Konflik dan Perpecahan: Kasus Gerakan Konstruksi dari Bawah

128 setelah lahan dikuasai yang “berkuasa” merasa lebih berjasa dan mendapat bagian paling banyak. Sedangkan yang lemah hanya mendapatkan bagian sisanya, bahkan ada yang tidak mendapatkan bagian. 2. Banyak pihak luar non petani yang tidak ikut berjuang tetapi mendapat bagian. Atau beralihnya lahan kepada orang-orang yang tidak ikut berjuang. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menguasai lahan yang luas. 3. Seperti di Desa Karang Rejo Register 40 Gedung Wani terjadi kekacauan dalam pembagian lahan, yakni dari ketiga Posko Induk I,II dan III rata-rata terdapat tingkat kekacauan mencapai 70 . MZ, seorang pengurus inti IPL merasa sangat prihatin terhadap kondisi tersebut dan mengatakan: Masa lebih mudah mendapatkan lahan daripada mempertahankanya. Kalau terjadi konflik antar warga, justru merupakan peluang bagus bagi pemerintah sebagai alasan untuk mengambil kembali lahan tersebut. Lama-kelamaan bosan juga pihak Kehutanan untuk selalu mengincarnya jika tidak ada konflik tanah antar warga masyarakat. Tetapi jika terjadi sebaliknya menjadi kesempatan baik bagi pihak Kehutanan. Jika semua warga tetap baik dan kompak, ada payung organisasinya yang kuat, maka tidak mudah digoyahkan oleh pihak lain. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa antar warga terdapat konflik terpendam latent terutama terkait dengan persoalan pertanahan dan sewaktu- waktu dapat mencuat menjadi konflik terbuka. Organisasi gerakan petani yang tadinya diandalkan dapat menyelesaikan persoalan penguasaan tanah justru kondisinya semakin melemah.

6.4. Deformasi Struktur Gerakan Petani

Dalam perkembangannya, terutama pasca aksi reklaiming, struktur gerakan petani yang tadinya begitu kuat kemudian mengalami deformasi, yakni terjadi perubahan struktur baru yang tidak mengarah pada penguatan formasi gerakan yang ada tetapi justru terjadi konflik internal, antar elemennya struktur terjadi pembelahan dan akhirnya terjadi perpecahan dan bercerai-berainya organisasi basis. Antar kelompok aktor pendukung saling berebut petani basis dan masing- masing ingin menguasai organisasi gerakan petani. Posisi organisasi gerakan petani berada dalam kondisi kritis sebagai ajang pertarungan kepentingan yang mengarah pada terjadinya komodifikasi sumberdaya manusia human assets.

6.4.1. Konflik dan Perpecahan: Kasus Gerakan Konstruksi dari Bawah

Konflik dan perpecahan dalam organisasi gerakan lebih disebabkan oleh kesalahan konsekuensi tindakan para elit aktor non petani. Seperti konflik di DTL 129 sebenarnya sudah muncul sebelum dilakukan konggres dan mencuat ke permukaan dalam konggres pada tanggal 14-17 Mei 1999 di dusun Cipadang, desa Way Lima, kecamatan Gedung Tataan, kabupaten Lampung Selatan. Konflik bermula ketika dilakukan pembahasan tentang rancangan ADART. Ada dua rancangan ADART yang masing-masing dibawa oleh Ketua dan Sekjen. Perbedaan mendasarnya terkakit dengan garis perjuangan. Bermula dari situ kedua kelompok tersebut bersitegang ingin mengegulkan rancangannya masing- masing. Perseteruan ini berkembang hingga pasca konggres, sehingga terjadi perpecahan menjadi dua kubu, yakni kubu Ketua dan Sekjen. Di belakang Ketua adalah kelompok garis partai, yakni PRD. Tokoh inti PRD juga berada pada posisi inti DRL, sedangkan