102
mendorong berkembangnya perilaku oposisi petani. Kesadaran konfliktual petani tumbuh sejalan dengan berkembangnya sub-kultur alternatif dengan segenap
unsur-unsurnya yang terwujud dalam sub kultur oposisi petani. Ini dapat menjadi suatu “tool kit” yang sangat berguna untuk mengkonstruksi tindakan-tindakan
strategis dalam perjuangan selanjutnya.
5.5. Ikhtisar
Obyek ketegangan struktural agraria di Lampung berbasis pada persoalan pertanahan, khususnya persoalan penguasaan tanah yang merugikan petani.
Persoalan pertanahan tersebut bersifat akumulatif karena tidak terselesaikan secara tuntas, dan bersifat masif dan merata di wilayah kabupaten dan kota.
Secara umum sumber utama ketegangan terletak pada kebijakan pembangunan, seperti program translok dan kebijakan agraria yang mengabaikan pentingnya
penguasaan tanah bagi komunitas lokal petani. Secara umum pada masa Orde Baru makna tanah yang dikuasai negara diubah menjadi suatu komoditas atau
lebih dilihat dalam fungsi ekonomi daripada fungsi sosio-kultural. Komodifikasi pertanahan ini kemudian diintegrasikan ke dalam pasar yang lebih luas
merangsang berkembangnya iklim agroindustri. Para pemodal besar masuk, sektor agroindustri tumbuh pesat dengan penguasaan tanah secara besar-
besaran sebagai faktor produksi utama. Secara khusus sumber utama ketegangan struktural agraria terletak pada
tataran implementasi. Dalam praktek kebijakan pembangunan tersebut berjalan seiring dengan jumlah petani yang kehilangan tanahnya karena terjadi
pembebasan dan pengambil-alihan tanah oleh nagara secara besar-besaran demi pembangunan. Tanah-tanah tersebut sudah dikuasai secara aktif oleh
petani baik secara hukum, secara adat, maupun secara historis. Fenomena tersebut menunjukkan bangunan sistem agraria antagonis yang
meminggirkan komunitas lokal petani dan terciptanya struktur hubungan agraria yang timpang asimetris. Dampaknya terhadap kondisi kehidupan petani adalah
berkembangnya deprivasi relatif dan absolut dan rasa ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Maraknya konflik-konflik pertanahan di Lampung menunjukkan
bahwa ketidaksesuaian hubungan antar elemen sistem agraria antara negara dan swasta dengan komunitas petani tidak pernah diarahkan menuju pada satu
titik temu, bahkan semakin melegitimasi praktik peminggiran masyarakat petani. Pada masa Orde Baru, tumbuhnya ideologi egalitarian atau neo-populis pada
103
aras lokal memperkuat daya dorong munculnya protes-protes petani berkembang menjadi gerakan lokal-tradisional.
Dengan demikian, sumber utama ketegangan struktural agraria di Lampung tidak semata-mata terletak pada interest masing-masing pihak terhadap tanah
maupun pada praktik ketidakadilan, tetapi lebih pada konstruksi struktur hubungan agraria berbasis kepentingan pembangunan yang termanifestasikan
dalam praktek ketidakadilan. Sistem agraria Orde Baru disadari oleh petani sebagai penghalang struktural berlapis yang sulit ditembus dengan
mengandalkan gerakan lokal. Posisi petani yang underdog, termarginalkan dan tersubordinasi yang demikian kuat dengan jelas dilakukan secara sistematis
struktiral. Kondisi ini melahirkan dua bentuk sikap petani, yakni pasif dan reaktif. Sikap reaktif petani termanifestasikan dalam bentuk perjuangan kolektif
berkembang sesuai dengan tingkat kekuatan struktur sumberdaya mobilisasi dan derajat tekanan atau peluang untuk bergerak.
Pada masa otoriterianisme Orde Baru perjuangan kolektif petani sudah dilakukan mulai dari protes, gerakan konsensus dan terakhir gerakan lokal-
tradisional. Pada satu sisi, proses dan tahapan tersebut menunjukkan adanya inovasi strategi perjuangan petani. Akan tetapi, upaya-upaya mereka mengalami
kegagalan dan gerak perjuangannya menjadi stagnan, mudah dihambat dan dilemahkan.
Kegagalan gerak perjuangan petani pada tataran lokal di Lampung tersebut secara akumulatif memicu muncul dan berkembangnya sub kultur oposisi petani.
Sub kultur oposisi petani ini mengandung sumberdaya mobilisasi petani. Ketika terbuka peluang politik reformasi akumulasi sumberdaya potensial tersebut
dengan mudah dapat dimobilisir dalam bangunan kekuatan aksi-aksi kolektif dalam gerakan sosio-politik petani gerakan petani terorganisir.
104
Tabel 9 Sumber Utama Ketegangan Struktural Agraria dan Perjuangan Petani
Kebijakan Pembangunan
Sumber Umum Praktik Penguasaan
Tanah Sumber Khusus
Dampaknya Terhadap Kondisi Petani
1. Terintegrasinya tanah dalam struktur kepen-
tingan ekonomi dan politik supra lokal.
