127
2. Diduga ada konspirasi antara pemerintah daerah dengan para pengusaha yang ijin oprasinya belum selesai.
3. Adanya kepentingan pemerintah terhadap lahan yang telah dikuasai kembali oleh rakyat untuk perusahaan.
4. Adanya kesan keberadaan Tim 13 hanya sebagai peredam konflik pertanahan terhadap rakyat bawah, sehingga hasil rekomendasi itu sengaja
diisukan untuk segera diselesaikan, tetapi sebenarnya masuk ke ”tong” sampah atau masuk ke ”peti es”.
5. Adanya upaya untuk mengkondisikan status tanah di wilayah konflik terus diambangkan sehingga pada saatnya nanti akan dapat diambil kembali oleh
pemerintah dan atau dapat diberikan kembali kepada perusahaan. Berdasarkan berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa kebijakan yang
sudah dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah pada kenyataanya di lapangan di tingkat lokal belum sepenuhnya berhasil direalisasikan. Di lapangan masih
ada upaya tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, para pengusaha, dan petani. Kondisi ini di kemudian hari rentan terhadap konflik baik
horizontal maupun vertikal.
b. Hasil Pendudukan Lahan dan Persoalan Distribusinya
Keberhasilan penguasaan tanah secara sistematis oleh petani seluas puluhan ribu hektar termasuk juga di dalamnya yang gagal bertahan dikuasai
kembali oleh petani pasca aksi reklaiming. Keberhasilan aksi reklaiming tersebut bukan berarti persoalan tanah sudah selesai, tetapi masih rentan terhadap
tindakan balik oleh pihak lawan. Ini adalah persoalan klasik, tetapi tindakan balik tersebut mampu melemahkan kekuatan petani, seperti kasus reklaiming oleh
SPL di Trimodadi, Lampung Utara. Akibatnya, apa yang tadinya sudah disepakati menguntungkan bagi petani kemudian menjadi mentah kembali seperti kasus
reklaiming di Halangan Ratu, Lampung Selatan. Tindakan balik pihak luar ini merupakan ancaman eksternal yang setiap saat bisa muncul dan menghantui
ketenangan petani dalam menguasai lahan pertaniannya. Kendala internal juga semakin menguat dan mengaburkan tujuan gerakan.
Dalam banyak kasus setelah tanah berhasil dikuasai justru terbuka peluang muncul dan berkembangnya berbagai persoalan baru di tingkat komunitas lokal.
1. Terdapat ungkapan: “Asu gede menang kerahe” Anjing besar menang kelahinya. Ketika melakukan aksi semua ikut berjuang sama-sama. Tetapi
128
setelah lahan dikuasai yang “berkuasa” merasa lebih berjasa dan mendapat bagian paling banyak. Sedangkan yang lemah hanya mendapatkan bagian
sisanya, bahkan ada yang tidak mendapatkan bagian. 2. Banyak pihak luar non petani yang tidak ikut berjuang tetapi mendapat
bagian. Atau beralihnya lahan kepada orang-orang yang tidak ikut berjuang. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menguasai lahan yang luas.
3. Seperti di Desa Karang Rejo Register 40 Gedung Wani terjadi kekacauan dalam pembagian lahan, yakni dari ketiga Posko Induk I,II dan III rata-rata
terdapat tingkat kekacauan mencapai 70 . MZ, seorang pengurus inti IPL merasa sangat prihatin terhadap kondisi
tersebut dan mengatakan:
Masa lebih mudah mendapatkan lahan daripada mempertahankanya. Kalau terjadi konflik antar warga, justru merupakan peluang bagus bagi pemerintah sebagai
alasan untuk mengambil kembali lahan tersebut. Lama-kelamaan bosan juga pihak Kehutanan untuk selalu mengincarnya jika tidak ada konflik tanah antar warga
masyarakat. Tetapi jika terjadi sebaliknya menjadi kesempatan baik bagi pihak Kehutanan. Jika semua warga tetap baik dan kompak, ada payung organisasinya
yang kuat, maka tidak mudah digoyahkan oleh pihak lain.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa antar warga terdapat konflik terpendam latent terutama terkait dengan persoalan pertanahan dan sewaktu-
waktu dapat mencuat menjadi konflik terbuka. Organisasi gerakan petani yang tadinya diandalkan dapat menyelesaikan persoalan penguasaan tanah justru
kondisinya semakin melemah.
6.4. Deformasi Struktur Gerakan Petani