146
setelah tanah dapat dikuasai, kemudian muncul saling mengaku bahwa dia yang paling berjasa dengan mengedepankan kekuasaan untuk mendapatkan
bagian yang paling banyak. Mereka adu kekuatan untuk saling menyingkirkan yang lain, dan yang paling kuat adalah mereka yang mampu memperoleh
bagian yang paling banyak sesuai keinginan. Sedangkan mereka yang lemah hanya mendapatkan sisanya, bahkan ada anggota yang tidak mendapatkan
bagian atau hanya sebagai penggarap lahan-lahan yang dapat dikuasai oleh pihak-pihak lain disitu.
8. Komunitas petani basis secara terus menerus berpotensi menjadi ajang perebutan pengaruh oleh berbagai kelompok elit aktor yang secara historis
pernah berjasa terhadap keberhasilan perjuangan petani di masa lalu. Para elit gerakan petani dan non petani semakin sulit untuk bisa bersatu karena
kuatnya kepentingan praktis masing-masing. Mereka saling menganggap bahwa komunitas petani basis itu juga menjadi anggota organisasinya.
Beberapa contoh kasus adalah: 1 berdirinya Posko baru di dalam Posko lama; 2 munculnya isu akan dilakukan gerakan 40.000 petani dengan
mudah dibatalkan secara sepihak oleh kelompok aktor non petani karena mereka sudah berhasil mengurus ijin operasi perusahaan dan mendapatkan
sejumlah uang; 4 perebutan pengaruh dalam acara peringatan sewindu pasca reklaiming di kecamatan Jati Agung Lampung Selatan; dan 5
berdirinya LSM dan organisasi petani baru yang mengklaim sebagian besar anggotanya adalah juga yang menjadi anggota organisasi tani lain lama.
Semua itu membawa suatu kondisi bahwa konflik horizontal masih rentan terjadi. Suatu persoalan yang krusial adalah belum adanya tanda-tanda upaya
penyatuan kembali gerak langkah perjuangan berbagai organisasi gerakan petani. Lemahnya peran organisasi gerakan petani berdampak pada munculnya
persoalan horizontal, semakin menurunnya soliditas perjuangan, komitmen moral dan jaringan networks di antara para elit aktor petani dan non petani.
6.6.2. Pengeroposan dari
Luar
Kemampatan gerakan petani juga dipengaruhi oleh penyumbatan dari luar, baik langsung maupun tidak langsung. Proses penyumbatan terjadi dalam
berbagai cara terkait dengan kondisi spesifik pada masing-masing kasus. 1. Secara umum terkesan adanya upaya pemerintah untuk mengambangkan
persoalan pertanahan yang dihadapi petani. Secara politis upaya ini mampu melemahkan semangat perjuangan petani. Soliditas perjuangan kembali
seperti semula sebelum terjadi gerakan sosio-politik petani, menjadi terpacah-pecah dan terpisah-pisah antara satu komunitas dengan komunitas
147
lainnya. Sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru, ketika mereka kembali bergejolak maka akan mudah diredam dan dilokalisir diblokir baik
dengan cara persuasif maupun represif. Sebagian besar kasus pertanahan terutama pada komunitas petani anggota
organisasi basis hingga saat ini belum terselesaikan. Beberapa contoh kasus sebagai berikut:
a. Tanah bekas erfpacht di desa Gunung Rejo, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran yang sudah dikelola oleh masyarakat setempat sejak
tahun 1940, hingga saat ini BPN masih belum mau memberikan sertifikat tanah karena masih berurusan dengan pihak TNI. Proyek serifikasi tanah oleh BPN
yang katanya menjadi aganda aset reform masih sebatas pada tanah-tanah yang dikuasai rakyat dan tidak ada konflik di dalamnya.
b. Di Register 40 Gedung Wani, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan meskipun sudah dibentuk Tim Koordinasi Antar Desa TKAD untuk
meningkatkan status tanah yang sudah dikuasai petani menjadi bersertifikat, sampai saat ini masih diambangkan;
c. Tanah pertanian di desa Air Panas Lampung Selatan yang sudah dikuasai petani sekarang digugat kembali oleh perusahaan yang dulu menguasainya; 4
pembagian tanah obyek transmigrasi di wilayah Rawasragi sampai saat ini juga belum jelas.
2. Melemahnya soliditas perjuangan petani berjalan seiring dengan menguatnya serangan balik dari pihak lawan dan pihak lain yang berkepentingan.
Serangan balik antara lain dapat berupa uang, kedudukan, menciptakan isu penaklukan, pengkaburan kebijakan pertanahan, dan mencitrakan kondisi
petani yang tidak aman melalui adu domba.
a. Uang dan kedudukan lebih bersifat individual diberikan kepada para elit organisasi tani. Dampaknya cukup kuat terhadap lemahnya organisasi tani.
Mereka cenderung tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berkiblat pada kepentingan pemberi uang dan kedudukan. Ketika terjadi persoalan petani
mereka cenderung menghindar dan menyerahkan persoalan kepada pemerintah. Organisasi tani semakin tidak memiliki kekuatan sebagai wadah perjuangan
nasib petani.
b. Isu penanaman jarak, sertifikasi komunal dan penjualan tanah oleh tokoh petani yang dikembangkan oleh para pemegang otoritas dan perusahaan tertentu yang
berujung saling menyalahkan dan membuka kedok organisasi tani yang sudah tidak punya gigi kekuatan legitimatif lagi.
c. Diterbitkan SK tentang luas wilayah pertanahan lebih dari satu yang masing- masing berbeda ukurannya dan hingga saat ini belum jelas batas-batasnya.
d. Diisukan petani yang melakukan reklaiming di wilayah kehutanan sekaligus melakukan illegal logging. Dibangun pos-pos penjagaan di wilayah kehutanan
dengan menyingkirkan tokoh petani tertentu dan merangkul tokoh patani lain di wilayah yang sama Sumber: hasil wawancara, 2008.
3. Terbentuknya Tim 13 memiliki ambivalensi, yakni posisi strategis gerakan bagi petani dan posisi taktis peredaman bagi penguasa. Posisi strategis
karena petani memiliki kekuatan setara, sedangkan posisi taktis karena persoalan petani bisa cairkan, di “wadahi”, dilokalisir, ketegangan dapat
dikurangi dan reaksi petani dapat disumbat. Proses penyumbatan perjuangan
148
petani antara lain ketika wakil dari petani di keluarkan dari keanggotaan Tim 13 pada tahun 2002. Kedudukan Tim 13 semakin jelas ketika SK Gubernur
dikuatkan dengan SK Menteri.
6.6.3. Stagnasi Gerakan Petani