143
arah kecenderungan tersebut. Aktivitas organisasi gerakan petani dengan segenap ciri-cirinya berada pada kondisi stagnan. Dilihat secara historis kondisi
ini kembali terulang seperti yang terjadi pada perjuangan petani sebelumnya ketika berada pada sistem politik otoritarian.
6.6.1. Pengeroposan Dari Dalam
Pasca aksi pendudukan lahan istilah “mabuk kemenangan” menjadi akrab di kalangan petani. Fenomena ini justru mengarah pada perilaku dan pengaruh
negatif yang berimplikasi pada makna perjuangan yang semakin memudar, “soliditas sosial” semakin melemah, tingkat kepercayaan antar sesama semakin
turun, jaringan hubungan antar elemen aktor gerakan semakin mengendur, dan komitmen perjuangan semakin melemah. Singkatnya, modal sosial gerakan
petani mengalami peluruhan secara drastis. Meskipun banyak yang mengklaim bahwa gerakan petani di Lampung adalah sukses, tetapi sebenarnya tidak
mengubah kondisi kehidupan petani basis secara berarti. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa anggapan seperti itu justru mendorong munculnya
tindakan-tindakan yang berindikasi terjadinya pengeroposan dari dalam. 1. Sikap menjadi fungsi kepentingan. Selama aksi-aksi langsung unjuk rasa
dan reklaiming, orientasi tindakan para partisipan terkonsentrasi pada tercapainya tuntutan-tuntutan praktis yang mendukung tujuan strategis
gerakan. Pasca reklaiming orientasi tindakan mereka berubah semakin berjarak dengan tujuan strategisnya. Komunitas petani basis diposisikan
sebagai sumberdaya mobilisasi potensial dan menjadi ajang perebutan pendukung utama tercapainya kepentingan kelompok-kelompok elit aktor
garakan itu sendiri. 2. Praktik saling menegasikan. Jatuh bangun dalam kepemimpinan SPL, upaya
membunuh karakter dalam DTL, menyebar fitnah dan mempersempit gerak pihak lain dalam akses di ruang publik adalah bagian dari indikasi upaya
meningkatkan derajat kekuasaan diri dan kelompoknya dengan cara menurunkan atau mengeliminir derajat kekuasaan kelompok lain yang
dianggap pesaing atau lawan. 3. Pola kepemimpinan lebih bersifat transaksional daripada transformasional.
Upaya untuk menguasai sumberdaya petani, baik melalui kontrol terhadap organisasi gerakan petani maupun secara langsung terhadap organisasi
petani basis bukan dalam rangka penyelesaian persoalan substantif petani
144
tetapi lebih dilihat dimaknai memiliki nilai jual yang bisa mendatangkan keuntungan politik dan ekonomi.
