Langkat Era Kemerdekaan Sejarah Singkat Langkat

17 Belilir Kecamatan Kuala, Tanjungpura, Pangkalan Berandan, Besitang. Di Besitang dikenal dengan perlawanan berdarah oleh H.O.K. Nurdin yang bergelar Datuk Setia Bakti Besitang yang menghadang satu kompi pasukan Jepang dan akhirnya beliau tewas oleh pengeroyokan puluhan serdadu Jepang. Pada masa itu yang yang menjabat sebagai sultan di Langkat adalah Sultan Mahmud yang memang kurang mampu dan kurang berani dalam membela rakyatnya, karena setiap gerak dan langkahnya selalu diintai oleh pihak Jepang. Setiap keputusan yang akan diambil oleh Sultan Mahmud harus diketahui dan disetujui oleh pemerintahan Jepang Arifin, 2008:43 —46.

2.1.3 Langkat Era Kemerdekaan

Berita kemerdekaan Indonesia itu belum terdengar di Medan dan Langkat karena pada masa itu belum ada televisi sedangkan radio juga masih sulit dipunyai. Berita kemerdekaan Indonesia baru diterima melalui telegram pada tanggal 6 September 1945 secara berantai dari Jakarta melalui Bukit Tinggi maka, sejak itu berkibarlah Sang Merah Putih di tanah Langkat. Negara Republik Indonesia untuk Provinsi Sumatera secara resmi diumumkan pada tanggal 3 Oktober 1945 dengan gubernur dan wakilnya yaitu Teuku Muhammad Hasan dan Dr. M. Amir. Untuk meyakinkan raja-raja di Sumatera Timur tentang kemerdekaan Indonesia maka Dr. M. Amir melakukan koordinasi dan pertemuan dengan Sultan Mahmud Abdul Aziz di Istana Sultan Langkat di Tanjung Pura pada tanggal 24 Oktober 1945. Kedatangan Dr. M. Amir disambut oleh Sultan Mahmud Abdul Aziz yang didampingi oleh T. Amir Hamzah yang ketika itu merupakan pangeran kerajaan Langkat atau raja muda. Pada pertemuan itu dijelaskan bahwa Kesultanan Langkat kedudukannya adalah Universitas Sumatera Utara 18 sebagai daerah istimewa, yang pada akhirnya melahirkan kesepakatan pertemuan sebagai berikut, 1 Kesultanan Langkat berada di bawah perlindungan dan naungan Pemerintah Republik Indonesia, yaitu Gubernur Sumatera, 2 Tengku Amir Hamzah diangkat dan ditetapkan menjadi asisten residen Pemerintah Kabupaten Langkat. Ibu kotanya berkedudukan di Binjai. Kemudian pada tanggal 26 Oktober 1945 Gubernur Sumatera mengeluarkan surat keputusan bahwa T. Amir Hamzah ditetapkan sebagai asisten residen Republik Indonesia untuk wilayah Langkat setingkat dengan Bupati pada masa sekarang. Dengan adanya penetapan tersebut maka kunci utama untuk melancarkan jalannya pemerintahan Republik Indonesia di daerah keresidenan Sumatera Timur adalah Sultan Langkat. Pada 3 Maret 1946 terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur yang dilakukan oleh rakyat. Rakyat menuntut agar Pemerintahan Istimewa Sistem Kerajaan di Sumatera Timur dibubarkan. Revolusi ditujukan kepada golongan- golongan yang berkhianat kepada bangsa dan tanah air Indonesia. Rakyat pun mulai menyerang istana raja-raja yaitu Deli, Langkat, Asahan, Siantar, Tanah Karo dan lain-lain. Namun Sultan Deli yang berada di Istana Maimoon terlindungi dari amukan rakyat karena ketika itu pendudukan serdadu Inggris di mana pasukan Sekutu menempatkan markas mereka di Istana Maimoon sehingga gerakan revolusi sosial tidak dapat menyerang istana Maimoon. Rakyat menculik tokoh-tokoh feodalis KerajaanKesultanan Langkat di antaranya adalah Sekretaris Sultan Langkat yaitu Datuk M. Jamil yang sangat radikal memihak kepada Pemerintahan Kolonial Belanda dan akhirnya tewas ketika melawan dan menghadang rombongan yang akan memasuki istana. Universitas Sumatera Utara 19 Penyerangan yang mengatasnamakan rakyat ini dipelopori oleh tokoh Partai Komunis PKI Langkat serta Tokoh Pesindo Langkat. Selain keluarga besar Sultan Mahmud yang menjadi korban revolusi sosial, Tengku Amir Hamzah juga menjadi korban fitnah. Tengku Amir Hamzah yang semasa hidupnya dikenal sebagai raja Penyair Pujangga Baru juga dikenal sebagai politikus. Tengku Amir Hamzah dianggap tidak mampu bertindak tegas sebagai seorang asisiten residen Bupati. Maka pada tanggal 3 Maret 1945 ketika ia bersama dengan istri dan anak tunggalnya T. Tahura Alautiah yang masih kecil menunggu mobil jemputan, beberapa orang pemuda membawa paksa Tengku Amir Hamzah dan dibawa sebagai tawanan di sebuah gudang di Perkebunan Tembakau Kuala Begumit arah pedalaman Binjai. Beliau dituduh sebagai kaki tangan Belanda dan pengkhianat Bangsa Indonesia. Maka setelah beberapa hari beliau ditangkap dan ditawan, pada tanggal 20 Maret 1946 pukul 1.15 dini hari Tengku Amir Hamzah dibawa ke arah Stabat dan dipancung mati di sebuah lubang bersama 18 orang lainnya Arifin, 2008:76.

2.1.4 Tanjung Pura dan Pangkalan Brandan Dibumihanguskan Pasca- Kemerdekaan