122
3. Terjadi persamaan pandangan, motivasi, sikap dan persetujuan terhadap prinsip-prinsip gerakan, seperti prinsip komando dan diskusi musyawarah
tertuang dalam slogan “Satu Aksi Satu Komando, Komando Hasil Diskusi”. Dilihat dari perspektif partisipan hingga pada titik puncak gerakan, sikap
partisipatif petani dan non petani merupakan hasil dari motivasi bersama mereka untuk benar-benar mengentaskan nasib petani. Artinya, partisipasi mereka dalam
aksi-aksi kolektif merupakan konsekuensi dari motivasinya untuk menyelesaikan persoalan substantif petani daripada menjadi sebab yang mendasari motivasi
tersebut. Mengkonsolidasikan sumberdaya gerakan pada lokus supra desa juga
berarti memperluas pemahaman tentang struktur dan kultur gerakan. Pertama, skala oposisional petani diperluas dan struktur kognisinya dirubah sampai pada
pemahaman tentang persoalan pertanahan dalam skala makro nasional bahkan global. Kedua, telah terjadi perkembangan institusionalisasi dan diferensiasi
organisasi gerakan dalam ranah sosio-politik. Ketiga, posisi dan peran antar aktor strategis dan organiasi gerakan semakin terdiferensiasi, sehingga
manajemen gerakan tidak lagi berbasis pada struktur otoritas tradisional, tetapi sudah mengarah pada karakteristik manajemen moderen yang didominasi oleh
aktor non petani. Keempat, dominasi aktor strategis non petani berkonsekuensi pada gerak organisasi gerakan yang cenderung diarahkan sesuai dengan
kepentingan dan kultur mereka daripada kepentingan dan kultur petani.
6.3.3. Penguatan Struktur Mobilisasi Sumberdaya Pendukung
Meskipun secara keseluruhan terjadi percepatan proses rekruitmen partisipan anggota dalam gerakan, rekruitmen di kalangan non petani lebih
mudah dan lebih cepat dibanding rekruitmen di kalangan petani. Dimungkinkan percepatan akumulasi sumberdaya mobilisasi di kalangan non petani karena
keberadaan mereka terkonsentrasi di wilayah perkotaan, lebih mudah diakses, dan di antara mereka sudah terjadi hubungan baik. AR, seorang mantan Sekjen
DRL mengatakan:
Banyak organisasi yang kita libatkan, tapi mereka sebenarnya adalah orang kita- kita juga. Sebab waktu itu kita perlu membentuk wadah gerakan yang legal formal
dan kuat. Memang waktu itu banyak yang dari partai politik oposisi Orde Baru, karena mereka merupakan basis strategis untuk koalisi dalam proses menghadapi
suatu kepentingan politik. Meskipun ada beberapa lembaga lain yang ikut berga- bung, tapi sebenarnya mereka ya dari kita-kita juga.
123
Oleh karena itu, meskipun nampak bahwa gerakan petani itu didukung oleh berbagai elemen masyarakat sipil dan partai politik, tetapi para aktornya tidak
banyak yang baru, karena di antara mereka sudah saling kenal dengan baik. Ciri ini juga berlaku dalam rekruitmen individu petani yang mampu berperan penting
dalam ikut membidani lahirnya gerakan dan organisasi gerakan petani.
253
Solidaritas sosial dan komitmen moral untuk mendukung perjuangan petani nampak menonjol dalam tahap awal gerakan sehingga mempermudah proses
konsolidasi para partisipan kelompok pendukung. Gerak langkah mereka sangat solid di dalam mengawal aksi-aksi kolektif meskipun belum diikat secara formal
dalam suatu wadah organisasi. Pada konstruksi gerakan dari bawah, organisasi konsorsium DRL baru dibentuk 12 Agustus 1998 menjelang dilakukan aksi
unjuk rasa besar-besaran di Kantor Gubernur 25-26 Agustus 1998. Terbentuknya struktur mobilisasi sumberdaya pendukung dalam wadah
konsorsium juga memiliki ambivalensi. Kehadirannya selain memiliki kekuatan tersendiri juga mengurangi otonomi organisasi tani. Organisasi konsorsium selain
terdiri dari beragam karakteristik anggota juga jelas sarat dengan beragam kepentingan. Eksistensinya tidak bisa menjadi pusat artikulasi kepentingan dan
partisipasi petani. Oleh karena itu, ketika organisasi tani masuk menjadi bagian dari jangkauan kontrol DRL, maka secara otomatis dia rentan menjadi ajang
perebutan kepentingan dari berbegai kelompok. Terbentuknya Tim 13 tahap I 26 Agustus 1998 dan tahap II 27 Maret
2001 selain menunjukkan kekuatan organisasi konsorsium dan organisasi tani dalam melakukan tekanan-tekanan politik, pada dasarnya juga merupakan suatu
bentuk terjadinya kompromi politik antara organisasi gerakan dengan pemegang otoritas pemerintah provinsi. Kesepakatan ini pada satu sisi dapat meredam
aksi-aksi kolektif petani dalam gerakan, tetapi pada sisi lain menjadi bias kepentingan negara dan pengusaha. Banyak rekomendasi yang berhasil dibuat
dan diajukan ke Gubernur tetapi tidak ada tindak lanjutnya. Dalam perkembanganya mulai tahun 2002 keanggotaan Tim 13 sudah murni bentukan
pemerintah dengan persetujuan Manteri dan keanggotaan dari organisasi tani ditiadakan karena dianggap “duri dalam daging”. Dengan demikian, jelas bahwa
253
Termasuk “individu petani aktivis” adalah mereka yang terlibat secara individual karena pengalaman peran mereka yang penting di dalam pemberdayaan masyarakat petani. Seperti dalam tubuh SPL mereka banyak
yang sudah berpengalaman menjadi kader Bina Desa sebagai PO Peasant Organizer tetapi tidak mewakili komunitas petani di wilayah tertentu atau tidak berposisi sebagai tokoh atau pemimpin komunitas petani di
wilayah tertentu.
124
keberadaan Tim 13 di bawah kontrol pusat Menteri semakin menjadi instrumen efektif untuk melemahkan gerakan-gerakan petani di Lampung.
6.3.4. Aksi Kolektif Petani dan Efeknya