170
sebagai lembaga perantara antara masyarakat petani dengan negara dan swasta maupun dengan segenap lembaga pendukung baik dalam konteks jejaring
networks maupun koalisi, semakin menurun. Fenomena tersebut semakin kuat mengindikasikan bahwa mulai terjadi penguatan tekanan sosio-kultural eksternal
terhadap kemungkinan dapat dilakukan penguatan kembali struktur gerakan agraria, meskipun tampak dipermukaan di mana arah aktivitas gerakan masih
dapat dikontrol oleh para elit aktornya. Bahkan ketika fungsi organisasional diarahkan sebagai suatu komoditas
politik dan ekonomi yang menjadi tujuan praktis para elit aktor, maka sebenarnya telah terjadi suatu “proses pembiasan” antara kepentingan organisasi gerakan
dengan kepentingan individu atau kelompok aktor. Arah perubahan orientasi gerakan ini berkaitan dengan perubahan perilaku organisasional diarahkan oleh
para elit aktornya yang cenderung menjadi lebih moderat, bersifat karikatif bahkan pragmatis. Pada sisi lain, seperti IPL dan Mirak Nadai mengalami
eksklusifisme ditandai dengan berubahnya konsentrasi tindakan elit aktor yang mengarah pada bentuk oligarkhi konsentrasi kekuasaan di tangan para elit
minoritas. Kondisi ini dengan sengaja dilanggengkan dengan tidak dilakukan konggres, yang berarti tidak terjadi proses kaderisasi. Persoalan agraria di
tingkat basis terkait dengan pembagian lahan hasil aksi kolektif juga semakin rumit, yakni distribusinya masih belum beres, banyak dikuasai free rider, dan
belum jelas statusnya.
7.6. Arah Perkembangan Gerakan Agraria
Gerakan petani merupakan bagian dari gerakan agraria karena mengusung isu reforma agraria dari bawah agrarian reform by laverage. Peran utama
elemen non petani dalam gerakan petani di Lampung memperkuat suatu tesis bahwa secara historis sesuai dengan karakteristiknya yang khas komunitas
petani lokal lebih bersifat konservatif.
280
Para petani cenderung adaptif terhadap kondisi lingkunganya dan tidak akan bergerak secara terorganisir meskipun
peluang politik telah terbuka jika tidak ada yang menggerakannya. Petani lebih kuat digerakkan oleh mitos yang menyediakan sebuah visi bersama, tetapi
mereka belum mampu mengorganisir diri sendiri.
281
Peran utama elemen non petani tersebut juga akan tampak kemana gerakan agraria akan diarahkan.
280
Ecksten. 1989. Op.Cit., hal. 13.
281
Sztompka. 2004. Op.Cit., hal. 349.
171
Hasil penelitian di Lampung membuktikan bahwa stagnasi gerakan agraria yang direpresentasikan oleh peran organisasi gerakan petani lebih diwarnai oleh
berbagai kesalahan konsekuensi tindakan beberapa kelompok aktor non petani. Mereka saling berebut sumberdaya mobilisasi organisasi gerakan petani dan
komunitas petani basis dengan berusaha melembagakan garis perjuangan masing-masing dan saling memanfaatkan sumberdaya gerakan tersebut untuk
mencapai kepentingan praktisnya Tabel 13. Disorientasi tindakan tersebut menyebabkan stagnasi peran organisasi gerakan petani sebagai wadah
perjuangan substantf petani. Oleh karena itu, kekuatan struktur sumberdaya gerakan sebenarnya lebih disebabkan oleh adanya momentum, seperti peluang
krisis politik negara, luapan ketidakpuasan petani, dan semangat perjuangan yang membara. Momentum gerakan ini tidak berbasis pada common plafform
perjuangan dan kesiapan sumberdaya manusia yang memadai. Isu gerakan yang semakin mengarah pada lawan yang abstrak neo-kolonialisme,
imperialisme dan neo-liberalisme juga semakin membuat para aktor gerakan samar melihat kedalaman intervensi pihak lain yang sebenarnya juga ikut ambil
bagian dalam menyeret ke erah yang mungkin dapat melemahkan posisi gerakan agraria itu sendiri.
Secara historis kekuatan politik-ekonomi pada tataran makro struktural menentukan strukturasi gerakan agraria, sampai pada kondisinya yang stagnan.
Beberapa studi di Amerika Latin, Afrika, Asia Tenggara, termasuk Indonesia terkait dengan perubahan struktural agraria di aras lokal akibat desakan
kepentingan supra lokal.
282
Bahkan akibat pengaruh kapitalisme global neo- liberalisme yang berlangsung sampai saat ini.