DTL berada di dalam struktur menjadi elemen DRL. Mereka ingin segera menguasai DTL yang memiliki massa petani. Tetapi cara-cara yang dilakukan kurang fleksibel, cenderung memaksakan agar berada dalam barisan PRD menyongsong Pemilu 1999. NS, yang secara de jure masih menjabat sebagai pengurus inti DTL mengatakan: Tujuan Konggres itu tidak lain akan mendongkel saya dalam posisi sebagai Ketua DTL. Karena saya kan keras orangnya dan saya nggak mau ada kepentingan di dalam konggres itu. Jadi mereka berupaya untuk menggantikan posisi saya sebagai Koordinator Presidium. Sebelum Konggres sudah dibuat draf ADART oleh Tim DTL yang akan dibahas dalam konggres. Tetapi anehnya kok Sekjen juga punya membuat draf sendiri, sehingga masing-masing dibawa. Dia membawa draf ADART itu pada saat rapat dengan kapasitas dia sebagai Sekjen. Sedangkan di belakang Sekjen adalah kelompok LSM yang berada pada garis netral dan independen, tidak berpihak kemana-mana termasuk kepada organisasi politik manapun dan organisasi lain apapun. PS yang sampai saat ini mesih menjadi pengurus inti IPL mengatakan: Cuma ya itu tadi, di konggres itu juga terjadi perpecahan. Terutama dalam pembahasan rancangan ADART terjadi perdebatan yang menegangkan. Sedangkan yang ada dibelakang Ketua DTL dari PRD”. Akhirnya peserta konggres banyak yang menyetujui rancangan dari Sekjen yang berpandangan netral. Kata Sekjen DTL: ” Baiklah kalau mau kerjasama, mau aliansi apa saja silahkan asal tidak mengikat”. Bahkan saat itu di luar forum konggres terjadi keributan tapi bukan dari petani. Keributan itu dilakukan oleh pihak lain yang mendukung Ketua dan Sekjen DTL itu. Dari penjelasan tersebut di atas diketahui bahwa sebenarnya yang bekerja secara aktif dalam mempengaruhi organisasi gerakan petani adalah kelompok aktor non petani. Mereka ada di belakang Ketua dan Sekjen DTL dan masing- masing berhasil mengarahkannya. Ketua DTL sendiri meskipun di belakangnya adalah PRD, tetapi dia tidak sejalan dengan garis perjuangannya. Akhirnya, posisinya menjadi terjepit dijauhi baik oleh kelompok PRD maupun LSM. Ketua DTL mengatakan: 130 Jadi dalam konggres DTL itu dibelakang Sekjen adalah dari LSM. Ketika itu saya bilang: ”Yang di dalam ini hanya dewan tani dan selain dewan tani harus keluar”. Karena saya sebagai pimpinan sidang, dan dengan berat hati mereka akhirnya keluar. Mereka kemudian berupaya bagaimana caranya agar saya harus diganti karena dianggap tidak bisa diarahkan, sehingga terjadi cek-cok di luar. Maunya mereka kan aksi-aksi. Kalau menurut saya tidak begitu, karena petani itu tidak bisa dibuat begitu dan pikiranya belum sampai kesana. Mereka belum tahu ideologi itu apa karena kesadaranya baru pada masalah kepentingan ekonomi. Nanti dulu, penuhi dulu kepentingan mereka dan selesaikan dulu masalah mereka, dan kemudian kesadaran mereka kita bangun, itu mau saya. Tetapi mereka tidak mau dengan cara itu, dan beranggapan bahwa tidak akan selesai kalau kita tidak aksi. Akhirnya dari situ hancurlah pergerakan petani di Lampung ini. Sikap netral ketua DTL dibuktikan dengan dikeluarkannya Surat Edaran DTL tanggal 20 Mei 1999 tentang independensi DTL, sebagai berikut: Sebenarnya di dalam tubuh PRD juga terjadi perpecahan. Mereka juga berusaha menguasai DRL dan DTL untuk tujuan politik praktis. Mereka adalah kelompok Poros