139
Gerakan petani di Lampung dilihat dari tipe aktor dalam elemen status, orientasi utama, dan capaian langsung bisa dikatakan sama dengan kasus
gerakan petani di Kalibakar Malang Selatan di mana orientasi utama aktor idealis adalah penerapan program landreform by leverage.
256
Tetapi hasil penelitian di Lampung membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran orientasi utama dan
capaian langsung yang dikejar oleh para aktor idealis, yakni mereka cenderung menjauh dari tujuan strategis gerakan dan banyak yang berubah menjadi
oportunis. Kepentingan substantif petani basis menjadi tergerus oleh kepentingan praktis mereka. Kondisi ini memperkuat keberadaan petani basis pada makna
sebagai “komoditas” ekonomi dan politik dalam sirkuit perilaku elitis. Pertarungan pelembagaan garis ideologi gerakan, konflik internal dan
fragmentasi organisasi yang terjadi semuanya bermuara pada sirkuit kepentingan para elit aktor gerakan. Jaringan antar kelompok aktor gerakan menjadi semakin
renggang bukan hanya terjadi antar kelompok aktor non petani tetapi juga terjadi antar organisasi gerakan petani hingga antar organisasi petani basis. Fenomena
elitis ini merupakan indikasi terjadinya perubahan drastis sikap partisipatif dari motivasi membela kepentingan petani menjadi sebagai pelembagaan yang
mendasari motivasi partisipasinya. Sikap partisipasi para elit aktor gerakan bukan sebagai konsekuensi dari motivasi mereka untuk mencapai tujuan strategis,
melainkan menjadi sebab yang mendasari motivasinya ekonomi dan politik yang sesaat itu. Disinilah letaknya mengapa tujuan strategis gerakan petani
menjadi semakin jauh jaraknya dengan tujuan intrumental praktis. Akar gerakan petani komunitas petani basis semakin tercerabut dari batang tubuhnya
organisasi tani. Suatu hal yang logis ketika tujuan instrumental gerakan yang semakin dibuat berjarak dengan tujuan strategisnya akan berdampak pada
luruhnya soliditas perjuangan petani.
6.5. Decoupling Antara Persoalan Substantif Petani Dengan Kepentingan Para Elit Aktor Gerakan
Beberapa studi menggunakan konsep decoupling untuk tujuan analisis, yang secara umum menunjuk pada sesuatu yang tadinya sebagai satu kesatuan
kemudian terpisah atau terputus dan masing-masing berjalan sendiri-sendiri.
256
Dalam penelitiannya tentang formasi dan struktur gerakan sosial petani di Kalibakar Malang Selatan, Wahyudi menghubungkan antara tipe aktor dan orientasinya. Aktor idealis adalah para pemimpin gerakan
petani, LSM, dan mahasiswa aktivis. Orientasi utamanya adalah penerapan program land reform norm oriented dengan capaian langsungnya adalah tersosialisasikannya ide land reform sebagai sesuatu yang
bisa dilaksanakan Uraian lebih rinci lihat Wahyudi. 2005. Op. Cit., hal. 198.
140
Goodman dan Jinks 2004 sesuai konteks kajiannya mengartikannya sebagai “keterputusan antara tujuan resmi dan struktur formal dengan tuntutan
fungsional”.
257
Chen 1995 memaknainya sebagai “keterpisahan fungsi”.
258
Demikian juga Weick 1976 memaknainya sebagai “keterputusan hubungan antara kebijakan dan hasil substantifnya, antara kebijakan dan prakteknya di
lapangan”.
