Kasus di Provinsi Lampung

6 Semua unsur tersebut memperkuat dugaan meskipun perjuangan petani sudah sampai pada gerakan sosio-politik, kondisi petani tetap berada pada atau tidak beranjak dari pusaran arus kepentingan integratif negara dan pasar yang lebih luas tersubordinasi. Gerakan petani hanya bergerak ditempat, tidak kemana-nama, tidak maju ke suatu titik yang menjanjikan peningkatan kesejahteraan petani. Bahkan diduga gerakan petani berpeluang menjadi diffuse, yakni menyebar ke berbagai penjuru, sehingga tidak fokus pada persoalan agraria lagi. Organisasi gerakan petani telah berkembang berjejaring tingkat nasonal, tetapi konflik pertanahan masih banyak dan tanah negara yang terlantar masih luas tidak dapat diakses oleh petani penggarap. Realitas tersebut sebagai petanda bahwa urgensi peran gerakan petani dalam memperjuangkan nasib petani masih patut dipertanyakan.

1.1.4. Kasus di Provinsi Lampung

Wilayah Provinsi Lampung merupakan salah satu representasi realitas persoalan agraria dan gerak perjuangan petani di Indonesia. Di provinsi Lampung banyak terjadi konflik-konflik pertanahan yang berlangsung secara akumulatif dan menyebar di wilayah kabupatenkota. Pada awal reformasi banyak terjadi aksi-aksi kolektif petani, muncul dan berkembang beberapa organisasi gerakan petani skala provinsi berjejaring tingkat nasional. Pada tahun 1995 tanah yang menjadi obyek konflik dengan komunitas petani seluas 110.737, 50 hektar, 22 dan pada tahun 2002 meningkat drastis menjadi 398.425 hektar 259,8. Status tanah yang paling banyak berkonflik adalah lahan usaha agro industri, yakni seluas 159.640 Hektar 40,07, berada di bawah penguasaan dan pengelolaan perusahaan swasta dan BUMN atau BUMS. Kemudian lahan yang berstatus sebagai kawasan hutan lindung seluas 121.250 Hektar 30,43, dan lahan usaha tambak moderen seluas 78.650 Hektar 19,74. 23 Petani terus terjebak di dalam ruang-ruang konfliktual berebut kuasa atas tanah. Kemudian pada awal reformasi dalam kurun waktu lima tahun 1998-2002 tercatat dari 360 kasus konflik pertanahan 24 yang tersebar di seluruh wilayah 22 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni. 1998. Petani dan Konflik Agraria. Bandung: Yayasan Akatiga. 23 Sunarto D.M. 2007. Kebijakan Penanggulangan Penyerobotan Tanah. Bandar Lampung: Universitas Lampung., hal. 183. 24 Surat Kabar Mingguan “Koridor”, Edisi 178Th. IV. Tanggal 13 Oktober 2002, hal. 4. Tetapi menurut catatan BPN Provinsi Lampung pada tahun 2002 terdapat sebanyak 445 kasus konflik pertanahan dan hingga tahun 2008 meningkat menjadi sebanyak 578 kasus. 7 kabupaten dan kota, 25 dan sebagian besar 327 kasus90,8 diikuti dengan aksi-aksi reklaiming. 26 Aksi-aksi unjuk rasa dan reklaiming sebagian dilakukan secara terorganisir dalam skala provinsi. Diperkirakan selama lima tahun 1998- 2002 terdapat puluhan ribu hektar lahan yang berhasil diduduki oleh petani secara sistematis. 27 Pasca reklaiming para petani bersama dengan segenap elemen pendukungnya berusaha memperkuat organisasi gerakan petani. Beberapa organisasi gerakan petani yang berkembang di Lampung adalah seperti Dewan Tani Lampung DTL, Ikatan Petani Lampung IPL, Serikat Petani Lampung SPL, dan Mirak Nadai. Dalam perkembangannya, aktivitas gerakan petani semakin menurun dan diduga juga mengalami peluruhan dan stagnasi. Pertama, eksistensinya semakin kurang mendapat dukungan petani basis, yang berarti semakin tercerabut dari akarnya. Kedua, komitmen, spirit dan daya juang para aktor strategisnya mengalami pasang surut dan cenderung semakin mengendur, yang berarti kondisi batang tubuhnya semakin melemah. Ketiga, jaringan pendukung semakin berkurang dan melemah yang berarti kekuatan eksternal gerakan petani semakin menurun. Keempat, isu-isu kritisnya masih berkutat pada persoalan material penguasaan tanah, tidak beranjak dari persoalan klasik, dan tidak nampak terjadi perkembangan. Ini berarti bahwa gerakannya masih berkutat pada gerakan sosio-politik daripada gerakan sosio-kultural. Kelima, orientasi praktis gerakan semakin berjarak dengan orientasi strategisnya karena antar elemen aktor saling berebut kepentingan dan mengabaikan unsur bermediasi, sehingga keberadaan petani berpotensi menjadi korban mobilisasi. Peluang komodifikasi terhadap komunitas petani basis menjadi terbuka ketika bersinggungan dengan kepentingan praktis ekonomi dan politik para aktor strategisnya.

1.2. Permasalahan Penelitian