Prinsip Nilai Dan Struktur Masyarakat Adat Pergeseran Wilayah Teritorial Adat

63 pegunungan dan dataran rendah sepanjang sungai di sekitar pantai timur dan selatan. Kemudian berkembang dalam wilayah kampung desa seiring dengan semakin bertambahnya jumlah warga. Kampung-kampung tersebut semakin me- nyebar dengan lahan pertanian disekitarnya. Mereka tetap berpegang pada garis keturunan laki-laki patrilineal yang tegas dengan anak laki-laki tertua sebagai pemimpin utama dalam struktur otoritas adat. Setelah menetap, tata kehidupan masyarakat adat Lampung menganut sistem keratuan, yang dipimpin oleh Ratu atau Umpu dan dipilih berdasarkan asas primus inter pares. 189 Masing-masing Ratu berkuasa di wilayahnya ber- sama para pengikutnya dalam satu keturunan. Kesatuan masyarakat adat ini berbeda menurut asal suku yang masing-masing terdiri atas berbagai buai atau kebuwayan dan masing-masing kebuwayan terdiri atas beberapa suku. Setiap suku asal memiliki wilayah teritorial disebut marga dan setiap kebuaiyan memiliki wilayah teritorial disebut kampung atau pekon, anek, dan tiyuh. Masing-masing wilayah pekon terdiri atas beberapa suku dan masing-masing suku terdiri atas beberapa keluarga besar cangkai. Kemudian pada masing-masing keluarga besar terdiri atas beberapa keluarga inti nuwa. 190

4.2.2. Prinsip Nilai Dan Struktur Masyarakat Adat

Masyarakat adat Lampung secara umum dibagi menjadi dua, yakni “Pepa- dun” yang berdiam di pedalaman dan “Saibatin” atau “Peminggir” yang berdiam di sepanjang wilayah pesisir. Dalam pergaulan hidup mereka berpedoman pada empat nilai dasar, yakni bejuluk beadek memiliki gelar adat, nemui nyimah ramah, terbuka, peduli, nengah nyappur bermasyarakat, bergaul, dan sakai sambayan tolong menolong, gotong-royong, baku membahu, saling memberi dan menerima, yang semuanya disebut Pi-il Pesenggiri. Prinsip nilai Pi-il Pesenggiri ini berpedoman pada Titie Gematei adat dari leluhur, merupakan nilai dasar yang intinya setiap anggota dituntut untuk bermoral tinggi atau berjiwa besar agar hidup secara logis, etis dan estetis. 191 Nilai dasar tersebut diwadahi dalam struktur adat, dimana para penyimbang kepala atau pemuka suku berperan penting dalam menentukan tata cara dan haluan hidup masyarakat adat. Peran para penyimbang dalam kelembagaan adat antara lain selalu 189 Depdikbud. 19771978. Sejarah Daerah Lampung. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya. Bandar Lampung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., hal. 54. 190 Joan Hardjono Ed. 1985.Transmigrasi: dari kolonisasi sampai swakarsa. Jakarta: Gramedia., hal. 17. 191 Rizani Puspawidjaja. 2002. Adat dan Budaya Lampung. Bandar Lampung: Pusat Informasi Budaya Lampung dalam Jurnal Kabar Kampung Tuha, Edisi 01 Bulan September 2002, halaman 8. 64 melakukan proatin bermusyawarah, yang diketuai oleh pemuka adat tertua, setiap melaksanakan kegiatan adat.