259
Mengacu pada makna substantif di atas, dimaksud dengan “decoupling” dalam studi ini adalah terjadi suatu pemisahan antara persoalan substantif petani
material dan postmaterial dengan kepentingan para elit aktor gerakan petani. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa secara faktual terjadinya
gerakan petani pada tataran sosio-politik merupakan hasil kerja bersama antara elemen petani dan non petani. Akumulasi sumberdaya di antara keduanya
memang memiliki latar historis yang berbeda. Seperti akumulasi sumberdaya non petani yang terdiri atas kaum intelektual dan kelas menengah kota berangkat
dari gerakan politik secara umum untuk meruntuhkan kekuatan rezim Orde Baru. Sedangkan akumulasi sumberdaya petani secara khusus berbasis pada
intensitas dan akumulasi persoalan pertanahan. Kedua elemen sumberdaya tersebut bersatu membangun kekuatan gerakan dan bersinergi melakukan aksi-
aksi kolektif dalam gerakan petani. Dalam perkembanganya pasca aksi-aksi reklaiming terjadi pemisahan di
dalam dan antar kedua elemen tersebut. Masing-masing kelompok aktor gerakan yang tadinya bersinergi secara solid, kemudian bersaing untuk saling mengontrol
organisasi gerakan petani, dan akhirnya masing-masing terpisah, saling bergerak menjauh dan bekerja sendiri-sendiri. Kondisi tersebut melemahkan pencapaian
tujuan substantif petani sesuai dengan klaim-klaim yang diperjuangkan semula, baik dalam mencapai tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. IJ, seorang
mantan pengurus inti DRL mengatakan:
Menurut saya, gerakan petani sekarang ini sudah lemah tidak mampu bergerak dan sulit untuk digerakkan lagi sekompak dan sekuat seperti dulu. Selain
momentumnya sudah berlalu, kawan-kawan penggerak dulu juga sudah larut dalam kesibukannya sendiri, sedangkan para petani sekarang sudah banyak yang
menjadi ‘borjuis kecil’.
257
Ryan Goodman dan Derek Jinks menyatakan bahwa: “…“decoupling” within states: official purposes and formal structure are disconnected from functional demands”. Ryan Goodman dan Derek Jinks 2004. How to
Influence States: Socialization and International Human Rights Law. Duke Law Journal, Vol 54 December 2004 No.3., hal. 649.
258
Jin Chen. 1995. Get Green or Get Out: Decoupling Environmental From Economic Objectives in Agricultural Regulation. The Nasional Agricultural Law Center: University of Arkansas School of Law
NatAgLawuark.edu ., atau
www.NationalAgLawCenter.org ., hal. 340.
259
Karl E. Weick. 1976. “Educational Organizations as Loosely Coupled Systems.” Administrative Science Quarterly, 21:1-19.
141
Dalam pertemuan antar para pimpinan petani di Cipadang, Way Lima tanggal 11 Agustus 2008 juga terungkap bahwa telah terjadi transaksi politik
antara petani dengan para aktor non petani. Dua pimpinan dari wilayah komunitas petani basis yang berbeda menyatakan bahwa mereka akan dijamin
tetap aman lahannya tidak diganggu jika mau mendukung salah satu calon Gubernur dalam pemilihan bulan September 2008.
Kemudian, dilihat dari perkembangan gerak langkah beberapa organisasi gerakan agraria di Lamung pada umumnya dan organisasi gerakan petani pada
khususnya, terdapat kesamaan pandangan bahwa strategi aksi langsung unjuk rasa dan aksi reklaiming sudah kurang diperhatikan. Meskipun berada pada
derajat yang beragam, mereka mulai berupaya untuk merespon perkembangan peluang politik institusional. Upaya ini mereka anggap sebagai strategi baru
gerakan agraria, sesuai dengan berkembangnya iklim demokratisasi. Pertama, ada yang masih berada pada taraf wacana politik organisasi, meskipun secara
individual atau kelompok aktor sudah mulai melakukannya, seperti IPL dan Mirak Nadai. Kedua, ada yang sudah menjadi program organisasi dan mekanismenya
