100
perjuangan petani tetap penting, tetapi dengan pendekatan terbuka seperti itu berkosekuensi pada terbuka peluang pihak luar untuk ikut mencapai
kepentinganya, bahkan termasuk di dalamnya para penunggang bebas free- riders. Selain itu, dalam gerakan tersebut aksi-aksi kolektif petani sering kurang
dapat dikontrol antara lain karena cara pengorganisasian yang masih sederhana. Beragamnya latar belakang partisipan membuat strategi gerakan berbasis
otoritas tradisional menjadi semakin kurang efektif.
5.4. Berkembangnya Sub Kultur Oposisi Petani
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa upaya petani dalam mengelola beragam struktur mobilisasi sumberdaya telah menghasilkan strategi aksi-aksi
kolektif institusional dan non institusional. Tetapi semua upaya yang dilakukan tetap tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan pertanahan yang mereka
hadapi. Pada masa rezim Orde Baru kontrol politik negara sangat kuat dan menutup rapat upaya petani untuk memperjuangkan haknya atas tanah.
Dari banyak kasus kegagalan aksi-aksi kolektif petani dapat disimpulkan bahwa sejauh berbagai upaya kolektif petani masih bersifat lokalistik, terpisah-
pisah dan tidak mendapat dukungan kuat dari pihak lain non petani maka tidak akan berhasil. Kesimpulan ini didasarkan pada fakta bahwa sistem agraria
dominan terintegrasi secara nasional dan sikap politik negara tetap konsisten diarahkan pada arus utama modernisasi pembangunan. Otoriterianisme tetap
berlaku untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, sedangkan petani harus membatasi hak-hak demokrasinya agar memberi ketenangan politik
bagi pertumbuhan ekonomi.
245
Pada sisi lain, petani tetap pada pendiriannya terus berjuang memperoleh hak kuasa atas tanah. Keteguhan pendirian petani
tersebut telah melahirkan suatu konsepsi yang disebut “sub kultur oposisi petani”. Konsep “sub kultur” dapat dimaknai sebagai seperangkat perilaku dan
kepercayaan sekelompok orang yang berbeda dan yang membedakan mereka dari kultur dominan di mana mereka menjadi bagiannya. Sedangkn konsep
“oposisi” menunjuk pada pandangan, sikap dan perilaku yang bertentangan dengan pihak lain yang dianggap sebagai lawan. Jadi “sub kultur oposisi petani”
diartikan sebagai realitas sosio-kultural melawan dominasi yang direproduksi secara aktif dalam struktur schemata petani, di dalam ruang-ruang interaksi dan
berkembang selama persoalan pertanahan struktural berlangsung. Sub kultur
245
Ignas Kleden. 2004. Op.Cit., hal. 32
101
oposisi petani lebih dinamis dibanding kultur dominan, tetapi sifatnya kurang cair fluid dibanding frame kolektif. Di dalam sub kultur oposisi petani selain terdapat
akumulasi ketidakpuasan juga terdapat penguatan kesadaran konfliktual sejalan dengan kegagalan atas perjuangan yang pernah ditempuh.
Terbentuknya sub kultur oposisi petani mambuka ruang bagi meningkatnya situasi hubungan agraria konfliktual yang berkembang di kalangan petani. Di
dalam situasi hubungan tersebut sudah ada kesadaran oposisional tetapi masih berada pada derajat kesadaran konfliktual belum sampai pada kesadaran politik.
Dimaksud kesadaran oposisional oppositional consciousness menurut Aldon D.
Morris 1992 adalah menunjuk pada seperangkat ide-ide dan kepercayaan “memberontak” yang dikonstruksi dan dikembangkan oleh kelompok tertekan
dengan tujuan mengarahkan perjuangannya untuk merusak atau meruntuhkan, mereforma atau menggulingkan suatu sistem dominasi
.
246
Secara sederhana kesadaran oposisional tersebut terungkap dalam penuturan bapak MZ, seorang
tokoh gerakan petani di Register 37 dan 40 sebagai berikut:
Disini tahun 1960-an banyak penduduk yang memiliki surat ijin pembukaan lahan. Tahun 1992 kontrak perusahaan sudah habis, maka penduduk kembali menggarap
lahannya. Para orang tua menyuruh anak-anaknya untuk masuk ke wilayah perusahaan menggarap tanahnya kembali. Pada tahun 1997, para penggarap
ditangkap dan digiring oleh TNI ke rumah kepala desa. Tanaman digusur dan orang-orang yang ditangkap disuruh menanda tangani surat pertanyaan bermeterai
dan kemudian dilepaskan. Setelah itu kami pikir-pikir bahwa sebenarnya kita ini hanya melawan satu orang yaitu manager perusahaan. Maka orang ini harus
dihantam, disingkirkan maka semuanya akan selesai. Kemudian muncul gagasan: ”Sekarang begini saja, kita kompak kalau mau menggarap lahan satu hektar ya
digarap sama-sama, begitu seterusnya ketika kita beralih ke tempat lain” Sumber: wawancara dengan tokoh petani di desa Sukadamai, 2008.
Sub kultur oposisi petani berkembang sejalan dengan berkembangnya situasi hubungan konfliktual dan tekanan struktural. Situasi ini mendorong rasa
“frustasi aktif” ketidakpuasan dan meningkatkan ketegangan struktural. Rasa ketidakpuasan tersebut sempat dimunculkan dalam beberapa kasus tindakan
kolektif secara spontan, gerakan konsensus hingga gerakan lokal-tradisional. Kontinuitas dalam tahapan tindakan kolektif petani tersebut tidak
sepenuhnya didasarkan pada deprivasi absolut obyektif, tetapi juga secara bersama-sama oleh faktor deprivasi relatif subyektif dan faktor lainnya. Tidak
semua partisipan dalam aksi kolektif adalah miskin dan tidak memiliki lahan pertanian.
Akan tetapi, realitas tersebut merupakan pertanda bahwa sistem hubungan agraria dominan tidak lagi kebal immune dan bahkan dapat
246
Aldon D. Morris and Carrol McClurg Mucller Ed’s.. 1992. Op.cit. hal. 363.
102
mendorong berkembangnya perilaku oposisi petani. Kesadaran konfliktual petani tumbuh sejalan dengan berkembangnya sub-kultur alternatif dengan segenap
unsur-unsurnya yang terwujud dalam sub kultur oposisi petani. Ini dapat menjadi suatu “tool kit” yang sangat berguna untuk mengkonstruksi tindakan-tindakan
strategis dalam perjuangan selanjutnya.
5.5. Ikhtisar