91
struktural. Realitas ini diperkuat dengan sikap pemerintah yang cenderung diam dan terkesan tidak mau tahu bahkan ‘membiarkan’ ketika aparat keamanan
digunakan perusahaan untuk meredam reaksi masyarakat. Bahkan pada kasus lain, pemerintah oleh masyarakat setempat dianggap telah turut membantu
pengusaha dalam melakukan tindak penipuan dan membodohi petani dengan menebar janji-janji palsu demi suksesnya pembangunan.
5.2. Menurunnya Kondisi Kehidupan Petani
Struktur hubungan agraria asimetris di Lampung ternyata mengandung sifat statika, sehingga dalam jangka panjang petani tetap lemah dalam akses,
partisipasi dan kontrol atas penguasaan sumberdaya tanah. Bahkan hingga saat ini struktur hubungan tersebut tidak pernah berubah secara berarti.
239
Petani tetap berada dalam jangkauan kontrol negara secara ketat sesuai dengan aturan
main yang berlaku yang tidak memihak kepentingan petani. Kondisi struktural tersebut menyebabkan berkembangnya deprivasi absolut dan relatif, merasa
diperlakukan tidak adil, dan berkembangnya ideologi egalitarian. Saling terkait di antara kondisi-kondisi tersebut menjadi landasan bagi munculnya protes-protes
petani berkembang menjadi gerakan sosial petani. 1. Deprivasi absolutobyektif. Di beberapa wilayah konflik pertanahan banyak
petani yang miskin dan tidak memiliki lahan garapan. Kebijakan agroindustri, hutan lindung, hutan konservasi dan program translok sebagai solusi justru
menyengsarakan petani. Mereka banyak yang tidak lagi menjadi petani otonom, menguasai dan menggarap lahannya sendiri. Dampak terhadap
penurunan kondisi obyektif lainnya seperti rumah yang hilang atau hancur, pendidikan anak terlantar, pekerjaan yang hilang, beban psikologis yang
berat dan sebagainya. Contoh kasus kondisi kemiskinan penduduk di Padang Ratu ibarat “kelaparan dalam himpitan lumbung padi”:
Di kecamatan Padang Ratu, Anak Tuha dan sekitarnya telah beroperasi empat perusahaan perkebunan besar yakni CV. Bumi Waras Group, PT. Taring Mas,
PTPN VII, dan PT.Tris Delta Agrindo. Perusahaan tersebut menggunakan tanah Marga Anak Tuha sehingga tanah yang dikuasai masyarakat setempat adalah
sisanya yang sempit dan berada di sela-sela antar areal perkebunan besar. Akibatnya banyak penduduk yang miskin, terasing secara geografis dan sosio-
kultural dengan lingkungan perkebunan, dan wilayah tersebut rawan kejahatan.
239
Banyak contoh kasus di Lampung yang masih terjadi hingga saat ini, antara lain: 1 Pada hari Sabtu, 16 Januari 2009 warga Kampung Gunung Keramat, Kecamatan Abung Semuli, Lampung Utara melakukan
unjuk rasa berhadapan dengan PT. GGP dan terjadi kericuhan sehingga 14 orang warga ditangkap; 2 Sebanyak 2.122 warga Moro-Moro yang menempati wilayah Register 45 mereka mempunyai hak pilih tetapi
tidak bisa memilih karena tidak memiliki KTP dan usulan penerbitan KTP di wilayah tersebut di tolak pemerintah setempat. Wilayah yang diduduki petani tersebut merupakan wilayah HTI yang dikuasai PT. SI
melalui keputusan Menteri Kehutanan No.93KPTS-111997, tanggal 17 Februari 1997.
92
Meskipun sebagian lahan yang dikuasai perusahaan sudah dikuasai kembali oleh masyarakat setempat di reklaiming, hingga tahun 2005 masih terdapat 7.000
keluarga yang termasuk dalam kategori keluarga prasejahtera. Wilayah ini juga termasuk wilayah kecamatan yang menerima Raskin beras untuk rakyat miskin
terbesar di kabupaten Lampung Tengah Sumber: Dokumen KBH Lampung dan Mirak Nadai. Memorandum Hukum, 2005.
