Petani Menggugat Latar Belakang 1. Nasib Petani Dalam Lilitan Persoalan Agraria

3

1.1.2. Petani Menggugat

Suatu hal yang wajar ketika petani terancam kelangsungan hidupnya dan diperlakukan tidak adil kemudian mereka berjuang menuntut haknya. Akan tetapi kekuatan perjuangan petani melalui wadah organisasi tani pada masa Orde Baru dikontrol ketat oleh negara. Kebijakan politik yang mengarah pada sentralisasi birokrasi terus dilakukan memperkuat ‘deideologisasi’ dan ‘depolitisasi’ dan ‘floating mass’ yang dapat menekan berkembangnya kekuatan gerak perjuangan petani. 11 Negara Orde Baru mengarahkan petani berorganisasi melalui disain korporatisme, yakni hanya mengalirkan aspirasi ke dalam kanal-kanal lembaga bentukan pemerintah. 12 Akibatnya, partisipasi politik petani menjadi semu karena kepentingannya diarahkan dan disalurkan lewat organisasi tani yang dibentuk dan dikontrol ketat oleh negara. Petani ditempatkan pada posisi tersbordinasi, tidak berdaya dan terkerangkeng oleh otoriterianisme negara. Ini berarti bahwa sistem politik yang dibangun cenderung sebagai alat dominasi dan berfungsi sebagai penyumbat kebebasan bersuara dan gerak perjuangan petani. 13 Tak heran jika sistem politik Orde Baru menjadi ajang mobilisasi massa, menjadi tempat berkembangnya kesadaran palsu, sebagai ajang represi, praktik kooptasi dan manipulasi. Stigma politik sering diarahkan kepada mereka yang dianggap membangkang dan cara ini dianggap lebih efektif dalam membungkam suara-suara kritis dan dalam menekan upaya perjuangan petani. Menjinakkan kesadaran petani menjadi orientasi nafsu kekuasaan. Pendekatan keamanan dan pencitraan sistemik yang dibangun semakin mengaburkan persoalan Statistik pertanian tahun 2003 memperlihatkan peningkatan jumlah rumah tangga petani dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,6 juta pada tahun 2003. Peningkatan yang sama juga terjadi pada populasi petani gurem pemilik lahan kurang dari setengah hektar, yakni sejumlah 10,8 juta 1993 menjadi sejumlah 13,7 juta 2003. Angka 13,7 juta itu tersebar 74,9 di Jawa dan 25,1 di Luar Jawa. Setahun berikutnya, 2004, angka kemiskinan juga mengalami penurunan menjadi 16,6. Namun di balik penurunan itu, di bulan September 2006, BPS mengumumkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia telah meningkat dari 16,0 persen pada Februari 2005 menjadi 17,75 persen pada Maret 2006 Policy Paper RUU Desa, Juli 2007 . Masukan untuk perumusan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Desa. Jakarta: Kerjasama antara Forum Pengembangan Pembaharuan Desa FPPD dan Democratic Reform Support Program DRSP-USAID. Download dari Policy_Paper_RUU_Desa, pdf.-adobe reader., hal. 52-54. Menurut catatan BPN RI bahwa masyarakat pedesaan masih dihadapkan pada persoalan tingginya tingkat kemiskinan, pengangguran, konsentrasi aset agraria pada sebagian kecil masyarakat, rentannya ketahanan pangan, semakin menurunya kualitas lingkungan hidup, dan lemahnya akses sebagian besar masyarakat terhadap hak-hak dasarnya termasuk sumber-sumber ekonomi keluarga. Terdapat 2.810 kasus konflik pertanahan dan tanah-tanah yang menjadi obyek konflik banyak yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Kondisi ini merupakan oppotunity loss dan menutup akses bagi petani penggarap BPN RI. 2007. Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. Jakarta: BPN RI., hal. iii-iv, 2. 11 Jajat Burhanuddin dan Arief Subhan Editor, 1999, Sistem Siaga Dini Untuk Kerusuhan Sosial, Jakarta: Balitbang Agama Depag RI dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM IAIN Jakarta., hal. 21. 