Ikhtisar DINAMIKA KEPENDUDUKAN DAN PERSOALAN AGRARIA DI

76 Semakin kuat tekanan neoliberal berjalan seiring dengan semakin kuatnya tekanan masyarakat sipil terhadap rezim penguasa. Dengan semakin banyaknya terjadi konflik pertanahan di Lampung, maka tuntutan perubahan ke arah sistem agraria yang adil dan demokratis semakin kuat, termasuk di dalamnya gerakan petani. Ketika rezim penguasa sudah digulingkan, para aktivis gerakan tidak menyadari bahwa gerakan mereka masuk dalam jebakan arus kapitalisme global neoliberal. Mereka inilah rezim pasar bebas yang semakin kuat mengontrol negara, berada di balik jatuhnya rezim Orde Baru dan kemudian diposisikan sebagai lawan gerakan. 224 Artinya, anggapan bahwa negara Orde Baru sebagai satu-satunya lawan gerakan yang harus digulingkan sebagaimana pandangan Gramsci, ternyata tidak sepenuhnya benar. Pandangan itu segera digeser diarahkan pada lawan gerakan yang lebih kuat berada di atas aras atau lokus negara, yakni rezim kapitalisme neoliberal yang mendominasi mengontrol kekuatan negara. 225 Realitas ini oleh Richard J.F. Day disebut “domination of domination”, sehingga teori Gramsci dalam konteks ini dianggap sudah mati Gramsci is Dead. 226 Jejaring gerakan agraria nasional dengan gerakan transnasional semakin kuat, dan bahkan salah satu organisasi gerakan agraria transnasional dipegang oleh para penggiat aktivis organisasi gerakan di Indonesia, seperti organisasi La Via Campesina. Sering para penggiat gerakan petani di Lampung yang ikut aksi-aksi kolektif di luar negeri akibat dari intensifnya berjejaring dengan organisasi gerakan transnasonal.

4.6. Ikhtisar

Masyarakat Lampung bersifat majemuk terdiri atas beragam kelompok etnik asli Lampung dan pendatang. Masing-masing etnik tetap eksis dengan adat- istiadatnya yang khas. Masyarakat adat Lampung memiliki struktur adat dan wilayah teritorialnya sendiri yang diikat secara genealogis berdasarkan prinsip nilai Pil-il Pesenggiri. Makna struktur adat sudah mulai bergeser mulai sejak masa Kesultanan Banten, dan dipertegas pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Ini berkonsekuensi pada semakin menyempitkan wilayah teritorial 224 Mansour Fakih. 2003. Op.cit. 225 Lihat: “Pandangan dan Sikap” dan “Garis-garis Besar Haluan Organisasi GBHO” Serikat Petani Indonesia SPI Periode 2007-2012. Jakarta: SPI, 2007. 226 Dalam era globalisasi saat ini persoalan ekonomi, politik dan kultural semakin menguat menjadi kepentingan negara-negara, terutama antar negara-negara maju, dengan membangun kekuatan supra nasional. Persoalan yang muncul di suatu negara, seperti negara berbembang dan gerakan-gerakan sosial yang mengiringinya sebenarnya bukan lagi terletak pada kekuatan negara tersebut tetapi terletak pada disebabkan dan diciptakan kekuatan supra nasional tersebut Richard J.F. Day. 2005. Gramsci is Dead: Anarchist Currents in the Newest Social Movements. London: Pluto Press. 77 masyarakat adat, terutama setelah dikeluarkannya kebijakan Domeinverklaring tahun 1870. Perumbuhan penduduk Lampung menjadi semakin nyata ketika dilakukan program kolonisasi. Kebijakan ini diikuti banyaknya migrasi murni dengan alasan ekonomi. Semakin sempitnya lahan yang dimiliki petani mendorong mereka membuka lahan-lahan kawasan hutan. Realitas ini terus berlangsung pada masa pasca kemerdekaan hingga masa Orde Baru. Proses perubahan tersebut berjalan seiring dengan berubahnya status tanah pertanian di Lampung masa Orde Baru menjadi “aset negara” dan “komoditas” pasar. Meskipun realitas ini sebenarnya sudah berlangsung sejak masa kolonial, tetapi persoalan agraria pertanahan menjadi semakin kompleks pada masa Orde Baru. Penduduk Lampung tumbuh pesat, berebut tanah dan konflik pertanahan antara petani dengan negara dan swasta menjadi semakin tak terhindarkan. Kondisi internal dan eksternal masyarakat petani di pedesaan Lampung secara khusus semakin mendorong meningkatnya persoalan stabilitas ekonomi rumah tangga tani dan secara umum semakin mendorong menurunnya stabilitas sosio-kultural masyarakat desa. Selama Orde Baru, upaya pembebasan dan pengambil-alihan tanah adalah banyak yang dikuasai oleh komunitas petani baik secara adat, secara historis, bahkan ada yang sudah memiliki bukti sertifikat. Saluran komunikasi sosio-politik dan hukum disumbat mengabaikan hak-hak petani sehingga aspirasi petani tidak dapat menjadi bagian penting dari berbagai kebijakan agraria di pedesaan. Hingga pasca reformasi kesejahteraan petani di pedesaan tidak mengalami perubahan berarti. Kemiskinan di pedesaan masih tinggi meskipun program-program pengentasan kemiskinan dengan berbagai cara sudah dilakukan. Penderitaan petani yang bersifat struktural dan berlatar historis tersebut selalu melahirkan serangkaian perjuangan petani. Dalam rentang sejarah perkembangan masyarakat Lampung mulai masa penjajahan Belanda hingga saat ini telah terjadi empat kategori gerakan petani, yakni gerakan tradisional, gerakan transisi moderan, gerakan moderen, dan gerakan transnasional. 78

