Berebut Tanah Kemiskinan Penduduk Pedesaan Sebagai Persoalan Mendasar

70

4.4.2.2. Berebut Tanah

Pada sisi lain antara rakyat bawah, pemerintah dan perusahaan terus saling berebut tanah. Pada tahun 2002 tercatat status tanah berkonflik dengan masyarakat di wilayah Provinsi Lampung seluas 398.425 hektar dan yang paling banyak adalah lahan usaha agro industri, yakni seluas 159.640 hektar. Tanah- tanah tersebut terutama berada di bawah penguasaan dan pengelolaan para pemodal. Kemudian lahan-lahan yang sudah dikelola masyarakat yang berstatus sebagai kawasan hutan lindung seluas 121.250 hektar. Lahan-lahan usaha tambak moderen yang secara besar-besar dikelola oleh perusahaan pada awal tahun 1990-an juga berkonflik dengan masyarakat seluas 78.650 hektar. 216 Belum lagi tanah-tanah akibat obyek land reform yang diserahkan kepada negara untuk program transmigrasi. Jumlahnya tidak sedikit dan menjadi sumber konflik horizontal dan vertikal akibat lemahnya managemen pemerintahan. Dilihat dari tataran institusional nampaknya bermuara pada tanggung jawab negara sebagai pemegang “kekuasaan” atas tanah untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Jika dilihat dari tataran perilaku para aktor, akibat dari tindakan kolaboratif yang secara sadar dilakukan antara para penguasa dan pengusaha. Bahkan mungkin mereka juga tahu berbagai konsekuensi yang tidak diharapkan dari tindakan yang dilakukan. Tetapi karena kesadaran palsunya maka jeritan petani dalam kacamata pembangunan diangap sebagai bagian dari harapan da- tangnya kesejahteraan yang akan dinikmati dalam jangka panjang.

4.2.2.3. Kemiskinan Penduduk Pedesaan Sebagai Persoalan Mendasar

Dalam dinamika kependudukan, masyarakat petani di pedesaan semakin dihadapkan pada akselerasi berbagai persoalan hidup yang antara lain tergan- tung pada ketersediaan lahan pertanian. Kebijakan agraria dan konflik pertanah- an tidak terlepas dari praktek-praktek yang dilakukan penguasa pada masa Orde Baru. Akibat dari persoalan ini telah berimplikasi pada akselerasi perubahan sosial politik, ekonomi dan kultural yang negatif bagi perbaikan nasib petani. Tidak heran jika hampir sewindu era reformasi berlangsung kondisi kehi- dupan petani di pedesaan tidak mengalami berbaikan yang berarti, bahkan masih tetap banyak yang miskin. Jumlah rakyat miskin di Lampung meningkat dilihat dari berbagai indikator garis kemiskinan, dan tingkat pengangguran bertam- 216 Sunarto. 2007. Op.Cit. hal. 183. 71 bah. 217 Kedua angka vital ini daerah Lampung dikhawatirkan akan sulit mencapai target Millenium Development Goals MDGs dengan bebas rakyat miskin pada tahun 2015. Belum lagi jika dikaitkan dengan kemungkinan berhasil dalam mengurangi angka gizi buruk yang masih tinggi 225 kasus mengalami lonjakan besar dibanding tahun 2005 181 kasus. Renstra Provinsi Lampung Periode Tahun 2006-2009 juga secara tegas berkomitmen menanggulangi kemiskinan.

4.5. Sejarah Ringkas Gerakan Agraria di Lampung