sudah diatur dalam ADART, seperti SPI-Lampung. Ketiga, ada yang sudah menjadi program organisasi dan sudah mulai melakukannya, seperti DRL, Walhi
dan Kawan Tani Lampung. Hanya saja, antar kelompok elit aktor gerakan agraria tersebut masih belum
mampu membangun satu visi, misi, tujuan dan program bersama common platform. Masing-masing bergerak terpisah dan saling memisahkan diri serta
berkutat pada aktivitasnya sendiri. Perbedaan strategi dan orientasi dukungan politik institusional dalam merespon peluang politik lokal tidak berbasis pada
komitmen bersama, tetapi lebih pada kepentingan individu dan kelompoknya. Misalnya, kelompok aktor yang satu secara politik mengarahkan dukungannya
pada calon tertentu bersaing dengan kelompok aktor lain yang mengarahkan dukungannya pada calon yang berbeda. Persaingan terhadap dukungan politik
tersebut berjalan seiring dengan adanya penurunan derajat komunikasi dan rentan mengganggu ikatan solidaritas antar komonitas petani basis yang sudah
terbangun kuat sebelumnya. Peluang politik tingkat lokal desa juga direspon oleh para elit aktor gerakan. Mereka menampilkan calonnya masing-masing
merebut jabatan Kepala Desa. Disatu sisi, cara itu mereka dianggap sebagai strategi gerakan agar dapat mengontrol kebijakan pemerintah desa dalam
mendukung tujuan perjuangan. Tetapi, pada sisi lain terjadi perenggangan ikatan
142
antar komunitas petani basis karena tidak didasari oleh sistem koordinasi yang terpusat pada organisasi gerakan petani.
Strategi dan orientasi politik lokal yang terpisah tersebut menunjukkan bahwa masing-masing masih tersekat “ego organisasi” termasuk ego ketokohan
dan ego kelompok sehingga di balik itu semua justru kepentingan para elitnya yang nampak lebih menonjol dibanding kepentingan perjuangan nasib petani.
Ada kecenderungan bahwa perubahan strategi dan orientasi gerakan yang ingin masuk dalam ruang politik institusional nampaknya lebih didasarkan pada isu
potensi sumberdaya mobilisasi daripada didasarkan pada komitmennya untuk mengatasi berbagai persoalan substantif yang dihadapi petani. Bapak SP,
seorang tokoh petani yang juga menjadi pengurus inti SPL mengatakan:
Kalau yang ada di daerah Lampung ini antar organisasi tani dari dulu sudah sibuk mengurusi kepentingannya masing-masing. Dulu pernah melakukan pertemuan
dan waktu itu ada seorang pejabat kabupaten juga. Saya tanya, apa tujuannya. Kalau hanya untuk kepentingan politik saya tidak mau. Akhirnya tidak ketemu dan
tidak ada kesepakatan. Jadi, dari dulu memang sudah ada upaya-upaya untuk menggiring ke arah politik. Mereka terjebak pada kepentingan ekonomi-politik. Ini
bukan kehendak dari para petaninya tetapi dari para aktivis itu.
Akibatnya tingkat kepercayaan trust konstituen terhadap keberadaan organisasi tani semakin menurun derajat legitimasi rendah. Sikap konstituen
petani basis terhadap peluang komunikasi dialogis dengan para elit organisasi guna mengembangkan organisasi gerakan menjadi semakin tertutup meskipun
tujuanya jelas untuk kemajuan petani. Kondisi tersebut terjadi berdasarkan pengalaman sebelumnya atas berbagai kesalahan konsekuensi yang dilakukan
oleh para elit gerakan, terutama akibat pengaruh dari perilaku aktor non petani. Pencapaian makna substantif agraria sesuai dengan kepentingan petani justru
semakin dimanipulasi sejalan dengan perkembangan peluang-peluang politik dan ekonomi dalam dinamika politik lokal. Oleh karena itu, seperti yang terjadi dalam
tubuh IPL, cacat perilaku elitis di dalam perkembangan organisasi tani bukan hanya menurunkan kepercayaan trust petani basis tetapi juga menjauhkan
solidaritas perjuangan di antara mereka dalam kelanjutan gerakan petani. Cacat masing-masing elit aktor bukan menjadi pelajaran tetapi justru dikhawatirkan
akan menjadi “kartu kunci” untuk saling menjatuhkan.
6.6. Stagnasi Gerakan Petani