Respon Terhadap Peluang Politik

114 kelompok elit yang kontra Orde Baru mendukung gerakan masyarakat sipil dalam melakukan perubahan. IJ, seorang mantan Sekjen DRL mengatakan: Memang waktu itu bidikan kita adalah turunnya presiden Soeharto karena dia yang menjadi simpul kekuatan rezim Orde Baru. Berdasarkan analisis kita sesuai dengan perkembangan situasi politik nasional waktu itu maka presiden Soeharto dapat diprediksi segera dapat diturunkan. Para petinggi di pusat sudah tidak kompak lagi, banyak yang mendukung gerakan arus bawah. Ternyata perkiraan kita tidak meleset, Soeharto mengundurkan diri, rezim Orde Baru runtuh, dan kita- kita yang disini Lampung segera menyusun agenda perjuangan lebih lanjut, termasuk membantu perjuangan petani. Terbukanya peluang politik diposisikan sebagai unsur pendorong utama berkembangnya kesadaran kolektif petani dan penguatan struktur mobilisasi sumberdaya gerakan petani. Indikasinya dapat dilihat dari derajat keterbukaan rezim pasca Orde Baru terhadap tuntutan-tuntutan petani. Berbagai elemen masyarakat sipil seperti LSM, elit agama MUI Lampung, kalangan perguruan tinggi, dan bahkan dari partai politik semua mendukung gerakan petani. Bukti keterbukaan lain adalah aksi-aksi unjuk rasa mahasiswa sudah ditolerir dilakukan di luar kampus dan pemerintah daerah juga sudah mau membuka dialog untuk menyelesaikan kasus-kasus pertanahan yang dialami petani. Asumsi dasar pentingnya struktur peluang politik adalah bahwa mobilisasi sumberdaya gerakan dimungkinkan ketika terjadi perubahan iklim politik yang membuat tindakan kolektif lebih memungkinkan untuk sukses. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa peluang politik meningkat pada level penerimaan para pemegang otoritas terhadap aksi-aksi kolektif petani atau dalam melakukan penstrukturan kembali hubungan-hubungan kekuasaan yang ada. Meningkatnya peluang politik juga telah mendorong dikembangkannya tujuan-tujuan dan taktik gerakan yang diartikulasikan oleh organisasi gerakan petani.

