Gerakan Petani Mengalami Peluruhan dan Stagnasi

5

1.1.3. Gerakan Petani Mengalami Peluruhan dan Stagnasi

Berangkat dari kegagalan pembangunan Orde Baru yang merugikan komunitas petani tradisional, maka tidak heran jika gerakan petani di awal-awal reformasi sangat kuat diarahkan berhadapan dengan negara dan perusahaan. Kelemahannya ketika kekuatan negara sudah dapat dilemahkan, telah merespon sebagian kepentingan petani melalui kebijakan agraria yang dikeluarkan, dan tanah-tanah berhasil direklaiming, berarti sudah tidak ada lagi musuh bersama common enemy. Gerakan petani tidak dapat dikatakan berhasil jika dalam implementasinya belum mampu menyelesaikan persoalan substantif petani dan distribusi lahan hasil reklaiming tidak sampai kepada yang berhak menerima petani penggarap. Apalagi jika dalam perjalanannya masing-masing kelompok penggerak gerakan petani berjalan sendiri-sendiri dan tidak memiliki common platform. Dimaksud dengan common platform disini adalah sebuah konsensus bersama untuk mengawal proses pencapaian tujuan transformasi agraria dalam jangka pendek dan jangka panjang, yang diwujudkan dalam berbagai inovasi strategi kerja dan agenda kerja yang telah disepekati bersama. 19 Oleh karena itu, gerakan petani di era demokratisasi saat ini justru dikhawatirkan semakin rentan terhadap beberapa persoalan yang berpotensi lepas dari kerangka gerakan akar rumput, mengalami peluruhan dan stagnan. Proses peluruhan dan stagnasi antara lain disebabkan oleh dua hal. Pertama, proses pengorganisasian komunitas petani basis sejak awal dilakukan lebih bersifat sporadis. Kerja-kerja pengorganisasian menguat ketika ada kasus- kasus yang menantang heroisme dan kemudian melemah ketika kasus-kasus tersebut selesai atau tidak kunjung dapat diselesaikan. Pengorganisasian petani basis belum dapat diarahkan secara sistematis untuk membangun tatanan kehidupan baru pada komunitas-komunitas petani sebagai alternatif dari tatanan yang ada. 20 Kedua, penguatan kembali struktur politik negara berjalan seiring dengan semakin sempitnya ruang-ruang bagi berkembangnya gerakan petani. 21 19 Kompas. 2004. Lembaga Swadaya Masyarakat: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 10-11. 20 Dedeh Nurhayati. 2007. Pengembangan Sistem Pendidikan Kader pada Organisasi Rakyat untuk Memperkuat Kerja Pengorganisasian dan Pemberdayaan Kelompok Rakyat Marjinal. Diakses tanggal 31 Agustus 2007. 21 Gerakan petani mendapatkan keuntungan di awal-awal jatuhnya rezim Orde Baru. Setelah lima tahun reformasi peluang politik tersebut mulai tertutup kembali. Oleh karena itu, jika gerakan petani muncul kembali pada periode sekarang ini tidak serta merta dipengaruhi oleh terbukanya peluang politik di Indonesia Lihat Abdul Wahib Situmorang. 2007. Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hal. 6.. 6 Semua unsur tersebut memperkuat dugaan meskipun perjuangan petani sudah sampai pada gerakan sosio-politik, kondisi petani tetap berada pada atau tidak beranjak dari pusaran arus kepentingan integratif negara dan pasar yang lebih luas tersubordinasi. Gerakan petani hanya bergerak ditempat, tidak kemana-nama, tidak maju ke suatu titik yang menjanjikan peningkatan kesejahteraan petani. Bahkan diduga gerakan petani berpeluang menjadi diffuse, yakni menyebar ke berbagai penjuru, sehingga tidak fokus pada persoalan agraria lagi. Organisasi gerakan petani telah berkembang berjejaring tingkat nasonal, tetapi konflik pertanahan masih banyak dan tanah negara yang terlantar masih luas tidak dapat diakses oleh petani penggarap. Realitas tersebut sebagai petanda bahwa urgensi peran gerakan petani dalam memperjuangkan nasib petani masih patut dipertanyakan.

1.1.4. Kasus di Provinsi Lampung