Oleh karena itu, gerakan petani dalam perkembangan organisasionalnya lebih bersifat sebagai gerakan praktis daripada gerakan strategis. Kualitas
kepemimpinannya semakin nampak keropos, saling mengklaim petani basis sebagai anggotanya, saling menegasikan pihak lain dan perpecahan sebagai
jalan keluar dengan membentuk organisasi petani sendiri. Indikasinya adalah: 1 kepemimpinan yang jatuh bangun; 2 tidak ada kaderisasi; 3 tidak
mampu tampil sebagai kelompok penekan dengan inovasi isu-isu kritis dan stretegis petani secara produktif; 4 kepemimpinan yang tidak demokratis;
5 keanggotaan bersifat kolektif dan berbasis klaim; 6 tidak dapat mengatasi persoalan pembagian lahan hasil pendudukan sesuai dengan
tujuan gerakan, yakni mendahulukan yang berhak dan para petani miskin; 7 tidak mandiri dan tidak memiliki garis massa yang jelas; dan 8 organisasi
gerakan petani semakin kurang dipercaya sebagai wadah perjuangan petani karena para elit aktor membawanya masuk terlibat proses transaksi politik
dan ekonomi dalam merespon peluang politik lokal. 4. Kesadaran petani basis dalam mendukung keberlanjutan organisasi tani
semakin lemah. Kuat anggapan bahwa perjuangan petani telah selesai ketika mereka sudah mendapatkan tanah pertanian. Tujuan petani adalah spesifik,
kongkrit dan meterial bukan pada tujuan strategis. Realitas ini merupakan kelemahan para elitnya karena tidak mampu mentransformasikan tujuan
strategis gerakan dalam struktur schemata petani. 5. Struktur komunikasi secara organisasional semakin kurang efektif karena
para elit organisasi kurang pendekatan secara periodik kepada petani basis. Pada tataran perilaku para elit juga sudah cacat di mata petani basis karena
berbagai kesalahan konsekuensi dari tindakan yang telah mereka lakukan. Petani basis sering menjadi alat mobilisasi untuk mencapai kepentingan
praktisnya, sehingga sangat sulit untuk membangkitkan kembali kepercayaan mereka yang sudah terlanjur luntur. MZ seorang tokoh petani di Register 40
Gedung Wani dan WGM seorang tokoh petani di Pesawaran mengatakan:
Berbagai kasus yang terjadi di mana rakyat petani semakin jelas menjadi obyek kepentingan politik dan ekonomi para pemimpinya yang berujung
mereka sebagai korban. Lama-lama rakyat petani menjadi sadar sebagai obyek mereka dalam dukung-mendukung untuk mecapai kekuasaan sehingga
rasa simpati, loyalitas dan kepercayaan petani semakin luntur. Dalam kasus koperasi tani di register 40 dan di pesawaran yang pada awalnya didukung
oleh para petani iuran modalsimpanan wajib, tetapi oleh pengelolanya
145
diselewengkan dengan tidak ada pertanggung jawaban yang jelas. Koperasi menjadi gulung tikar dan modalnya juga ikut habis tidak diketahui kemana
larinya. Kejadian-kejadian tersebut kemudian melunturkan kepercayaan petani dan sikap mereka menjadi pasif dan bahkan cenderung tidak mau tahu
terhadap kondisi organisasi yang juga semakin rapuh.
6. Terjadi pembelahan arus sumberdaya gerakan sampai terjadi polarisasi antara yang terkonsentrasi pada organisasi tani dan yang terkonsentrasi
pada massa petani basis. Para elit aktor gerakan semakin larut bermain pada ruangnya sendiri berada di dalam organisasi gerakan petani. Mereka sengaja
memanfaatkannya untuk dapat bermain pada ruang relasi kekuasaan dalam struktur jaringan eksternal.
260
Kemudian terjadi dua stratifikasi ruang yang terpisah antara kelompok elit organisasi gerakan petani dan komunitas petani
basis. Jarak stratifikasi ruang tersebut selain menunjukkan lemahnya soliditas jaringan internal juga menunjukkan bahwa kedua kelompok aktor tersebut
berada dalam ruangnya masing-masing, sehingga sama-sama terjebak pada upaya pemuasan kepentinganya sendiri dalam jangka pendek.
7. Rendahnya sumberdaya manusia human assets dalam kepengurusan organisasi. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan
organisasi dan kualitas penyelesaian setiap persoalan substantif petani. Tujuan pragmatis petani memperoleh tanah tidak mampu dikontrol secara
baik dan distribusinya diserahkan sepenuhnya kepada organisasi petani tingkat basis paling tinggi tingkat posko induk. Akibatnya, pembagian tanah
hasil reklaiming menjadi kacau dan tidak dapat dibendung muncul para borjuis kecil, aksi premanisme, maraknya para spekulan tanah dan para free-
riders dari berbagai kalangan.