2. Deprivasi relatifsubyektif. Paling tidak terdapat lima kelompok kasus yang
dapat diidentifikasi terkait dengan deprivasi relatif. Pertama, melalui program translok, banyak petani yang kemudian dipindah paksa oleh pemerintah di
wilayah lain. Ternyata kondisi lahan di tempat tujuan jauh lebih buruk dari kondisi di tempat asal, sehingga mereka harus merangkak lagi dari bawah.
Kedua, karena akan dibuat perkebunan oleh perusahaan maka petani yang sudah bermukin dipindah paksa di tempat lain yang tidak jelas statusnya dan
kondisinya jauh lebih buruk dari kondisi semula. Ketiga, mereka membanding petani lain yang hidupnya berkecukupan secara ekonomi karena memiliki
lahan yang dikelola sendiri. Keempat, petani yang kecewa karena tanahnya sudah diambil-alih oleh perusahaan tetapi mereka tidak diberi kesempatan
yang baik untuk bekerja di perusahaan tersebut. Kelima, dalam aksi reklaiming jumlah petani yang mengambil kembali haknya atas tanah relatif
sama banyaknya dengan yang “menjarah”. Mereka yang ikut dan yang menguasai lahan hasil reklaiming banyak yang tidak miskin secara obyektif.
3. Meningkatnya rasa ketidakadilan. Program-program pembangunan di pedesaan berdampak pada penurunan drastis kondisi sosial, ekonomi, dan
psikologis petani. Mereka menjadi obyek atau subyek pasif sehingga lemah dalam akses, partisipasi, kontrol dan perolehan manfaat pembangunan.
Mereka ditaklukkan melalui stigma politik, pendekatan keamanan dan tuduhan melakukan serangkaian tindakan melawan hukum dan diberi sangsi.
Komunikasi dan hukum di sumbat rapat-rapat, sehingga mereka banyak yang menjadi korban pembangunan. Sifat dan kondisi pedesaan di Lampung yang
sudah terbuka terhadap dunia luar atau dengan lingkungan pergaulan yang lebih luas memungkinkan aspirasi kehidupan mereka meningkat. Tuntutan
terhadap peningkatan kualitas hidup sudah merasuk dalam relung kehidupan masyarakat desa. Meningkatnya aspirasi kehidupan yang tidak diimbangi
capaian yang sesuai mendorong munculnya berbagai ketidapuasan. 4. Pengaruh ideologi egalitarian atau populis. Kondisi dan posisi petani yang
lemah dan merasa diperlakukan tidak adil dalam proses pembangunan, menyadarkan mereka untuk berjuang dan memungkinkan masuknya ideologi
93
perjuangan yang sesuai. Petani difahami memiliki otonomi kehidupan, harus memiliki lahan dan bebas menggarapnya sendiri. Tuntutan petani menjadi
berubah seiring semakin kuat diterimanya ideologi perjuangan yang sesuai. Ideologi egalitarian atau neo-populis tumbuh subur, berkembang pesat dan
dapat diakses dari berbagai sumber. Paket ideologi yang diusung dari luar dan lebih berorientasi postmaterial bersifat strategis yang mendukung
pencapaian kepentingan material petani tanah yang bersifat praktis.
Seperti tuntutan petani desa Sinar Rejeki dan sekitarnya di wilayah Register 40 Gedung Wani pada awalnya berupa pengelolaan lahan tumpang sari. Tuntutan ini
diajukan karena desakan kebutuhan ekonomi dan saat itu masih masa Orde Baru. Ketika aktif menjadi anggota organisasi gerakan maka tuntutan mereka berubah,
yakni tanah kembali kepada petani dan sertifikasi tanah. Tetapi dalam banyak kasus pembebasan tanah petani pada awalnya direspon dengan tuntutan ganti rugi
yang memadai atau memperoleh hak garap kembali. Tuntutan petani harus berdaulat, hutan kerakyatan, reforma agraria dari petani dan sebagainya itu bukan
dari petani tetapi dari kawan-kawan aktivis Sumber: Hasil wawancara dengan bapak MZ, seorang tokoh gerakan petani di desa Sukadamai, 2008.
5.3. Sulitnya Perjuangan Petani di Era Orde Baru