6.2.2. Respon Terhadap Peluang Politik

Terbukanya peluang politik dengan cepat direspon dengan penguatan sumberdaya gerakan petani di Lampung. Terutama bagi kalangan komunitas petani korban pembangunan, terbukanya peluang politik tersebut memperkuat semangat mereka untuk meneruskan perjuangan sosio-politik. Sinyal responsif di kalangan petani disambut baik oleh para aktivis gerakan reformasi atau pro- demokrasi dan didukung oleh segenap elemen masyarakat sipil lainnya. Namun demikian, realitas di lapangan menunjukkan bahwa betapapun kuatnya struktur mobilisasi sumberdaya masih tidak bebas dari tekanan-tekanan politik, karena “ruh” otoritarianisme Orde Baru masih belum mati. Sebagian besar 115 komunitas petani baru bergerak segera setelah ancaman politik negara melemah atau peluang politik benar-benar terbuka. Kondisi ini ternyata direspon secara dinamis dan beragam oleh berbagai komunitas petani basis. Beragamnya respon kolektif petani tersebut sesuai dengan karakteristik persoalan yang dihadapi. Bahkan dalam wilayah yang sama respon masing-masing komunitas petani berbeda. Seperti respon komunitas petani di desa Sukadamai lebih cepat dari respon komunitas petani di desa Sinar Rezeki dan sekitarnya padahal mereka berada di wilayah konflik pertanahan yang sama Register 40 Gedung Wani. Ini terkait dengan persepsi tentang situasi yang mereka hadapi, kalkulasi resiko costs yang akan ditanggung dan hasil benefits yang akan dicapai. Kalkulasi partisipasi petani dalam aksi kolektif selain mempertimbangkan faktor obyektif eksternal juga faktor subyektif dari pengalaman petani sendiri. Perbedaan respon petani juga didukung oleh fakta bahwa perubahan peluang politik di dalamnya masih tidak bebas dari unsur tekanan politik yang dapat menghambat berkembangnya aktivitas gerakan. Lemahnya kontrol negara tidak sepenuhnya menghilangkan upaya pemerintah dan perusahaan untuk mempertahankan kepentingannya dengan berbagai cara. Masih belum terbuka sepenuhnya peluang politik di daerah Lampung dilihat dari beberapa kasus oleh petani masih dianggap berkonsekuensi negatif terhadap pengambilan keputusan partisipasi mereka di dalam gerakan. Pada kasus lain, tekanan politik dan upaya persuasif pemerintah dan perusahaan juga dapat mempengaruhi menurunnya aktivitas gerakan petani selanjutnya. Di wilayah Register 40 Gedung Wani para petani merespon secara posisitif peru- bahan politik nasional dan lokal. Para petani di desa Sukadamai dan sekitarnya lebih cepat merespon daripada para petani di desa Sinar Rezeki dan sekitarnya. Ada 9 orang petani di desa Sukadamai dan sekitarnya yang bergerak cepat dan mereka kemudian diakui sangat berjasa dalam mengawali perjuangan petani. Me- reka dianggap sebagai tokoh perintis perjuangan petani yang kemudian disebut “Tim Wali Songo Gerakan Wali Sembilan”. Sedangkan para petani di desa Sinar Rezeki dan sekitarnya belum ada reaksi yang nyata. Mereka masih menunggu upaya penyelesaian persoalan pertanahan yang akan dilakukan oleh pemerintah kabupaten Lampung Selatan. Selain itu, para tokohnya juga sedang mengalami masalah internal organisasi yang menjadi andalan perjuangan petani, yakni Gema Trikora. Kedua persoalan tersebut yang menjadi kendala mereka sehingga lebih lambat dalam merespon peluang politik. Sumber: Hasil wawancara dengan MZ dan PS, 2008. Derajat responsif petani terhadap perubahan struktur peluang politik dilihat dari fungsinya dalam gerakan juga tidak cukup dengan telah berkembangnya sub kultur oposisi petani. Dalam beberapa kasus, sub kultur oposisi petani dapat mempercepat respon terhadap terbukanya peluang politik. Tetapi pada tataran 116 praksis dalam diri petani masih melekat perasaan tekanan psikologis akibat pengalaman traumatik trauma politik masa lalu. Pandangan petani terhadap para pemegang otoritas masih melekat watak otoritarianisme negara yang pada tataran praksis juga masih sering dialaminya. Berkembangnya sub kultur oposisi petani didukung dengan terbukanya peluang politik menjadi daya dorong perkembangan kesadaran konfliktual petani menjadi kesadaran politik dan proses transformasi kesadaran politik tersebut ke dalam tindakan kolektif petani. Situasinya memungkinkan karena telah terjadi masa transisi di mana sistem otoriter telah kehilangan legitimasinya. Banyak komunitas petani yang tadinya fatalistik, kemudian bersama elemen non petani mereka mulai berani menuntut perubahan dan mengembangkan sensifitas baru terhadap kemajuan sistem agraria yang adil dan demokratis. Meskipun demikian, kerja pendampingan dalam pengorganisasian petani basis oleh elemen non petani masih sangat diperlukan. Fungsi lainnya adalah membantu petani dalam merefleksikan kondisi dan pengalaman subyektif, menginterpretasikan peluang-peluang dan merumuskan kepentingan bersama mereka. Kesadaran petani dirubah tidak hanya dalam memahami posisinya yang marginal dalam sistem agraria dominan, tetapi juga ditawarkan tata kehidupan agraria baru sebagai solusi alternatif yang pantas terhadap kedudukan petani dalam sistem agraria. Alienasi, marginalisasi, dan subordinasi petani semakin kental difahami bersama sebagai wujud dari praktik ketidakadilan yang harus dihilangkan karena menyebabkan petani menderita. Proses-proses pembingkaian isu-isu strategis petani di atas merupakan indikasi bahwa penguatan struktur sumberdaya gerakan dalam perjuangan petani sangat tergantung pada kekuatan elemen pendukung dari luar non petani terutama yang berposisi sebagai aktor strategis gerakan. Peluang elemen non petani berperan dalam posisi strategis gerakan mendorong: a penguatan sumberdaya non petani terkait dengan respon positifnya terhadap berubahnya struktur peluang politik guna memberi dukungan terhadap gerakan petani; b para elit partai politik tertentu mendukung gerakan pro-demokrasi dan bergabung dengan berbagai organisasi masyarakat sipil; dan c mengalirnya dukungan berbagai elemen masyarakat sipil dan partai politik tersebut dengan cepat dapat dikonsolidasikan di dalam suatu wadah konsorsium DRL. Ini membuktikan bahwa respon kolektif aktor non petani terhadap peluang politik memposisikan petani 117 berada lebih dekat sebagai basis akumulasi sumberdaya mobilisasi utama dalam gerakan petani.

6.3. Mobilisasi Sumberdaya Dalam Gerakan Petani