Indonesia atau embrio Partai Nasional Banteng Keadilan PNBK. Mereka termasuk pemrakarsa dilakukannya Sidang Tinggi DRL dan melikuidasi DTL. Hasilnya DRL dapat dikuasai dan dilakukan restrukturisasi organisasi, serta mengeluarkan DTL dari elemen DRL. Konsekuensinya semua posko basis kembali menjadi di bawah koordinasi DRL. AR, seorang mantan Sekjen DRL mengatakan: DTL sebenarnya pada bulan Maret 1999 sudah tidak ada, tidak lama berjalan. Salah satu basis DRL adalah para petani yang diwadahi DTL. Dulu kita berupaya untuk kompak agar koalisi dalam tubuh DRL menjadi besar. Banyak organisasi yang mendukung, meskipun kita-kita juga yang ikut membuat. Hanya saja ”strategi dan taktiknya” yang tidak bisa ketemu. ada perbedaan prinsip mengenai garis perjuangan. Artinya, kita-kita tidak setuju jika DTL sebagai elemen DRL di PRD- kan. Termasuk harus legal sebelum pemilu 1999, karena pertentangannya cukup kuat waktu itu. Ketua DTL waktu itu ikut aksi bahkan mendeklarasikan PRD menjadi Partai Politik. Semua itu ditariknya sesuai dengan situasi politik nasional juga. Tahun 1999 kita punya posko sebanyak 196 tempat. Makanya Budiman Sujatmiko Ketua PRD yang waktu itu berangkat dari Lampung, bukan dari Yogya. Itulah yang kita persoalkan, sebenarnya mereka tetap jalan tapi tidak punya basis massa petani. Mereka tetap pakai DTL, tetapi kita tetap tidak mengakui bahwa mereka bagian dari DRL. Pasca likuidasi maka DTL menjadi stagnan dan mati suri. Ketuanya diisolir ditekan agar tidak dapat leluasa berada di ruang publik. Tekanan dan Sikap Independensi DTL Setelah Konggres Mensikapi perkembangan politik dewasa ini dan posisi anggota adalah petani, maka sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Dewan Tani Lampung perlu terus menjaga sifatnya yang independen terhadap seluruh organisasi politik yang ada. Untuk itu, Dewan Tani Lampung perlu menegaskan kembali bahwa untuk menjaga independensi organisasi – seluruh pengurus di lingkungan Dewan Tani Lampung tidak diperkenankan merangkap sebagai fungsionaris partai politik apapun. Sumber: Dokumen DTL, 1999. 131 penyingkiran tersebut antara lain dia dan beberapa organisasi tani basis pendukungnya tidak dilibatkan dalam pertemuan DRL pada tanggal 11 Agustus 1999, sehingga hampir terjadi bentrok fisik antara DRL dan LBH dengan para tokoh petani. Indikasi penyingkiran tersebut sudah diketahui sebelum dilakukan rapat DRL. Pada tanggal 7 Agustus 1999, ketua DTL mengeluarkan surat tentang Instruksi Rapat Koordinasi DTL bersifat rahasia dan tidak melibatkan Sekjen DTL yang ditujukan kepada Koordinator dan Sekretaris Posko yang masih mendukungnya. Rapat dilakukan pada hari Selasa, 10 Agustus 1999 untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dilakukan dalam rapat DRL tersebut. Sehubungan dengan akan adanya Rapat DRL yang tidak sah, dimana DTL dan seluruh Posko di bawahnya diundang untuk hadir dengan diskriminasi – ada posko yang tidak diundang pada hari Rabu-Kamis, tanggal 11-12 Agustus 1999 di LBH Bandar Lampung, maka ketua DTL menginstruksikan seluruh Koordinator dan Sekretaris Posko Induk dan Posko Desa atau diwakilkan oleh 2 orang dengan membawa mandat posko menghadiri Rapat DRL tanggal 11-12 Agustus 1999, yang ditandatangani dan disahkan oleh Ketua dan Sekretaris Posko harus hadir pada acara Rapat DTL yang diselenggarakan pada