Pola Hubungan Kekuasaan Dalam Gerakan Agraria

164

7.3. Pola Hubungan Kekuasaan Dalam Gerakan Agraria

Strukturasi internal gerakan agraria tidak terlepas dari konsistensi perspektif dan keyakinan antar pihak-pihak yang terlibat dalam struktur makna kekuasaan dalam dinamika organisasi gerakan petani. Gangguan struktur gerakan muncul ketika makna kekuasaan tidak lagi berhimpitan dengan makna pembelaan dan pemberdayaan petani. Ini terjadi di dalam kompleksitas hubungan konfliktual antar kelompok aktor, yakni antar petani, antar non petani, dan antara petani dan non petani. 271 Hasil penelitian ditemukan bahwa praktik hubungan kekuasaan di antara pihak-pihak yang berperan aktif dalam penguatan struktur gerakan yang tadinya mengarah pada pola ”generative power” kemudian berubah mengarah pada pola ”distributive power”. Perubahan ini menunjukkan bahwa dalam proses penguatan struktur gerakan di mana masing-masing pihak memandang pihak lain sebagai elemen penting dalam suatu bangunan gerakan, kemudian berubah di mana masing-masing menganggap pihak lain sebagai lawan yang dapat menghambat pencapaian kepentinganya, harus ditundukkan atau disingkirkan. Mendominasi struktur gerakan merupakan cara utama agar pihak lain dapat mengikuti atau berjalan sesuai dengan kemauannya. Kekuasaan dalam struktur hubungan tersebut di atas dimaknai sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak pada pihak lain. Karena itu makna kekuasaan dalam perkembangan gerakan sejalan dengan konflik kepentingan, saling memaksakan garis perjuangan, dan benturan tujuan yang hendak dicapai. Kepentingan masing-masing pihak dibalut dengan ideologi yang berbeda secara diametral. Misalnya, hubungan antar kelompok LSM dan partai politik keduanya berbeda dalam garis perjuangan. Tetapi, orientasi tindakan keduanya adalah sama, yakni lebih berorientasi karikatif developmentalism daripada transformatif struktural agraria. Perbedaan garis perjuangan dalam gerakan agraria yang semakin dipertajam maka semakin menutup ruang untuk bermediasi, yakni mencari titik temu yang memperkuat kembali struktur gerakan yang sudah terbelah. Ini berarti bahwa warna hubungan kekuasaan cenderung bersifat ”zero-sum” atau saling bernegasi. Artinya, jika kelompok yang satu memiliki atau memperoleh tambahan 271 Contoh masing-masing adalah: 1 dalam kasus hubungan antar kelompok petani, misalnya antara kubu ketua dan kubu sekjen DTL; 2 dalam kasus hubungan antar kelompok non petani, seperti antara kelompok semi-legal dan pra-legal dalam garis perjuangan LSM dengan kelompok legal dalam garis perjuangan partai politik; 3 dalam kasus hubungan antara kelompok petani dan non petani, seperti kasus perombakan kepemimpinan dalam SPL, antara IPL dengan DRL. 165 kekuasaan terhadap sumberdaya mobilisasi berarti kelompok yang lain tidak memiliki atau kehilangan derajat kekuasaannya. Sehingga masing-masing pihak saling mencegah pihak lain dan tindakannya cenderung berjarak dengan upaya bermediasi karena berarti akan mengurangi derajat kekuasaan yang dimiliki. Misalnya, perebutan dominasi dalam struktur kekuasaan antar kelompok aktor pendukungnya menyebabkan DTL menjadi mati suri, kepemimpinan SPL sering jatuh bangun, sering terjadi konflik internal dan berakhir dengan fragmentasi DTL pecah menjadi IPL dan SPL pecah menjadi Mirak Nadai. Sifat ambivalensi peran elemen aktor non petani dalam gerakan agraria selain memperkuat juga melemahkannya ketika terjadi disorientasi tindakan. Pengaruh negatifnya adalah: 1 keputusan organisasi gerakan syarat campur tangan pihak lain tidak independen, 2 organisasi gerakan menjadi tidak bebas mengatur diri sendiri tidak otonom dan semakin berjarak dengan basisnya, dan 3 terjadi benturan kepentingan yang mengganggu stabilitas organisasi petani sebagai organisasi gerakan agraria. Kuatnya unsur bernegasi tersebut berakibat antar elemen struktural gerakan antar petani, antar non petani, dan antara petani dan non petani menjadi terpisah dan sulit disatukan kembali. Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa beragamnya organisasi gerakan petani yang berkembang di Lampung terutama bukan sebagai akibat dari keterbatasan jangkauan kontrol masing-masing tetapi lebih sebagai produk fragmentasi akibat konflik internal, yang pada tataran wilayah provinsi lebih diwarnai oleh tindakan-tindakan elemen aktor non petani daripada oleh elemen aktor petani sendiri. Oleh karena itu, selain masing-masing organisasi petani mengalami penurunan perannya sebagai organisasi gerakan agraria, interaksi di antara mereka juga tidak didasari oleh common platform dalam memperjuangkan kepentingan substantif petani.

7.4. Kuatnya Sistem Agraria Dominan