1. Delegitimasi alas
hak atas tanah pe-tani
tradisional. 1. Deprivasi obyektifabsolut Mis-kin,
pekerja kasarrendahan, buruh tani dan buruh perusa-haan, pekerja
tak tetap, meng-anggur. 2. Penetrasi kapitalisme:
komersialisasi dan politisasi tanah yang
mendorong masuknya para pemodal.
2. Mengabaikan sistem
ganti rugi yang adil. 2. Deprivasi subyektifrelatif ingin
hidup lebih sejahtera seperti mereka yang memiliki tanah.
3. Tanah sebagai faktor produksi utama yang
harus dikuasai secara besar-besaran.
3. Pembebasan tanah
melanggar hukum. 3. Berkembangnya rasa ketidak
adilan dan ketidakmerataan akses, partisipasi, kontrol dan
perolehan manfaat pembangunan.
4. Memperburuk sistem
administrasi pertanahan.
5. Mengingkari janji dan kesepakatan.
4. Pengaruh ideologi luar demokrasi, egalitarian, neo populis.
Perjungan Petani Dalam Sistem Politik Otoriter Orde Baru
1. Protes: Gerakan tak berbentuk, berupa reaksi-reaksi spontan, emosional, sporadis baik
sembunyi maupun terbuka biasanya dalam bentuk kekerasan fisik atau amuk massa. Hasilnya selalu gagal dan dengan mudah ditekan dan dilemahkan.
2. Gerakan Konsensus: Komunitas petani lokal berjuang bersama bertujuan untuk
menyelesaikan persoalan pertanahan baik melalui jalur hukum maupun dengan cara mediasi dan negosiasi. Hasilnya banyak yang tidak terselesaikan.
3. Gerakan Lokal-Tradisional: Aksi-aksi kolektif non institusional dengan ciri-ciri organisasi
sederhana, berbasis data dan strategi aksi; terikat oleh otoritas tradisi setempat; berlokus lokal wilayah komunitas petani tertentu; berorientasi material tanah kembali atau ganti rugi.
4. Berkembang Sub Kultur Oposisi Petani: realitas sosio-kultural melawan dominasi yang
direproduksi secara aktif dalam struktur schemata petani, di dalam ruang-ruang interaksi dan berkembang selama persoalan pertanahan struktural berlangsung.
Sumber: Hasil riset, 2008.
105
BAB VI DEKONSTRUKSI STRUKTUR POLITIK, MOBILISASI SUMBERDAYA,
PEREBUTAN KUASA DAN STAGNASI GERAKAN AGRARIA
6.1. Struktur Sumberdaya Mobilisasi dan Anatomi Gerakan Petani
Gerakan petani di Lampung tidak terlepas dari bagaimana latar internal organisasionalnya, terutama terkait dengan prakondisi munculnya gerakan,
peran jaringan kelompok pendukung, dan posisi aktor strategisnya. Pertama, gerakan petani di Lampung dipicu oleh kondisi khusus, yakni berkembangnya
ketegangan struktural agraria. Kedua, persoalan pertanahan tidak terselesaikan secara tuntas di lapangan, bahkan terjadi secara akumulatif dan merata. Ketiga,
gerakan tersebut didukung kuat oleh elemen masyarakat sipil. Keempat, peran elemen non petani sama kuatnya dengan elemen petani dalam mencapai
keberhasilan dan dalam menentukan pasang surutnya aktivitas gerakan petani. Sebagai suatu gerakan sosial dalam skala provinsi, maka gerakan petani ini
direncanakan dengan matang dan terorganisir dengan baik. Meskipun dilihat dari proses penguatan struktur organisasi gerakan petani dibedakan antara gerakan
konstruksi dari atas dan dari bawah, kesamaan di antara keduanya adalah disyahkan melalui konggres, yakni semakin diformalkannya organisasi gerakan
petani baik sebelum maupun sesudah melakukan aksi-aksi kolektif. Oleh karena itu, gerakan petani di Lampung dapat dikatakan sebagai gerakan sosial karena
memenuhi semua unsur-unsurnya.
6.1.1. Konstruksi Gerakan dari Atas: Kasus Serikat Petani Lampung SPL
Sebelum SPL berdiri, pada tanggal 21 September 1998 para aktivis petani dan non petani dari berbagai daerah di Lampung diajak untuk mengikuti seminar
Pembaruan Agraria di Musium Lampung, Gedung Meneng, Bandar Lampung. Mereka dari aktivis LSM terdiri dari anggota Walhi, Bina Desa, YPBHI, Yasa-
dana, LBMD Metro, dan dari Banser NU PKB. Semua lembaga itu LSM, Ormas dan Partai Politik mengikutkan anggotanya sebagai wakil untuk ikut ke Jakarta.
Sedangkan yang dari wakil petani berasal dari Lampung Selatan, Lampung Utara, Tanggamus, Lampung Tengah dan Tulang Bawang. Semuanya sebanyak
60 orang utusan perwakilan pergi ke Jakarta yang difasilitasi oleh YPBHI