Aksi Protes Sulitnya Perjuangan Petani di Era Orde Baru

94 reaksi kolektif petani tetap muncul mulai dari protes, kemudian gerakan konsensus hingga berkembang menjadi gerakan lokal-tradisional. Dalam banyak kasus pertanahan di Lampung terdapat variasi penyebab langsung munculnya perjuangan kolektif petani terkait dengan perlakuan tidak fair oleh penguasa dan pengusaha yang menjadi sumber ketegangan struktural. Saling terkait antara deprivasi absolut dan relatif, ketidakadilan, dan pengaruh ideologi egalitarian dengan jelas secara bersama-sama menjadi landasan bagi munculnya protes-protes petani berkembang menjadi gerakan sosial. Deprivasi absolut dalam beberapa kasus sudah dapat menjadi sebab munculnya perilaku kolektif petani, seperti aksi protes petani karena terusir dari wilayahnya sehingga tidak memiliki lahan dan tempat tinggal. Tetapi, dalam beberapa kasus lain bahwa penurunan kondisi obyektif petani saja tidak cukup, perlu didukung meningkatnya deprivasi relatif subyektif. Secara akumulatif, meningkatnya deprivasi relatif didukung oleh meningkatnya rasa ketidakpuasan perlakuan tidak adil. Semuanya mendorong petani untuk meminta bantuan hukum atau bantuan mediasi kepada pihak lain non petani dalam penyelesaian persoalan pertanahan yang dialami. Tindakan kolektif petani secara institusional ini disebut gerakan konsensus karena dilakukan menurut tata aturan hukum yang mapan. Sejalan dengan semakin kuatnya arus masuknya ideologi egalitarian populis maka kondisi-kondisi di atas menjadi saling terkait dalam mendorong munculnya gerakan lokal-tradisional. Gerakan terakhir ini perlu dukungan lebih kuat dari kalangan non petani mahasiswa aktivis dan LSM dibanding aksi-aksi protes dan gerakan konsensus untuk menghadapi tindakan represif negara.

5.3.1. Aksi Protes

Protes merupakan perilaku kolektif petani yang paling dasar dalam gerakan sosial dan biasanya tidak berbentuk amorph. Aksi ini dilakukan oleh semua komunitas di wilayah konflik pertanahan dengan bentuk dan intensitasnya yang beragam. Ini lebih merupakan reaksi-reaksi emosional yang biasanya disertai dengan kekerasan dan amuk massa. Karena tindakannya bersifat emosional, spontan dan sporadis maka tidak terorganisir dengan baik. Berbagai upaya mereka lakukan seperti menyandera atau merusak peralatan, gedung, rumah, tanaman, jalan, dan sebagainya. Tindakan demikian biasanya dilakukan ada yang bermakna mempertahankan diri sebagai respon balik balas dendam dan ada yang bermakna perusakan atau penghancuran atau pemusnahan. 95 Protes merupakan tindakan primer yang lebih bersifat ekspresif daripada instrumental. Perilaku ini cenderung dilakukan untuk menumpahkan kemarahan, frustasi, atau emosi-emosi lainnya. 240 Perilaku tersebut mereka lakukan karena mendapat tekanan yang kuat dari aparat keamanan dan sumber kehidupannya kebutuhan dasar terancam secara mendadak. Seperti kasus yang terjadi di Tanjung Bintang berikut ini: Di wilayah tanjung Bintang, ancaman aparat keamanan yang disiapkan oleh PT. HIRMA ternyata bukan hanya gertakan saja. Dengan melihat lemahnya kekuatan komunitas setempat, maka program perusahaan dapat terus dilakukan. Seperti yang terjadi di desa Sumber Jaya, pada hari Jum’at tanggal 23 Juli 1976 tanaman masyarakat digusur habis tanpa ada pemberitahuan lebih dulu dan tidak ada ganti rugi apapun. Pada hari Senin tanggal 26 Juli 1976 pihak aparat melancarkan teror berupa ancaman kepada Kepala Kampung dan warga masyarakatnya bahwa me- reka akan membakar rumah dan akan menculiknya. Tindakan semena-mena dan semakin menjadi-jadi yang dilancarkan perusahaan melalui kaki tangan aparat keamanan inilah yang kemudian menyulut amarah dan perlawanan masyarakat. Dalam perlawanan tersebut terjadi jatuh korban meninggal dunia dan banyak menderita luka-luka. Akibat dari peristiwa tersebut banyak warga masyarakat yang ketakutan dan mengungsi. Kepala Kampung waktu itu juga mengungsi ke Tanjung Karang sesuai surat yang dibuatnya pada tanggal 1 Agustus 1976, dan baru kembali setelah diperintah oleh Camat berdasarkan Surat Camat Kepala Wilayah Kecamatan Kedaton Nomor 2971 Des1976 Sumber: Dokumen IPL dan hasil wawancara dengan bapak Kpl, seorang petani, 2008. Perilaku protes tersebut terjadi di banyak tempat ketika terjadi tindakan pembebasan dan mengambil-alihan lahan-lahan petani setempat. Tetapi karena perilaku tersebut sangat lemah atau hampir tidak terorganisir, dan belum mendapat dukungan kuat dari kalangan non petani, maka dengan mudah dapat dilemahkan, dipatahkan dan dilokalisir agar tidak meluas.

5.3.2. Gerakan Konsensus