98
merupakan peluang bagi petani dikemudian hari pada tahun 1998 untuk berani melakukan reklaiming.
Di Trimodadi, Lampung Utara di mana masyarakat setempat bahkan sudah berjuang sejak 1960-an ketika tanah yang sudah dikuasainya diambil paksa oleh
perusahaan. Pada masa Orde Baru sudah meminta penyelesaian ke pemerintah pusat tetapi tidak ada tanggapan. Akhirnya mereka melakukan aksi reklaiming
meskipun tetap gagal. Bapak SP seorang tokoh petani di Lampung Tengah dan pernah memimpin aksi reklaiming di Trimodadi menceritakan:
“... perjuangan masyarakat Trimodadi untuk memperoleh kembali tanah yang dicaplok perusahaan sudah sejak Orde Lama. Ketika itu dipimpin oleh kepala
kampung dan dibantu oleh BTI. Kemudian pada masa pak Harto mereka juga sudah berupaya secara baik-baik dan sudah mengadu ke pusat Jakarta, tetap tidak
ada tanggapan. Bahkan ketika perusahaan melakukan perluasan lahan maka tanah-tanah penduduk di sekitarnya juga diambil lagi. Mereka tahu bagaimana
kerasnya Orde Baru dan waktu itu mereka tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa sakit hati dan terus mengadu pada pemerintah. Mereka juga sering diancam-
ancam dan dicap anggota PKI, BTI. Ketika jaman reformasi saya bersama mereka sudah berusaha merebut kembali tanah-tanah itu, bahkan barisan ibu-ibu
dikerahkan, dan dibantu oleh SPL, tetapi tetap tidak berhasil “.
Penyelesaian pertanahan oleh berbagai komunitas petani selama lima tahun 1998-2002, seperti di lima wilayah kabupatenkota di provinsi Lampung
Bandar Lampung, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Tulang Bawang dan Way Kanan dari 220 kasus yang ada hanya 71 32 kasus yang dapat
diselesaikan. Dari 43 kasus yang diajukan dengan cara penal terdapat sebanyak 24 56 kasus yang terselesaikan, sedangkan dari 177 kasus yang diajukan
dengan cara non penal terdapat 47 27 kasus yang diselesaikan.
243
5.3.3. Gerakan Lokal-Tradisional
Gagalnya perjuangan petani melalui pendekatan hukum dan negosiasi mendorong petani membangun strategi gerakan lokal-tradisional, yakni aksi-aksi
kolektif non-institusional, berlokus lokal dan berbasis pada otoritas tradisi setempat. Mereka melakukan tindakan-tindakan kolektif yang cenderung keluar
dari tata aturan yang berlaku atau lebih mengandalkan pada aksi massa melakukan tekanan ke atas untuk mencapai tujuannya. Misalnya, komunitas
petani di Dwikora, Lampung Utara dipimpin oleh tokoh masyarakat setempat berunjuk rasa ke Gubernur dan berusaha mempertahankan diri tidak mau
dipindahkan mengikuti program Translok. Mereka tetap menguasai lahan meskipun menghadapi tekanan-tekanan sangat kuat.
243
Sunarto, 2007. Op.Cit., hal. 219.
99
Gerakan lokal-tradisional dilakukan juga karena upaya melalui jalur-jalur institusional tetap kandas. Upaya penyelesaian melalui jalur hukum minta
bantuan hukum dari LSM memakan waktu lama dan tidak ada kejelasan dan kepastian. Upaya negosiasi untuk mengolah lahan tidur dan tumpang sari seperti
di wilayah Register 40 Gedung Wani juga tidak berhasil. Para pemegang otoritas cenderung mempertahankan status quo dengan tetap memperkuat hegemoni
dan pendekatan keamanan. Kondisi tersebut menyebabkan kesadaran konsensus petani berkembang
menjadi kesadaran konfliktual-oposisional.
244
Kegagalan petani menggunakan pendekatan institusional memungkinkan untuk beralih pada pendekatan non
institusional yang diwujudkan dalam gerakan lokal-tradisional. Cirinya, gerakan ini masih mengandalkan tara cara, struktur organisasi, data-data atau informasi
dan manajemen aksi yang sederhana dan terikat pada struktur otoritas tradisi masyarakat setempat. Gerakannya masih bersifat lokal, fragmented terbatas di
komunitasnya, lebih didasarkan pada kesadaran konfliktual belum sampai pada kesadaran politik dan lebih ditujukan untuk mencapai kepentingan material
lahan pertanian. Pada sisi lain semakin menguatnya solidaritas, kepercayaan, loyalitas dan
komitmen moral menjadi pertanda telah disituasikanya semangat kolektif petani. Dalam gerakan lokal-tradisional, petani semakin kuat dalam pendefinisian
bersama tentang siapa “kita in-groups” dan siapa pihak “lawan out-groups”. Mereka melakukan proses interaktif dan dalam pendefinisian bersama tersebut
konstruksi, negosiasi, aktivasi dan formasi berhubungan dengan orientasi gerakan dan menginterpretasikan peluang dan tekanan-tekanan di mana
gerakan tersebut dilakukan. Mereka yang di dalam komunitasnya menjadi tokoh masyarakat adalah sekaligus menjadi simpul gerak perjuangan petani tersebut.
Para anggota gerakan lokal-tradisional cenderung terbatas dalam wilayah komunitas yang sama. Tetapi, keadaannya berbeda ketika aksi-aksi petani sudah
sampai keluar desa kecamatan, kabupaten dan provinsi. Aksi kolektif ini sudah mulai bertambah mendukungnya dan semakin beragam. Hal ini dilakukan karena
kuatnya tekanan pihak lawan. Mereka beranggapan bahwa semakin banyak partisipan maka semakin kuat posisi tawarnya. Meskipun alas hak dalam
244
Pada tingkat kesadaran konsensus petani memposisikan persoalan tanah yang dianggap menjadi haknya sebagai dalam kondisi konflik tetapi upaya untuk menyelesaikanya cenderung melalui jalur institusional. Pada
tataran kesadaran konfliktual memposisikan persoalan tersebut cenderung perlu dimunculkan melalui aksi- aksi kolektif non institusional melalui wadah tatanan tradisi setempat meskipun jalur institusional bukan
hukum seperti negosiasi dan mediasi masih tetap terbuka untuk dilakukan.
100
perjuangan petani tetap penting, tetapi dengan pendekatan terbuka seperti itu berkosekuensi pada terbuka peluang pihak luar untuk ikut mencapai
kepentinganya, bahkan termasuk di dalamnya para penunggang bebas free- riders. Selain itu, dalam gerakan tersebut aksi-aksi kolektif petani sering kurang
dapat dikontrol antara lain karena cara pengorganisasian yang masih sederhana. Beragamnya latar belakang partisipan membuat strategi gerakan berbasis
otoritas tradisional menjadi semakin kurang efektif.
5.4. Berkembangnya Sub Kultur Oposisi Petani