125
6.3.4.2. Pendudukan Lahan
Pada umumnya aksi pendudukan lahan dilakukan karena aksi unjuk rasa tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Seperti kasus aksi pendudukan
lahan di Register 40 Gedung Wani pada tanggal 13 – 17 September 1998. karena dipicu oleh beberapa kondisi berikut:
1. Para elit aktor kurang percaya bahwa strategi aksi unjuk rasa akan segera direspon secara positif oleh para pemegang otoritas.
2. Tim 13 masih belum menunjukkan hasil kerjanya. 3. Terdapat pemahaman kolektif hasil musyawarah bahwa pendudukan lahan
merupakan langkah perjuangan yang paling efektif dan langkah yang paling strategis untuk segera dilakukan agar tidak ketinggalan momentum.
Aksi pendudukan lahan merupakan strategi terakhir dalam gerakan petani dan sedikitnya terdapat tiga ciri utama, yakni:
1. Dilakukan secara massal dengan melibatkan seluruh anggota petani basis. Aksi-aksi pendudukan lahan terorganisir di Lampung dibantu oleh para petani
dari beberapa wilayah lain yang datang secara bergantian dan terkoordinir dengan baik.
2. Terbentuk pengendalian terstruktur dari tingkat organisasi basis posko basis atau OTL hingga tingkat provinsi.
3. Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ke bawah terus melakukan koordinasi di lapangan dan ke atas terus melakukan negosiasi.
6.3.4.3. Efek Gerakan a. Perubahan Kebijakan
Ada dua keberhasilan gerakan petani yang penting dijelaskan, yakni perubahan kebijakan dan luasnya lahan pertanian yang dapat dikuasai oleh
petani. Perubahan kebijakan pertanahan terjadi dalam dua kategori, yakni kebijakan tingkat provinsi dan tingkat lokal.
Perubahan kebijakan tingkat provinsi antara lain: 1 Surat Keputusan Gubernur Lampung No:G302B.IXHK2000 tanggal 23 September 2000 tentang
Penunjukan Lokasi Eks. Areal Kawasan Hutan Produksi yang dapat di konversi HPK seluas 145.125 hektar, menjadi Areal Penggunaan Lain APL yang
merupakan tanah negara; 2 Surat BPN Provinsi Lampung No: 600-283 Tahun 2001 tanggal 4 April 2001 yang di tujukan kepada Kepala Badan Pertanahan
126
KabupatenKota dan Kepala Kantor Perwakilan Pertanahan se Propinsi Lampung tentang Pemberitahuan Pelaksanaan Ajudikasi Swadaya di lokasi eks. Areal
Kawasan Hutan di Provinsi Lampung. Perubahan kebijakan secara khusus dapat diketahui antara lain di wilayah
kecamatan Tanjung Bintang Lampung Selatan dan di kecamatan Padang Ratu Lampung Tengah. Di wilayah kecamatan Tanjung Bintang antara lain adalah: 1
secara simbolik diserahkan tanah Register 40 Gedung Wani seluas 1.500 Hektar kepada petani; 2 Surat Keputusan Gubernur Lampung No: 06 Tahun 2000
tanggal 19 Februari tahun 2000 yang menetapkan desa Karang Rejo eks rekaliaming sebagai desa persiapan dan tahun 2004 menjadi desa definitif
termasuk beberapa desa lainnya. Sedangkan perubahan kebijakan di kecamatan Padang Ratu antara lain
adalah: 1 Menteri Negara Transmigrasi dan PPH mengeluarkan surat No. 05MENXI1999, tanggal 10 Nopember 1999 agar membentuk tim terpadu dalam
rangka penyelesaian kasus Padang Ratu; 2 tanggal 19 April 2000, Menteri Negara Transmigrasi dan Kependudukan mengeluarkan surat No. 805.PA.
01.13.2000 tentang penyelesaian tanah HPL di Padang Ratu; 3 tanggal 3 Agustus 2000, DPRD dan Pemda Lampung Tengah membuat surat pernyataan
mengenai penghentian kegiatan di areal oleh PT. TDA; dan 3 tanggal 13 Oktober 2000, Bupati Lampung Tengah memerintahkan Kantor Pertanahan
Kabupaten Lampung Tengah untuk mengukur lahan yang dimohon masyarakat 11 Desa di kecamatan Padang Ratu.
Rangkaian perubahan kebijakan pemerintah pusat dan daerah terhadap persoalan pertanahan di Lampung terkait dengan rangkaian tuntutan petani.
Tetapi pada tingkat lokal terdapat keragaman perubahan kebijakan sesuai dengan jenis dan derajat persoalan masing-masing. Contohnya di Rawasragi I
dan II, di Halangan Ratu, di Gunung Terang, di wilayah Gunung Betung, di desa Air Panas. Pada sisi lain, banyak hasil rekomendasi penyelesaian konflik
pertanahan yang telah dikeluarkan oleh Tim 13 Provinsi Lampung yang terkesan masih di ”peti es-kan” oleh pemerintah daerah dan tidak ada tindak lanjutnya
atau terkesan sengaja diambangkan. Tindakan menimbulkan kecurigaan dan dugaan negatif di kalangan masyarakat. Tidak adanya tindak-lanjut dari hasil
rekomendasi Tim 13, maka kecurigaan itu paling tidak menyangkut lima hal: 1. Konflik pertanahan terutama di wilayah kehutanan menjadi tanggung-jawab
pemerintah pusat sehingga prosesnya sangat panjang.
127
2. Diduga ada konspirasi antara pemerintah daerah dengan para pengusaha yang ijin oprasinya belum selesai.
3. Adanya kepentingan pemerintah terhadap lahan yang telah dikuasai kembali oleh rakyat untuk perusahaan.
4. Adanya kesan keberadaan Tim 13 hanya sebagai peredam konflik pertanahan terhadap rakyat bawah, sehingga hasil rekomendasi itu sengaja
diisukan untuk segera diselesaikan, tetapi sebenarnya masuk ke ”tong” sampah atau masuk ke ”peti es”.
5. Adanya upaya untuk mengkondisikan status tanah di wilayah konflik terus diambangkan sehingga pada saatnya nanti akan dapat diambil kembali oleh
pemerintah dan atau dapat diberikan kembali kepada perusahaan. Berdasarkan berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa kebijakan yang
sudah dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah pada kenyataanya di lapangan di tingkat lokal belum sepenuhnya berhasil direalisasikan. Di lapangan masih
ada upaya tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, para pengusaha, dan petani. Kondisi ini di kemudian hari rentan terhadap konflik baik
horizontal maupun vertikal.
b. Hasil Pendudukan Lahan dan Persoalan Distribusinya