283
Sehingga gerakan agraria semakin kuat berhadapan dengan kendala makro struktural yang pada akhirnya
mampu menghambat atau melemahkan gerakan transformasi struktural agraria. Hasil penelitian di Lampung menemukan bahwa ketidakmampuan dalam
menghadapi setiap kendala yang hadir membuat gerakan agraria mengalami krisis kredibilitas, krisis legitimasi, diskontinuitas, destrukturasi internal dan
eksternal, dan deinstitusionalisasi. Organisasi gerakan petani tetap tidak memiliki corak genuin lagi sebagai katalis gerakan agraria seperti dalam perjuangan pada
awal-awal reformasi. Posisinya semakin dekat dengan alam konservatif, semakin tertutup mengarah pada pendekatan berorientasi klien terutama komunitas
282
Scott, 1979, 1989, 2000. Op.cit.; Eric Wolf, 1969; Samuel Popkin. 1979. Op.Cit.; R.H. Bates. 1981. Op.Cit.; Ghimire. 2001. Op.Cit.; Landsberger dan Alexandrov.1984. Op.Cit.
283
Andi Widjajanto, dkk. 2007. Op.Cit.
172
petani basis, kembali mengandalkan pendekatan institusional konsensus, dan mengalami krisis produksi isu substantif petani. Sementara itu program-program
perjuangan masih belum terlembagakan meskipun sering melakukan bargaining politik dalam dinamika politik lokal. Kondisi ini memperkuat kesimpulan bahwa
gerakan petani berada pada kondisi stagnan tetap, tidak berubah dan tidak mampu berperan dalam transformasi struktural agraria meskipun terjadi inovasi
cara-cara gerakan yang semakin berkualitas. Secara keseluruhan terjadi perkembangan yang relatif tetap dalam gerakan
agraria yang direpresentasikan oleh peran organisasi gerakan petani. Semakin diformalkan organisasi petani justru perannya sebagai organisasi gerakan
semakin menurun; semakin terdiferensiasi struktur internal justru semakin rentan terhadap konflik; dan akhirnya terjadi pemisahan dan fragmentasi yang sulit
disatukan kembali. Semua fenomena tersebut menunjukkan bahwa struktur sumberdaya gerakan cenderung mengarah pada kondisi disintegrasi. Kondisi
yang sama terjadi ketika dilihat dari aspek organisasionalnya, maka sebagian besar aspek organisasi gerakan petani cenderung berkembang negatif Tabel
12. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa gerakan agraria di Lampung berada pada kondisi “involusi”, atau “Involusi Gerakan Agraria”. Involusi tersebut
terjadi pada peran organisasi gerakan petani dalam transformasi struktural agraria. Involusi gerakan tersebut lebih disebabkan oleh disorientasi tindakan
para elit aktor, terutama non petani. Sebagaimana disajikan pada Tabel 14 tampak bahwa arah perkembangan
gerakan agraria yang direpresentasikan oleh peran organisasi gerakan petani DTL, IPL, SPLSPI-L, dan MN semakin kuat berada pada jalur involusi
dibanding berada pada jalur radikalisasi, institusionalisasi, dan komersialisasi. Indikasinya bahwa aktivitasnya semakin terfokus pada orientasi konstituen dan
masuk pada ruang konservatif mendukung sistem agraria yang mapan. Pada sisi lain, juga mulai diarahkan masuk pada pada jalur institusionalisasi. Perannya
menguat menjadi kelompok kepentingan dalam merespon dinamika politik lokal mengakses peluang politik institusional. Konsekuensinya adalah perkembangan
peran organisasi gerakan petani semakin lemah berada pada jalur radikalisasi, karena aksi-aksi kolektif countercultural sudah menurun. Akan tetapi, meskipun
posisinya kuat menjadi organisasi berorientasi konstituen, ketika muncul gangguan dari luar dalam derajat tertentu dapat memobilisir komunitas petani
basis untuk kembali melakukan aksi-aksi kolektif.
173
Tabel 14 Arah Perkembangan Organisasi Gerakan Petani DTL, IPL, SPLSPI-L, dan MN di Lampung
Aspek Orientasi Klien
Konstituen Orientasi Otoritas
Partisipasi Konstituensi
Langsung
• Kuat mengarah sebagai organisasi sukarela yang
berorientasi konstituen. • Sebagai organisasi
gerakan subkultural • Lemah sebagai gerakan sosio-politik.
• Lemah sebagai gerakan konterkultural yang berciri sebagai
gerakan radikal
Jalur involusi Jalur Radikalisasi
Partisipasi Konstituensi
Tidak Langsung
Belum mengarah menjadi organisasi layanan, sebagai
organisasi subkultural • Mulai merespon peluang politik
institusional dalam dinamika politik lokal dan nasional.
• Sebagai kelompok kepentingan atau gerakan instrumental dalam rangka
pelembagaan program-programnya
Jalur Komersialisasi Jalur Institusionalisasi
Sumber: Diadaptasi dari Doug McAdam, John D. McCarthy, Mayer N.Zald Editor’s. 1996. Op.Cit., hal. 152-157
174
BAB VIII NASIB PETANI DAN PENGUATAN STRUKTUR SUMBERDAYA