perilaku yang cenderung konservatif. Demikian juga hubungan antara organisasi gerakan petani dengan para pemegang otoritas semakin melemah kehilangan legitimasi dan kredibilitas dan kembali berada pada posisi subordinat dalam struktur hubungan agraria. Selain terkesan adanya sikap “pembiaran” oleh pemerintah daerah dalam penyelesaian persoalan pertanahan, aspirasi petani secara politik juga semakin tidak mampu lagi terartikulasikan melalui wadah organisasi gerakan petani. Bercerai-berainya elemen struktur gerakan juga berarti bahwa kekuatan perjuangan petani kembali terkonsentrasi pada struktur sumberdaya petani di tingkat basis. Dilihat dari dimensi makro struktural juga menunjukkan bahwa strukturasi eksternal gerakan agraria berhubungan dengan kekuatan sistem agraria dominan. Ketegangan struktural di Lampung yang berbasis pada akumulasi dan persebaran persoalan pertanahan struktural berakar pada sistem agraria antagonistik, dan kondisi ini sudah berlangsung lama sejak masa kolonial Belanda. 273 Kondisi ini tetap terkonsentrasi pada dimensi politik-ekonomi dan 272 Menurut para tokoh petani mereka tidak mau lagi “diatur-atur” oleh pihak lain seperti yang dialami ketika masih gencar melakukan aksi-aksi kolektif. Sekarang posisi petani adalah sejajar dan sudah waktunya untuk mengatur diri sendiri, tidak tergantung pada siapapun dan dengan organisasi manapun. Sedangkan menurut kalangan non petani bahwa sikap petani seperti itu karena mereka merasa sudah menjadi “borjuis kecil” sehingga sulit disatukan lagi dalam struktur sumberdaya gerakan yang lebih besar. 273 Sistem agraria “antagonistik” adalah kebalikan dari “simbiosis mutualisme”. Dimaksud dengan sistem agraria simbiosis mutualisme menunjuk pada pola hubungan antar elemen sistem negara, perusahaan, dan masyarakat petani dengan meminimalisir sifat-sifat struktural kontradiktif dan mengembangkan unsur bermediasi. Sedangkan dimaksud dengan sistem agraria antagonistik menunjuk pada pola hubungan antar 167 eksis dalam setiap episode kekuasaan rezim. 274 Fakta historis membuktikan bahwa selama sistem agraria terkonsetrasi pada dimensi politik-ekonomi dan mengabaikan dimensi sosio-kultural, maka institusi ekonomi moderen swasta akan tetap berkolaborasi kuat dengan institusi politik negara. Realitas ini sekaligus menunjukkan bahwa dimensi sosio-kultural tradisional yang melekat pada masyarakat petani akan terus-menerus terpinggirkan atau terus terperangkap masuk dalam putaran arus utama sistem agraria dominan yang antagonistik terhadap eksistensi masyarakat petani. Gerakan agraria pada awal reformasi hanya berpengaruh sementara sesaat dalam menggoncang sistem agraria dominan. Katakanlah iklim gerakan tersebut bersifat momental terjadi pada lima tahun pertama era reformasi. Gerakan agraria pada masa ini mampu mempengaruhi para pemegang otoritas untuk memenuhi sebagian klaim-klaim yang diperjuangkan. Lima tahun kemudian, hingga saat ini, di mana struktur politik negara semakin stabil, ternyata peluang politik terasa semakin tertutup sejalan dengan semakin melemahnya kekuatan organisasi gerakan petani. Peluang politik di era reformasi demokratisasi saat ini cenderung dimaknai sebagai suatu ruang yang secara struktural menjanjikan penyelesaian persoalan petani secara adil dan demokratis, tanpa harus diikuti dengan aksi-aksi kolektif. Ini merupakan kesadaran palsu yang tertanam di dalam schemata para aktor gerakan. Pada kenyataannya sistem agraria dominan kembali pada jalannya sendiri dan tetap tidak responsif terhadap kepentingan petani. Melemahnya aksi- aksi kolektif dalam gerakan agraria di Lampung selain berarti melemahnya kekuatan posisi tawar petani juga berarti terbuka kembali ruang gerak bagi pihak swasta bersinergi dengan negara. Sikap pemerintah yang mengambangkan persoalan pertanahan yang dialami petani jelas tampak antara lain karena sulitnya untuk merubah pola hubungan agraria dengan pihak swasta tersebut dan belum terselesaikannya persoalan petani secara tuntas di lapangan. PS, seorang tokoh petani yang pernah aktif menjadi anggota Tim 13 mengatakan: ...yang jelas Tim 13 itu sudah tidak bisa lagi membawa aspirasi masyarakat tani. Satu contoh, saya sudah beberapa kali melalui Tim 13 menandatangani surat elemen sistem agraria dengan mengembangkan sifat-sifat struktual kontradiktif dan mengembangkan unsur bernegasi. 274 Pada episode: 1 rezim kolonial Belanda lihat hasil penelitian Sartono Kartidirdjo. 1984. Op.Cit; Kartodirdjo, Sartono. 1973. Pretest Movement in Rural Java: A Study of Agrarian Unrest in the Nineteenth and Early Twentieth Centeries. Singapore: Oxford University Press; 2 rezim imperialisme Jepang lihat hasil penelitian Aiko Kurasawa.1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang perubahan sosial di pedesaan Jawa 1942-1945. Jakarta: Grasindo; 3 rezim orde lama lihat hasil penelitian Soegijanto Padmo. 2000. Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965. Yogyakarta: Media Pressindo. 168 rekomendasi yang harus disampaikan kepada Gubernur. Tapi ternyata apa, nggak kunjung sampai surat rekomendasi itu. Contoh lagi, kasus di Way Mati register 44, sampai batas waktunya habis tidak ada jawaban. Belum ada surat keterangan atau apa itu bisa atau tidak. Saya selaku wakil petani dituntut masyarakat. Tim 13 tahu pembahasannya bahwa waktu itu diberi batas waktu untuk perusahaan agar meninggalkan tempat dan tidak aktif lagi. Ternyata tidak ada jawaban. Saya tidak tahu ada apa antara Tim 13 dengan perusahaan. Karena kasus register 44 itu kan sudah sampai ke Menteri Kehutanan untuk pengembalian tanah adat. Sampai hari ini tidak ada jawaban. Dengan demikian, gerakan agraria selama ini nampak lebih sebagai luapan ungkapan ketidakpuasan kolektif petani dengan segenap pendukungnya secara terorganisir terhadap keberlakuan sistem agraria dominan yang sudah kokoh. Perkembangan gerakan agraria semakin tidak menunjukkan dirinya sebagai kekuatan penyeimbang dalam mengontrol konstruksi dan keberlakuan sistem agraria dominan yang masih antagonis tersebut. Gerakan-gerakan agraria tetap saja tidak mampu menembus merubah sifat-sifat struktural sistem agraria dominan menjadi lebih responsif terhadap persoalan substantif petani. 275 GP, mantan aktivis gerakan petani di Lampung dan sekarang menjadi staf inti sebuah LSM di Jakarta mengatakan: Bukan hanya di Lampung, di tingkat nasional saja kawan-kawan pada mendekat pemerintah dan donor untuk mendapatkan kegiatan. Mereka terjebak semakin “memoderasi” diri. Mereka bertemu sekali waktu untuk ikut bersuara, tetapi setelah itu kembali pada kesibukannya sendiri.

7.5. Desinstitusionalisasi Program Gerakan