BAB V KETEGANGAN STRUKTURAL AGRARIA SEBAGAI PRAKONDISI

UTAMA MUNCULNYA GERAKAN PETANI DI LAMPUNG 5.1. Sumber Utama Ketegangan Struktural Agraria 5.1.1. Pola Penguasaan Tanah dan Konflik Pertanahan Berbagai kasus penguasaan tanah oleh masyarakat di pedesaan Lampung yang melandasi munculnya gerakan petani secara umum dapat dibagi dua, yakni tanah adat dan non adat. Penguasaan tanah secara adat banyak terjadi pada etnik Lampung baik tanah hak kolektif ulayat marga maupun yang sudah menjadi hak perseorangan. Sedangkan tanah-tanah non adat sebagian besar dimiliki oleh penduduk pendatang yang diperoleh melalui berbagai cara, antara lain melalui pembelian, program kolonisasi dan transmigrasi, hasil pembukaan kawasan hutan termasuk hasil pengolahan rawa-rawa, dan mengelola tanah- tanah negara bekas hak erfpacht yang ditinggalkan Belanda. Rangkaian kebijakan agraria berhubungan kuat dengan proses perubahan hak penguasaan masyarakat petani atas tanah. Terdapat empat pola perubahan penguasaan tanah yang bersinggungan dengan hak masyarakat petani atas tanah, yakni: 1 tanah masyarakat yang diperuntukkan bagi areal perkebunan; 2 tanah masyarakat yang diperuntukkan bagi kepentingan program pemerintah; 3 tanah negara yang diperuntukkan bagi masyarakat; dan 4 tanah perkebunan bekas onderneming yang berpindah tangan menjadi hak penguasaan secara perseorangan. Sedangkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap tanah dan berujung konflik dengan masyarakat dapat dibedakan dalam empat kategori, yakni: 1 antara masyarakat dengan pemerintah; 2 antara masyarakat dengan perusahaan negara; 3 antara masyarakat dengan perusahaan swasta; 4 antar anggota masyarakat akibat kebijakan pemerintah dan tindakan perusahaan. Keempat kategori tersebut secara umum tidak berhubungan dengan derajat kontrol negara, karena relatif tidak berbeda atau sulit dibedakan. Perbedaannya tampak dari kasus yang terjadi di wilayah kehutanan atau non wilayah kehutanan dan derajat tindak kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap petani sesuai dengan kualitas persoalan pertanahan yang dihadapi dan derajat respon perlakuan pihak lawan terhadap petani.