12 Korporatisme negara dalam konteks pembingkaian kepentingan kaum tani disini menunjuk pada organisasi tani seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia HKTI yang menjadi derivasi institusi negara di tingkat informal, yakni sebagai agen kepentingan negara Lihat Nasikun. 1997. Domestikasi Peran Cendekiawan dan Perkembangan Sosiologi di Indonesia. Jurnal Unisia, No.32XVIIApril 1997., hal. 58-67. 13 Arie Sujito. 2007. Organisasi Rakyat dan Gerakan Sosial. http:groups. yahoo.com groupsuarakorban bencanamessage1801 Download tanggal 31 Agustus 2007. 4 substantif petani. Sangat wajar jika petani terus berjuang menuntut hak-haknya atas tanah pertanian meskipun tetap muncul tetapi menemui banyak hambatan. 14 Dengan mengandalkan bantuan jejaring pada lokus nasional saja tidak cukup, mereka harus memanfaatkan isu-isu global dan berjejaring dengan lembaga- lembaga transnasional. 15 Seiring tumbangnya Orde Baru maka lembaga-lembaga kenegaraan juga sedang mengalami krisis legitimasi, kehilangan orientasi dan daya adaptasinya sehingga tidak mampu merespon dengan cepat gejolak petani karena masih menanggung beban moral yang begitu berat akibat peran mereka sebelumnya. 16 Ini juga berarti bahwa struktur peluang politik telah dibuka paksa untuk cepat tanggap terhadap tuntutan-tuntutan perubahan oleh kalangan masyarakat sipil. Gerakan petani kemudian terjadi di mana-mana menuntut keadilan dan demokrasi agraria. Ke atas mereka gencar mendesakkan tuntutan-tuntutannya dan ke bawah melakukan aksi-aksi reklaiming. Sebagian besar analis menilai bahwa maraknya gerakan petani pada awal-awal reformasi sebagai kelanjutan atau efek dari gerakan pro-demokrasi yang dimainkan oleh segenap elemen masyarakat sipil dalam menumbangkan otoriterianisme negara Orde Baru. Dalam perkembangan kemudian berdiri berbagai organisasi gerakan petani skala provinsi dan berjejaring dengan organisasi gerakan agraria skala nasional. Bahkan dalam spektrum yang lebih luas berjejaring dengan organisasi gerakan agraria transnasional. 17 Gelombang timbal balik antara gerakan lokal dan global tersebut, kemudian di dalam wacana gerakan masyarakat sipil berkembang dua konsep, yakni: “think globally act locally” atau “think locally act globally”. 18 Pada setting gerakan skala meso provinsi kehadirannya mampu mempertemukan antara orientasi material dan postmaterial. Oleh karena itu, ketika gerakan petani di daerah mampu berjejaring kuat secara nasional merupakan indikasi bahwa telah terjadi arus balik pengaruh gerakan petani lokal ke spektrum nasional. Para aktor strategis gerakan mampu mengartikulasikan persoalan agraria nasional ke tingkat lokal, dan sebaliknya dari tingkat lokal ke nasional. 14 Petani banyak mengalami tekanan seperti intimidasi, teror, pembabatan atau pembakaran tanaman, pembakaran atau perusakan rumah, penangkapan, penculikan, penembakan, pembunuhan, penganiayaan, dan tekanan lainnya Endriatmo Soetarto, 2005. Reforma Agraria Di Indonesia: Agenda Kebangsaan Yang Harus Dituntaskan, Bogor: Pustaka Wirausaha Muda., hal. 17-18. 15 Meuthia Ganie Rochman. 2002. An Uphill Struggle: Advocacy NGO’s under Soeharto’s New Order, Jakarta: LabSosio, FISIP-Universitas Indonesia. 16 Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana. 2001. Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta: YLBHI dan Raca., hal. 3-4. 17 Aksi-aksi kolektif yang dilakukan oleh Serikat Petani Lampung SPL berhubungan timbal balik dengan organisasi gerakan tingkat nasional, seperti “Federasi Serikat Petani Indonesia FSPI” dan berjejaring dengan organisasi gerakan transnasional “La Via Campesina”. 18 Andi Widjajanto, dkk. 2007. Transnasionalisasi Masyarakat Sipil. Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara. 5

1.1.3. Gerakan Petani Mengalami Peluruhan dan Stagnasi