hari Selasa, 10 Agustus 1999.” Sumber: Dokumen DTL, 1999. Dalam rapat DTL tersebut para peserta diharapkan membawa stempel posko dan bekal selama tiga hari di Bandar Lampung. Dalam surat instruksi tersebut juga dinyatakan: Mengingat rapat korodinasi DTL kali ini sangat penting dan tertutup bagi posko yang tidak mengakui kepemimpinan Sekjen DRL lama, maka rapat ini kami nyatakan rahasia dari posko yang pro DRL rekayasa.” Sumber: Dokumen DTL, 1999. Pada pihak lain, para pengurus inti DTL berketetapan bahwa DTL masih ada dapat berjalan sendiri meskipun sudah dikeluarkan dari DRL dan tidak berhubungan lagi dengan LBH Bandar Lampung. Lebih lanjut Ketua DTL mengatakan: DTL itu secara de facto memang sudah bubar, tetapi secara de jure tidak, dan saya hingga saat ini tetap masih ketuanya. Semua pergerakan di Lampung adalah dari aktivitas kerja Dewan Tani, kecuali yang ada di bawah Serikat Petani Lampung SPL. Dimana ada pergerakan petani di wilayah lain, maka masyarakat Dwikora ikut aktif mendukungnya baik secara moral maupun secara fisik ikut melakukan aksi di lapangan. Dalam perkembangannya dalam tubuh DRL terjadi perpecahan dan terjadi perbedaan sikap antara mereka yang pro dan yang kontra dengan kelompok Sekjen DTL. Dengan tidak aktifnya DTL maka perebutan basis petani hanya terjadi antara DRL dan kelompok Sekjen DTL. Kelompok Sekjen DTL termasuk yang menganggap DTL masih tetap ada, meskipun langkahnya juga sudah tidak sejalan dengan Ketua DTL. Ini berkaitan dengan persoalan bagaimana agar DTL 132 bisa tetap mempertahankan posko-posko basis dan dikemudian hari menjadi aset yang dapat di gunakan untuk mendukung berdirinya organisasi gerakan petani baru. PS sebagai pengurus inti IPL mengatakan: Kalau setelah terbentuknya IPL, kita ini kan organisasi petani dan masyarakat petani merupakan basis kita. Justru nggak lucu kalau IPL itu tidak mempunyai basis petani. Sedangkan DRL dilihat dari sejarahnya, basisnya adalah berbagai elemen organisasi dan bukan langsung pada petaninya. Misalnya dari buruh bukan masuk ke buruhnya, tapi organisasi buruh itulah yang menjadi anggota DRL. Jadi dalam tataran organisasi DRL itu bukan langsung mengklaim bisa masuk ke basis- basisnya. Sedangkan IPL sampai sekarang tidak berhubungan dengan DRL dan juga belum tahu apa visi dan misinya sehingga perlu masuk menjadi anggota DRL, tapi kayaknya tidak perlu. Semakin lemahnya DTL pada sisi lain merupakan peluang tersendiri bagi kelompok Sekjen DTL sebagai alasan untuk mendirikan organisasi sendiri. Pada tanggal 2-4 Juli 2001 berhasil diselenggarakan konggres IPL yang lepas dari elemen DRL. Dalam IPL tersebut Sekjen DTL dibantu LBH Bandar Lampung 254 berhasil menduduki jabatan sebagai Ketua. Kepentingan politis kelompok Sekjen DTL mendirikan organisasi baru dengan tetap mempertahankan organisasi petani basis yang tadinya menjadi anggota DTL, tersirat dari pernyataan salah seorang pengurus inti IPL. SL, sebagai pengurus inti IPL mengatakan: Terbentuknya IPL itu bukan merupakan organisasi baru, tetapi tetap DTL yang hanya diubah namanya menjadi Ikatan Petani Lampung. Belakangan, massa inti basis petani ini menjadi ajang rebutan lebih lanjut antara IPL dengan DRL, serta dengan para aktivis lainnya yang membentuk LSM baru seperti Redec, Ragom dan Pramukti. 255

6.4.2. Berebut Sumberdaya Mobilisasi