Pertarungan Garis Perjuangan Kelompok Pendukung

136 dilaksanakan. SP sebagai ketua SPL sebelum berubah menjadi SPI-Lampung mengatakan: Sebelum konggres SPL berlangsung jauh-jauh hari Februari 2007 sudah dibentuk TKPO yang terdiri dari 5. Mereka adalah para aktivis, berpendidikan, sudah berpengalaman dalam membina organisasi, dan keberadaan mereka juga tidak begitu tergantung pada aktivitas pertanian karena bukan murni sebagai petani. Dipilihnya mereka itu dengan haparan dapat melakukan konsolidasi di bawah dan dapat mempersiapkan konggres. Tetapi, nyatanya setelah beberapa bulan berjalan mereka tidak melakukan tugasnya dengan baik, tidak diketahui dimana keberadaan mereka masing-masing dan tidak ada laporan perkembangan hasil kerjanya. Karena waktunya sudah mendesak, kemudian mereka diganti 5 orang murni dari petani. Ternyata tim yang baru ini dapat melaksanakan tugas dengan baik termasuk dalam mempersiapkan konggres SPL..

6.4.3. Pertarungan Garis Perjuangan Kelompok Pendukung

Sejak awal kelahirannya baik gerakan konstruksi dari bawah maupun dari atas sudah dihadapkan pada persoalan pemantapan struktur organisasi dan garis ideologi perjuangan. Dalam perkembangan keduanya mengalami masa kritis, karena menjadi ajang tarik menarik di antara kelompok aktor pendukung yang masing-masing memiliki garis ideologi perjuangan yang berbeda secara diametral, yakni partai politik dan LSM. Masing-masing saling menawarkan garis ideologi perjuangannya, sehingga secara substantif mengarah pada dua kemungkinan, yakni persetujuan agreement atau pertentangan confrontation. Persetujuan dicapai ketika terjadi adopsi aturan-aturan dengan masing-masing pihak saling menyalurkan energi positif terhadap penguatan organisasi petani sebagai organisasi gerakan. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, mereka saling bertentangan tidak mencapai persetujuan dan saling menyalurkan sangsi negatif terhadap pihak lain. Iklim pertentangan tersebut menunjukkan bahwa dalam struktur hubungan terjadi minimalisasi unsur mediasi. Masing-masing pihak saling memaksakan kehendak dan saling menghambat atau bahkan saling meniadakan negasi dengan berusaha mengubah struktur dan formasi gerakan yang dapat dikontrolnya. Artinya, masing-masing pihak memiliki prinsip-prinsip garis ideologi yang berbeda yang sama-sama dipaksakan untuk diterapkan sejalan dengan perkembangan organisasi gerakan petani. GP, seorang mantan antivis gerakan petani di Lampung mengatakan: Pada waktu itu DTL sudah dilikuidasi oleh kelompok yang kemudian memegang DRL karena dianggap dekat dengan PRD. Tapi sebenarnya kalau bicara masalah politik semua mempunyai kepentingan politik. Pertentangan yang nampak kental waktu itu adalah antara NGO, PRD dan Poros Indonesia embrio PNBK. Jadi tidak benar kalau salah satu di antara mereka itu benar-benar mau membawa organisasi 137 tani ke jalan yang benar. Di dalam tubuh LBH sendiri sering terjadi rebutan kepemimpinan. Dalam tubuh DTL dihadapkan pada dilema hubungan afeksi kedekatan dengan kelompok pendukung tertentu yang dapat dimaknai oleh kelompok pesaing dapat berakibat pada manipulasi hubungan kekuasaan atas organisasi gerakan petani. Kelompok PRD dan Serikat Petani Nasional STN yang secara nyata lebih aktif mendekatinya. NS sebagai ketua DTL mengatakan: Kami tidak dapat menolak mereka yang mendekati DTL karena semua sama-sama teman seperjuangan dan ingin terus mendukung perjuangan. Ketika yang dekat adalah dari kawan-kawan PRD yang silahkan kami tidak dapat menolak karena mereka juga berniat mau membangun DTL. Keragaman garis ideologi dan persaingan yang berkembang menunjukkan adanya keragaman interpretasi. Jika di antara mereka benar-benar berniat untuk memperkuat garis perjuangan organisasi gerakan petani seharusnya mencapai titik temu dan dapat memperhatikan empat hal. Pertama, saling mempengaruhi tidak terhindarkan karena adanya usaha untuk melakukan perubahan schemata garis ideologi kelompok lain, tetapi tetap pada koridor tujuan substantif gerakan petani. Kedua, kualitas interpretasi kelompok yang satu menunjukkan adanya potensi kritik interpretasi terhadap garis ideologi kelompok lain, tetapi tindakan itu diwujudkan dalam perjuangan untuk membangun organisasi gerakan petani. Ketiga, di dalamnya terdapat peluang untuk melakukan refleksi kritis terhadap relasi kekuasaan dalam struktur dominasi, terutama terkait dengan latar belakang dan model perjuangan yang dipertahankan dalam gerakan petani. Keempat, kualitas interpretasi garis ideologi inilah yang memungkinkan lahirnya kritik terhadap upaya dominasi kelompok yang satu terhadap kelompok lainnya. Ketika semua itu tidak mengarah pada titik temu dalam bangunan komitmen, maka yang terjadi adalah kehancuran formasi struktur gerakan petani itu sendiri. Mengedepankan unsur bernegasi berarti mempertajam kontradiksi. Interpretasi ideologi oleh kelompok yang satu dapat mendatangkan reaksi keras dari kelompok lain yang memiliki garis ideologi berbeda. Ini terjadi karena garis ideologi yang ditawarkan oleh masing-masing pihak mampu menyentuh syaraf