174
BAB VIII NASIB PETANI DAN PENGUATAN STRUKTUR SUMBERDAYA
GERAKAN AGRARIA
Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa tidak berubahnya nasib petani karena mereka hidup di dalam alam kehidupan sistem agraria yang
begitu berbeda dari yang dipikirkan dan yang secara simbolik dinyatakan oleh para pemikir bijak masa lalu.
284
Posisi petani dalam sistem agraria demikian secara ekonomi termarginalkan, secara politik tidak memiliki hak suara, dan
secara kultural sebagai elemen masyarakat yang terancam. Realitas kehidupan petani yang tetap berada pada posisi lemah tersebut
dalam struktur dominasi berjalan seiring dengan kondisi gerakan yang involutif. Gerakan agraria bersifat stagnan, berjalan ditempat, tidak berubah dan tidak
mampu melakukan perubahan struktural yang berarti sebagai landasan bagi perbaikan nasib keberdayaan petani. Pertanyaannya adalah: Apakah kondisi
gerakan yang involutif tersebut pada masa mendatang berarti tidak ada celah bagi upaya perubahan ke arah tatanan agraria yang lebih adil ? Seberapa jauh
struktur sumberdaya gerakan agraria dapat ikut berperan dalam mengendalikan sistem agraria, atau paling tidak ikut mengarahkanya sedemikian rupa sehingga
dapat meminimalisir marginalisasi petani dan memaksimalkan peluang yang dapat ditawarkan bagi kesejahetaraan petani ? Uraian pada bab ini difokuskan
pada refleksi dan proyeksi dalam upaya transformasi tatanan agraria yang didasarkan pada hasil-hasil temuan di lapangan sebagaimana sudah dijelaskan
pada bab-bab sebelumnya.
8.1. Nasib Petani Dalam Sistem Agraria Antagonis
Lemahnya sistem agraria di Indonesia dalam mengangkat nasib petani meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bersifat praktis tetapi juga bersifat
struktural-ideologis. Sifat strukturalnya tampak dari arah kecenderungan sistem agraria yang cenderung antagonis daripada simbiosis mutualisme. Kondisi ini
termanifestasi dalam pembangunan yang kontra produktif dan kurang
284
Sebagaimana ungkapan para pemikir utopia klasik di Jawa seperti “Toto titi tentrem kerto raharjo” dan “Gemah ripah loh jinawe” yang intinya mengangankan dunia yang serba indah aman, tenteram, sejahtera
dan serba kecukupan.
175
berorientasi populis berorientasi pemetaraan.
285
Dengan mengadopsi tiga elemen struktural menurut Giddens yang terdiri atas struktur signifikasi, struktur
dominasi otoritatif dan alokatif dan struktur legitimasi, maka sifat-sifat struktural sistem agraria yang secara institusional menentukan keterpurukan nasib petani
dapat dijelaskan.
286
Pertama, struktur signifikasi agraria terdiri atas gugus pengetahuan ideologis dan praktis yang dapat meningkatkan kesadaran aktor dan di dalamnya
terlekat ide-ide modernisasi, pembangunan dan pertumbuhan yang dominan dibangun berbasis kolaborasi antara negara dan swasta. Konsepsi ini berkiblat
pada ideologi kapitalisme-liberalisme yang secara kultural sudah melekat kuat menghegemoni dalam struktur shemata aktor di semua elemen sistem agraria.
Termasuk struktur schemata aktor intelektual gerakan yang seharusnya posisi mereka berada pada lingkungan ruang masyarakat sipil civil society, di mana
masyarakat petani berada di dalamnya. Realitas ini sudah sampai pada tataran paradigmatik deveopmentalism-modernism.
287
Kedua, struktur dominasi sumberdaya otoritatif politik dan alokatif ekonomi agraria yang masih sangat timpang. Pertama, eksistensi petani dalam
struktur politik agraria selalu berada pada posisi tersubordinasi. Sifat atau karakter politik petani tetap lemah dan terlembagakan dalam posisi subordinat
underdog dalam struktur sumberdaya otoritatif. Di dalam ruang masyarakat sipil sendiri, petani menjadi terkotak-kotak dalam berbagai kelompok di mana masing-
masing masuk pada arus kepentingan politik dan ekonomi. Dalam situasi tertentu petani sering dimobilisir untuk mendukung kepentingan mereka. Kedua, alokasi
sumberdaya ekonomi agraria juga masih sangat timpang. Kondisi sumberdaya agraria tanah yang bergerak ke arah komersialisasi berakibat banyaknya tanah
absentee dan petani tunakisma. Kondisi ini memperlebar kesenjangan ekonomi, ketimpangan aset, akses dan kontrol atas tanah pertanian bagi petani.
285
Dimaksud dengan konsepsi “antagonis” menunjuk pada pola hubungan yang cenderung diwarnai oleh unsur bernegasi daripada bermediasi. Contohnya, antara negara pemerintah dan swasta perusahaan berada
dalam pola hubungan simbiosis mutualisme, tetapi keduanya berada dalam pola hubungan antagonis dengan masyarakat petani.
286
Struktur rules dan resources terdiri dari tiga kategori abstrak, yakni struktur signifikansi, dominasi dan legitimasi. Pada struktur signifikansi domain teoritisnya adalah teori pengkodean dan tatanan institusionalnya
adalah tatanan simbolismode wacana. Pada struktur dominasi ada dua: 1 yang domain teoritisnya adalah teori otoritas sumberdaya, tatanan institusionalnya adalah institusi politik; dan 2 yang domain teoritisnya
adalah alokasi sumberdaya, tatanan institusionalnya adalah institusi ekonomi. Pada struktur legitimasi domain teoritisnya adalah regulasi normatif dan tatanan institusinya adalah institusi legal. Lihat Adi Loka
Sujono, penerjemah. 2004. Anthony Giddens -The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati, hal. 39.
287
Uraian lebih rinci lihat Mansour Fakih, 2004. Op.Cit.
176
Ketiga, struktur legitimasi agraria yang timpang deskriminatif. Ini menunjuk pada schemata normatif agraria yang pada tataran praktis terwujud dalam
tatanan agraria yang tidak adil terhadap eksistensi petani. Schemata normatif demikian di Lampung melahirkan rangkaian kebijakan agraria yang tidak
responsif terhadap kepentingan petani. Pola penguasaan tanah oleh negara masih kuat ruh “domeinverklaring”,
288
sehingga meskipun UUPA1960 oleh Mendagri pada tahun 1978 dinyatakan tetap berlaku, pada kenyataanya secara
sistematis dikebiri atau dimandulkan.
289
Simbol-simbol legitimasi agraria dalam kerangka kerja pembangunanisme dimitoskan untuk menjaga konsistensi sistem
komunikasi, kekuasaan dan kebijakan agraria. Dalam struktur agraria yang demikian itu jelas bahwa dimensi sosio-kultural
tradisional tetap diposisikan dalam hubungan asimetris dengan dimensi ekonomi dan politik dalam sistem agraria dominan. Jika mengikuti perspektif pesimistis, di
mana hegemoni developmentalism dan modernism yang masih begitu kuat mengakar ke seluruh sistem agraria, maka rasanya tetap sulit ditembus hanya
dengan gerakan lokal, daerah, bahkan nasonal.
8.2. Kegagalan Peran Gerakan Agraria Dalam Mengentaskan Nasib Petani