4.2.3. Pergeseran Wilayah Teritorial Adat

Pada masa Kesultanan Banten, masyarakat adat Lampung sudah tidak lagi berbentuk keratuan, tetapi dalam bentuk “marga” yang membawahi “pekon- pekon”. Makna substantif marga sudah digeser ketika kedudukan pengetua mar- ga dijadikan kepala marga yang disebut “bandar”, meskipun masih didasarkan pada faktor keturunan. Kemudian pada masa kolonial Belanda makna marga semakin dikaburkan menjadi semakin jauh dari makna substantifnya, dan kedu- dukan kepala marga menjadi terancam. Pada pertengahan abad 19 sistem mar- ga tidak diakui dan dipersempit pada wilayah kampung desa. Ini berarti hak ulayat marga menjadi hilang dan juga diperparah ketika berpedoman pada ke- kuatan hukum domeinverklaring. Struktur otoritas adat diubah menjadi struktur otoritas wilayah administrarif pemerintah kolonial. Di atas kampung diangkat se- orang demang banyak yang bukan dari etnik Lampung yang berada dibawah kontrol langsung seorong controleur Belanda. 192 Baru pada tahun 1928 sistem marga diakui kembali sebagai inlandse gemeente, yakni daerah otonom tingkat terbawah yang membawahi kampung- kampung. Pada masa ini wiIayah marga bukan lagi hanya dimiliki oleh masya- rakat adat Lampung, tetapi juga untuk kelompok pendatang. Kepala marga ma- syarakat adat Lampung disebut Pesirah sedangkan kepala marga penduduk pendatang disebut Pasemah. Pasemah dipilih melalui pemilihan umum dan hu- bungan genealogis tidak lagi menjadi faktor utama. 193 Disini terkonstruksi dualis- me ikatan sosio-kultural antar penduduk dalam kesatuan wilayah teoritorial mar- ga, yakni diikat secara adat dan secara administatif pemerintahan. Ini jelas bahwa pembentukan struktur otoritas baru tersebut lebih ditujukan untuk memudahkan kontrol politik. Wilayah marga dengan hak ulayatnya diper- sempit setelah dikurangi untuk wilayah cadangan hutan dan untuk dijadikan hak erfpacht yang kemudian diserahkan kepada pemodal asing. 194 Kedudukan tanah ulayat yang sudah berkurang itu menjadi terkonsentrasi kepada kewenangan kepala marga adat pesirah sebagai pemimpin wilayah otonom tingkat bawah. Di 192 Luas tanah yang diakui hanya sejauh 6 km dari desa dan 3 km dari pemukiman sementara Bruno Verbist dan Gamal Pasya. 2004. Perspetif Sejarah Status Kawasan Hutan, Konflik dan Negosiasi di Sumberjaya, Lampung Barat, Provinsi Lampung. Agrivita, Vol. 26 No.1 Maret 2004, hal. 22. 193 Joan Hardjono Ed. 1985. Op.Cit., hal. 21. 194 Mulai tahun 1890 sudah dibuka wilayah perkebunan di dekat pelabuhan Panjang dengan mendatangkan pekerja dari Jawa. 65 bawah kewenangan pesirah itulah banyak penduduk pendatang memanfaat- kanya untuk mendapatkan tanah. 195 4.3. Sruktur Penguasaan Agraria dan Kondisi Petani Pra Kemerdekaan 4.3.1. Akibat Kebijakan Agraria Kolonial Sebelum kedatangan VOC Vereenigde Oost-Indische Compagnie kehidupan masyarakat Lampung di bawah kekuasaan kesultanan Banten cukup tenteram, terutama masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1682. Masyarakat Lampung mulai terusik ketika VOC masuk menguasai hasil pertanian di wilayah Lampung. Ini diperoleh dari hasil adu domba mendukung Sultan Haji dalam merebut kedudukan Sultan dari Sultan Ageng Tirtayasa. Sejak itu mulai terjadi perpecahan antar tokoh adat, yakni ada yang mendukung Sultan Haji seperti Jenang Raja Ngembar di Semangka dan ada yang menolak pendukung Sultan Ageng Tirtayasa. Masyarakat Lampung mulai terang-terangan menolak menjadi bagian dari wilayah kesultanan Banten ketika dipimpin oleh Aria Adi Sendika 1751 yang diangkat atas dukungan VOC. Resistensi secara besar- besaran melawan kolonial Belanda berlangsung sekitar selama 40 tahun 1817- 1856 dan menewaskan ratusan korban di kedua belah pihak. Selesai perang Diponegoro dikeluarkan kebijakan cultuurstelsel 1830- 1870. Sistem ini merupakan intensifikasi sistem tradisional, dimana usaha perkebunan negara sedapat mungkin mereduksi biaya produksi dan kalau mungkin menghilangkannya dengan mengkaitkan sistem tradisional yang masih berjalan. 196 Peran dominan negara dalam sektor pertanian ini mendapat tekanan dari kelompok liberal karena menutup pintu akses mereka dalam mengembangkan usaha pertanian di daerah jajahan. Akhirnya dikeluarkan kebijakan Domeinverklaring melalui Agrarische Wet 1870 dan lebih dipertegas dalam Agrarische Besluit 1870. Kebijakan agraria ini mencabut keberlakuan hukum adat atas pemilikan tanah dan berubah menjadi tunduk di bawah hukum Eropa. Sejak ini semua tanah adat di Lampung menjadi tanah negara. Tanah ulayat marga diakui setelah dikurangi sebagai cadangan hutan dan tanah untuk hak erfpacht yang kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda diberikan hak pengelolaanya kepada para pemodal asing. 197 Menjelang akhir abad 19 banyak 195 Joan Hardjono Ed. 1985. Op.Cit., hal. 23. 196 Suhartono. 1995. Bandit-Bandit Pedesaan: Studi Historis 1850-1942 di Jawa. Yogyakarta: Aditya Media, hal. 67. 197 Joan Hardjono Ed. 1985. Op.Cit. 66 perkebunan di buka di Lampung, yang pertama kalinya 1890 dibuka di onderafdeling Telukbetung.

4.3.2. Program Kolonisasi