kekuasaan dalam struktur dan formasi gerakan petani dan menyoroti posisi kelompok lain yang memiliki kepentingan dalam relasi kekuasaan terhadap organisasi tani dan komunitas petani basis. Tidak semua garis ideologi perjuangan tersebut bersifat positif, progresif dan harus diterima dalam memperkuat formasi dan struktur gerakan petani. Kelompok LSM cenderung berada pada garis ideologi kompromistis, sedangkan 138 kelompok PRD cenderung berada pada garis “radikal”. Tetapi, pada dasarnya perkembangan kematangan ideologi gerakan petani yang tereprentasikan dalam organisasi gerakan petani membutuhkan unsur mediasi antar ideologi kelompok pendukung. Dia menjadi sebuah organisasi gerakan yang secara organisatoris terpisah dari komunitas petani di tingkat basis tetapi mampu mengartikulasikan kepentingan konstituen. Lemahnya posisi petani dalam struktur hubungan kekuasaan di dalam gerakan petani juga karena karakter sosio-kulturalnya. Selain kondisi kerja petani yang terbiasa tidak terorganisir juga bangunan hubungan-hubungan produksi pertanian yang membuat kekuatan politik petani cenderung bersifat konservatif. Kondisi ini hanya menyediakan visi bersama antar petani tetapi belum mampu mengorganisasikan kerangka tindakan mereka. Petani lebih mengandalkan semangat untuk berjuang terhadap penguasaan tanah yang diyakini benar, dan karena itu mereka memiliki ketergantungan besar terhadap para pemimpinnya dan dukungan berbagai kelompok non petani. Bagi para aktor strategis gerakan, tujuan kekuasaan tidak hanya bermakna kontrol terhadap sumberdaya mobilisasi tetapi juga bermakna memperoleh keuntungan terhadap sumberdaya petani basis. Konflik kepentingan terjadi ketika mereka saling berebut untuk memperoleh kedua tujuan kekuasaan kontrol dan keuntungan sekaligus. Kelompok Partai Politik berusaha mencapai kepentingan politik untuk dapat masuk ke dalam ruang-ruang politik institusional. Kelompok LSM berusaha mencapai kepentingan berhubungan dengan donor dan juga kepentingan politik praktis. Sedangkan kelompok aktor strategis petani berusaha mencapai kepentinganya sejalan dengan kepentingan ekonomi dan politik dengan kelompok mana mereka dapat bekerjasama. Kepentingan yang beragam tersebut cenderung dipertajam sejalan dengan struktur kontrol dan keuntungan yang tidak seimbang. Kondisi ini membuat para petani di tingkat basis merasa terombang-ambing, kembali merasa tidak aman, dan semakin tidak menentu. Dalam pertemuan antar para tokoh petani di Posko Induk DTL Kabupaten Pesawaran tanggal 11 Agustus 2008, bapak PM seorang tokoh petani setempat mengatakan: Dampaknya jelas sangat besar. Banyak petani di Lampung ini yang sekarang berhenti berjuang karena mereka lemah dan tidak ada kekuatan lagi seperti dulu. Bahkan di dalam terjadi adalah pengambil-alihan lahan oleh pihak lain. Salah satunya lahan hasil aksi pendudukan dulu yang sekarang berubah dikuasai oleh para preman dan mereka yang mempunyai kekuatan sehingga banyak petani yang kemudian hanya sebagai penggarap tetapi tidak dapat menguasainya. 139 Gerakan petani di Lampung dilihat dari tipe aktor dalam elemen status, orientasi utama, dan capaian langsung bisa dikatakan sama dengan kasus gerakan petani di Kalibakar Malang Selatan di mana orientasi utama aktor idealis adalah penerapan program landreform by leverage. 256 Tetapi hasil penelitian di Lampung membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran orientasi utama dan capaian langsung yang dikejar oleh para aktor idealis, yakni mereka cenderung menjauh dari tujuan strategis gerakan dan banyak yang berubah menjadi oportunis. Kepentingan substantif petani basis menjadi tergerus oleh kepentingan praktis mereka. Kondisi ini memperkuat keberadaan petani basis pada makna sebagai “komoditas” ekonomi dan politik dalam sirkuit perilaku elitis. Pertarungan pelembagaan garis ideologi gerakan, konflik internal dan fragmentasi organisasi yang terjadi semuanya bermuara pada sirkuit kepentingan para elit aktor gerakan. Jaringan antar kelompok aktor gerakan menjadi semakin renggang bukan hanya terjadi antar kelompok aktor non petani tetapi juga terjadi antar organisasi gerakan petani hingga antar organisasi petani basis. Fenomena elitis ini merupakan indikasi terjadinya perubahan drastis sikap partisipatif dari motivasi membela kepentingan petani menjadi sebagai pelembagaan yang mendasari motivasi partisipasinya. Sikap partisipasi para elit aktor gerakan bukan sebagai konsekuensi dari motivasi mereka untuk mencapai tujuan strategis, melainkan menjadi sebab yang mendasari motivasinya ekonomi dan politik yang sesaat itu. Disinilah letaknya mengapa tujuan strategis gerakan petani menjadi semakin jauh jaraknya dengan tujuan intrumental praktis. Akar gerakan petani komunitas petani basis semakin tercerabut dari batang tubuhnya organisasi tani. Suatu hal yang logis ketika tujuan instrumental gerakan yang semakin dibuat berjarak dengan tujuan strategisnya akan berdampak pada luruhnya soliditas perjuangan petani.

6.5. Decoupling Antara Persoalan Substantif Petani Dengan Kepentingan Para Elit Aktor Gerakan