BAB III KERANGKA KONSEPTUAL, KERANGKA TEORI,
DAN TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tinjauan Pustaka
Bab ini merupakan tinjauan pustaka tentang penelitian intonasi dan penelitian yang berkaitan dengan aspek-aspek emosi yang pernah dikaji dalam
bentuk tesis, disertasi, dan buku. Penelitian intonasi, yang bersifat eksperimental memang masih kurang apalagi yang berkaitan dengan aspek-aspek emosi. Hal ini
mungkin disebabkan oleh rumitnya penelitian ini yang harus berhubungan dengan alat bantu eksperimental, yang dalam hal ini peneliti akan menggunakan alat
bantu komputer dengan program Praat versi 4.0.27. Oleh karena penelitian ini menguraikan tentang intonasi dan yang
berkaitan dengan aspek-aspek emosi bahasa Melayu Langkat, maka tinjauan penelitian terdahulu ini akan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
1. tinjauan pustaka, 2. tinjauan penelitian intonasi dari aspek emosi.
3.2 Penelitian-penelitian Intonasi
Penelitian-penelitian mengenai intonasi yang akan dibahas adalah penelitian-penelitian terhadap bahasa yang ada di Indonesia yaitu penelitian Halim
1969, Ebing 1997, Siregar 2000, Sugiyono 2003, Rahyono 2003, Syarfina 2008, Syarfina dan Silvana Sinar 2010, Hesti Fibriasari 2012, dan Rohani
Ganie 2014.
Universitas Sumatera Utara
31 Di dalam bagian berikut, peneliti akan membahas penelitian-penelitian
tersebut yang akan menjadi rujukan dan mengarahkan peneliti dalam penyelesaian penelitian ini.
3.2.1 Amran Halim
Penelitian Halim 1969 dalam bukunya yang berjudul ―Intonasi dalam
Hubungannya dengan Sintaksis Bahasa Indonesia‖. Penelitian ini mempunyai tujuan dan permasalahan tentang intonasi bahasa Indonesia. Tujuan pertama,
adalah memerikan intonasi bahasa Indonesia dalam hal ciri-ciri prosodi suprasegmental seperti penempatan tekananaksen, tingkat tinggi nada, jeda dan
kelompok jeda. Tujuan kedua, adalah menjelaskan tentang letak intonasi dalam hubungannya dengan kalimat untuk memerikan intonasi yang mencakup pola-pola
intonasi, satuan-satuan fonologis yang menandai ciri-ciri intonasi, fungsi intonasi dan hubungan intonasi dengan tata kalimat. Sasaran penelitian Halim adalah
intonasi bahasa Indonesia lisan informal. Penjaringan data informan primer dilakukan terhadap dirinya sendiri dan istrinya yang berasal dari Sumatera
Selatan, sedangkan informan sekunder yang terdiri atas tiga belas orang bukan berasal dari Sumatera Selatan. Penelitian yang dilakukan Halim terkait dengan
hubungan struktural antara kalimat dengan wacana melalui pola intonasinya. Pola intonasi itu menggunakan notasi angka Arab 1, 2, 3, dan 4 untuk melambangkan
ketinggian nada. Penelitian Halim menggunakan parameter untuk menentukan karakterisasi
intonasi dalam bahasa Indonesia secara hierarkis yaitu dengan empat unit intonasi distingtif sebagai berikut: 1 pola intonasi total, 2 kelompok jeda, 3 kontur,
Universitas Sumatera Utara
32 baik prakontur maupun kontur pokok atau kontur primer, dan 4 fonem
intonasi: tingkat tinggi nada TT, tekanan, dan jeda. Dari paparan di atas dapatlah diambil simpulan bahwa fonem intonasi
adalah satuan terkecil dalam intonasi. Fonem intonasi itu membentuk satuan yang lebih besar yakni kontur, dan kontur itu pula membentuk satuan yang lebih besar
lagi yang dinamakan kelompok jeda. Oleh karena itu, pola intonasi total merupakan satuan terbesar yang dibentuk oleh kelompok jeda.
Tahap prosedur penelitian Halim dilakukan sederhana, yaitu dengan cara perekaman data ujaran dan mengidentifikasi tekanan dan intonasi dengan
menggunakan alat bantu teknis mingograf dan untuk menganalisis intonasi pada tahap terakhir yaitu menganalisis data. Ananlisis intonasi data dilakukan dengan
pelacakan mingograf yang menghasilkan gambar yang terdiri atas signal akustik, pola nada kurva melodi, dan pola intensitas. Melalui pelacakan mingograf ini
Halim dapat menemukan letak tekanan kata. Temuan penting yang ditemukan Halim, adalah sebuah pola intonasi yang
terdiri atas kelompok jeda atau lebih. Jumlah kelompok jeda dalam sebuah pola intonsi sedikit banyak tergantung kepada struktur sintaksis kalimat yang
terkandung di dalamnya, kemudian kelompok jeda ini dapat dihubungkan dengan ketegori ‗topik‘ dan ‗sebutan‘.
