176
Ketiga, struktur legitimasi agraria yang timpang deskriminatif. Ini menunjuk pada schemata normatif agraria yang pada tataran praktis terwujud dalam
tatanan agraria yang tidak adil terhadap eksistensi petani. Schemata normatif demikian di Lampung melahirkan rangkaian kebijakan agraria yang tidak
responsif terhadap kepentingan petani. Pola penguasaan tanah oleh negara masih kuat ruh “domeinverklaring”,
288
sehingga meskipun UUPA1960 oleh Mendagri pada tahun 1978 dinyatakan tetap berlaku, pada kenyataanya secara
sistematis dikebiri atau dimandulkan.
289
Simbol-simbol legitimasi agraria dalam kerangka kerja pembangunanisme dimitoskan untuk menjaga konsistensi sistem
komunikasi, kekuasaan dan kebijakan agraria. Dalam struktur agraria yang demikian itu jelas bahwa dimensi sosio-kultural
tradisional tetap diposisikan dalam hubungan asimetris dengan dimensi ekonomi dan politik dalam sistem agraria dominan. Jika mengikuti perspektif pesimistis, di
mana hegemoni developmentalism dan modernism yang masih begitu kuat mengakar ke seluruh sistem agraria, maka rasanya tetap sulit ditembus hanya
dengan gerakan lokal, daerah, bahkan nasonal.
8.2. Kegagalan Peran Gerakan Agraria Dalam Mengentaskan Nasib Petani
Sejak zaman dahulu gerakan petani telah menjadi instrumen perubahan tatanan agraria. Bahkan secara historis, dalam setiap episode kekuasaan rezim,
gerakan agraria menjadi penting ketika penguasa tidak peduli terhadap perbaikan nasib petani. Menyimak fenomena gerakan agraria yang berlangsung
pada era demokratisasi saat ini tidak cukup lagi jika difahami dengan cara pandang lama klasik. Dilihat dari struktur sumberdaya yang ada, di mana para
aktor gerakan saat ini memiliki kepasitas interpretasi yang lebih terhadap situasi agraria yang dihadapi, dalam membangun kekuatan sumberdaya mobilisasi,
dalam memahami dan merespon perkembangan situasi sosio-politik, dan dalam memanfaatkan peluang politik untuk melakukan transformasi agraria. Hasil
penelitian menemukan bahwa dengan terbangunnya sub kultur oposisi petani, struktur mobilisasi sumberdaya, peluang politik, dan proses pembingkaian, maka
aksi-aksi kolektif dapat dilakukan. Hasilnya terjadi perubahan kebijakan agraria dan tanah pertanian dapat dikuasai kembali oleh petani. Tetapi dalam
perkembangan berikutnya gerakan agraria mengalami deformasi, decoupling dan stagnasi, sehingga berada pada kondisi involusi.
288
Sitorus, MT. Felix. 2006. Op.Cit., hal. 24.
289
Soerjo Adiwibowo, Melanie A. Sanito dan Lala M. Kolopaking. 2008. Op.Cit., hal. 100.
177
Belajar dari pengalaman di Lampung ternyata dalam dinamika gerakan agraria di era demokratisasi selain mengalami tekanan-tekanan eksternal yang
kuat, pada sisi internal juga mengalami disorientasi dan discontrol. Artinya, banyak tindakan para aktornya terutama para elit gerakan yang tidak
dikehendaki konsekuensinya dan tidak dapat dikendalikan akibat negatifnya. Gerakan yang demikian tidak mampu memelihara karakter, visi dan misinya
terkait dengan tujuan transformasi agraria. Terjadi pembelokan arah dari gerakan populis bergeser menjadi gerakan elitis, sehingga tidak jelas arahnya hendak di
bawa ke mana. Pada kondisi ini, terjadi proses pembiasan antara tindakan sadar yang terfokus pada pengentasan nasib petani dari arus sistem agraria yang
antagonis dan tindakan para aktor gerakan yang secara kultural terkooptasi oleh kerangka ideologis tertentu yang bersifat karikatif, bahkan pragmatis. Struktur
gerakan yang solid kemudian terbelah dan mengelompok bersadarkan latar belakang dan kepentingannya. Terjadinya disorientasi tindakan para elit aktor
sebagai petanda bahwa antara tujuan praktis dan strategis gerakan mengalami diskontinum. Seharusnya keberhasilan mencapai tujuan praktis merupakan
proses akumulatif tercapainya tujuan strategis gerakan. Sebaliknya, kegagalan mencapai tujuan praktis petani berjalan seiring dengan kegagalannya dalam
mengentaskan nasib petani dari kubangan arus sistem agraria antagonis. Pada tataran tujuan strategis gerakan tersebut telah gagal dalam transformasi agraria.
Berdasarkan hasil analisis terhadap temuan-temuan di lapangan di Lampung dapat dinyatakan bahwa alasan-alasan mendasar kegagalan gerakan
transformasi agraria di era demokratisasi sehingga berada pada kondisi involusi, karena beberapa sebab yang saling terkait. Pertama, gerakan agraria masih
berbasis pada momentum ekstrim era reformasi, yakni terjadinya dekonstruksi struktur politik negara. Menguatnya kembali struktur politik negara konsisten
dengan semakin lemahnya dukungan pemerintah, dan kondisi ini berjalan seiring dengan semakin melemahnya kekuatan gerakan agraria. Kedua, tidak ada
common platform, baik pada tataran nasional dan daerah. Sampai saat ini tidak terjadi kesatuan gerak langkah antar organisasi gerakan agraria dalam
membangun visi, misi, tujuan dan program-program perjuangan. Ketiga, kualitas sumberdaya gerakan yang kurang memadai. Struktur gerakan agraria yang
dibangun dalam menangkap momentum reformasi lebih didasarkan pada semangat perjuangan, sehingga aspek kualitas organisasi dan kepemimpinan
menjadi terabaikan. Keempat, lawan yang abstrak seperti melawan imperalisme,
178
neo-kolonialisme dan neo-liberalisme, masih sulit difahami oleh mayoritas aktor gerakan termasuk non petani dan belum dapat diartiklasikan pada tataran
menengah ke bawah. Kelima, struktur gerakan tidak mampu menjaga dan mengatasi kendala dari lingkungan internal dan tekanan-tekanan dari lingkungan
eksternal, sehingga posisinya semakin terjebak masuk pada arus kemapanan atau terjebak pada upaya memapankan hegemoni yang melestarikan sistem
agraria antagonis.
8.3. Penguatan Struktur Gerakan Agraria Dengan Meningkatkan Derajat Mediasi