261
Sesuai dengan tujuan gerakan bahwa para partisipan inti dan para petani miskinlah yang seharusnya menjadi sasaran
utama mendapatkan lahan. Bapak SP diperkuat oleh bapak SBT sebagai tokoh gerakan petani oleh SPL yang juga terlibat dalam aksi-aksi reklaiming
dengan nada kecewa mengatakan:
Terdapat ungkapan “asu gede menang kerahe” anjing besar menang berkelahi. Artinya, ketika melakukan aksi unjuk rasa dan reklaiming semua
partisipan dengan beragam latar belakang bekerjasama bahu membahu. Bahkan banyak petani dari berbagai wilayah juga ikut serta membantu. Tetapi
260
Masing-masing kelompok elit aktor memiliki kapabilitas membangun jaringan kepentingan dengan pihak luar secara politik maupun ekonomi yang berkaitan atau tidak dengan kepentingan substantif petani. Jaringan
hubungan tersebut menjadi lintas batas termasuk berhubungan dengan para pemegang otoritas institusional atau dengan pihak lain meskipun harus menjual diri dan menjual massa petani basis anggota organisasi..
261
Capaian langsung para oportunis bukan hanya untuk mendapat citra sebagai pejuang, sebagai pahlawan petani, serta untuk memperoleh kekuasaan sosial politik sebagaimana yang terjadi pada kasus gerakan
petani di Kalibakar Malang Selatan Wahyudi, 2005. Op.Cit., hal. 198. Lebih dari itu, mereka juga berkeinginan mendapatkan keuntungan materi dan bagian tanah pertanian. Bahkan sebagian besar motivasi
aktor strategis petani dan non petani pada akhirnya terlihat bahwa partisipasi mereka dalam gerakan hanya sebagai alat untuk mencapai kepentinganya yang bersifat oportunis.
146
setelah tanah dapat dikuasai, kemudian muncul saling mengaku bahwa dia yang paling berjasa dengan mengedepankan kekuasaan untuk mendapatkan
bagian yang paling banyak. Mereka adu kekuatan untuk saling menyingkirkan yang lain, dan yang paling kuat adalah mereka yang mampu memperoleh
bagian yang paling banyak sesuai keinginan. Sedangkan mereka yang lemah hanya mendapatkan sisanya, bahkan ada anggota yang tidak mendapatkan
bagian atau hanya sebagai penggarap lahan-lahan yang dapat dikuasai oleh pihak-pihak lain disitu.
8. Komunitas petani basis secara terus menerus berpotensi menjadi ajang perebutan pengaruh oleh berbagai kelompok elit aktor yang secara historis
pernah berjasa terhadap keberhasilan perjuangan petani di masa lalu. Para elit gerakan petani dan non petani semakin sulit untuk bisa bersatu karena
kuatnya kepentingan praktis masing-masing. Mereka saling menganggap bahwa komunitas petani basis itu juga menjadi anggota organisasinya.
Beberapa contoh kasus adalah: 1 berdirinya Posko baru di dalam Posko lama; 2 munculnya isu akan dilakukan gerakan 40.000 petani dengan
mudah dibatalkan secara sepihak oleh kelompok aktor non petani karena mereka sudah berhasil mengurus ijin operasi perusahaan dan mendapatkan
sejumlah uang; 4 perebutan pengaruh dalam acara peringatan sewindu pasca reklaiming di kecamatan Jati Agung Lampung Selatan; dan 5
berdirinya LSM dan organisasi petani baru yang mengklaim sebagian besar anggotanya adalah juga yang menjadi anggota organisasi tani lain lama.
Semua itu membawa suatu kondisi bahwa konflik horizontal masih rentan terjadi. Suatu persoalan yang krusial adalah belum adanya tanda-tanda upaya
penyatuan kembali gerak langkah perjuangan berbagai organisasi gerakan petani. Lemahnya peran organisasi gerakan petani berdampak pada munculnya
persoalan horizontal, semakin menurunnya soliditas perjuangan, komitmen moral dan jaringan networks di antara para elit aktor petani dan non petani.
6.6.2. Pengeroposan dari