Kontribusi penelitian Halim, yaitu menyatakan bahwa tekanan di dalam bahasa Indonesia adalah tonotemporal, yang dapat dibentuk oleh tinggi nada dan
durasinya.
Universitas Sumatera Utara
33
3.2.2 Ewald F. Ebing
Penelitian Ebing 1997 berbentuk buku yang berjudul ―Form and
Function of Pitch Movements in Indonesian ‖ini merupakan penelitian yang
bertolak dari hasil penelitian intonasi bahasa Indonesia yang dilakukan Halim 1969, tetapi penelitian Ebing lebih sempurna dan modern karena sudah
menggunakan alat eksperimental yaitu komputer sehingga akurasi yang didapat lebih tinggi. Penelitian Ebing bertujuan pada penemuan ciri pokok intonasi bahasa
Indonesia, dengan cara merekonstruksi model intonasi bahasa Indonesia.
Ada dua permasalahan utama yang dibahas dalam penelitian Ebing yaitu bagaimana konfigurasi alir nada yang secara perseptual membentuk model
melodis intonasi dalam bahasa Indonesia dan elemen apakah yang diperlukan untuk membentuk model tersebut. Menurut Ebing, intonasi adalah bagian dasar
melodi ujaran yang ditentukan oleh sistem linguistik di atas tingkat leksikal. Melalui dua permasalahan utama yang dibahas Ebing ini ditunjukkan bahwa
tujuan utama penelitiannya adalah lebih ditekankan pada alir nada yang membentuk model melodi intonasi.
Penjaringan data menggunakan monolog dari informan yang berupa kuasispontan, kemudian dari monolog itu diambil dua puluh empat penggalan
wacana yang diolah dan digunakan sebagai stimulus di dalam uji persepsi. Penggalan wacana tersebut bukanlah sebuah kalimat secara utuh tetapi merupakan
frasa, klausa, atau kalimat yang tidak lengkap. Sedangkan untuk pengolahan data, Ebing sudah menggunakan IPO-Approach, peralatan yang digunakan sudah lebih
baik di bandingkan dengan peneliti-peneliti sebelumnya, sehingga program
Universitas Sumatera Utara
34 PRAAT yang digunakan dapat menganalisis data dengan cara memanipulasi dan
memodifikasi parameter intonasi secara akurat. Simpulan penelitian Ebing, bahwa penutur bahasa Indonesia tidak mampu
mengenali variasi-variasi nada secara baik dan cermat. Penutur bahasa Indonesia memiliki toleransi yang tinggi terhadap penyimpangan pola intonasi yang
didengarnya dan yang diketahuinya. Kontribusi penelitian Ebing, menyatakan bahwa tekanan tuturan di dalam
bahasa Indonesia tidak mempunyai keharusan untuk meletakkan di mana tekanan itu berada.
3.2.3 B.U. Siregar
Penelitian Siregar 2000 yang berjudul ―Fungsi Pragmatika Intonasi di
d alam Bahasa Indonesia: Suatu Kajian Awal‖adalah kajian yang membahas
tentang intonasi dari perspektif pragmatika khususnya tentang bagaimana kalimat- kalimat itu menghasilkan proposisi untuk menyampaikan informasi pragmatika.
Kajian Siregar ini adalah kajian awal yang mencoba untuk menjelaskan fenomena pragmatika intonasi, dan menjelaskan bahwa proposisi tertentu mungkin
dihasilkan oleh struktur yang setensial dan Siregar juga membahas sedikit tentang implikasi teori fungsi pragmatika intonasi setensial dalam pengajaran dan
pembelajaran bahasa Indonesia, pendapat ini bertolak dari kajian yang dilakukan oleh Pane 1950; Alisjahbana 1953; Halim 1974, dan Wojowasito 1978.
Kajian ini mencoba membahas tentang intonasi kalimat dalam bahasa Indonesia dari wawasan pragmatika. Beliau mengatakan bahwa intonasi adalah
pola perubahan nada kalimat yang dihasilkan penutur ketika berbicara. Pola tersebut dapat membagi suatu tuturan ke dalam satuan yang secara gramatikal
Universitas Sumatera Utara
35 bermakna dan dapat menunjukkan penggunaan yang khusus. Kemudian, di dalam
kajian ini Siregar berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: a Apakah perubahan pola intonasi yang membawa informasi pragmatika
dapat dikenali di dalam bahasa Indonesia? b Bagaimanakan perubahan pola intonasi pada sebuah ujaran melahirkan
proposisi yang membawa informasi, yang secara sintaktis dan semantik tidak berhubungan?
c Bagaimanakah informasi pragmatika ini diuraikan secara sistematis? d Apakah implikasi teoretis fungsi pragmatika intonasi kalimat terhadap
pembelajaran dan pengajaran bahasa Indonesia? Data diperoleh dari wawancara radio, televisi, dan dialog yang ada di
dalam film ataupun sinetron Indonesia juga sejumlah informan. Tujuan dari kajian ini adalah untuk memerikan informasi pragmatika yang dapat dikenali melalui
perubahan pola intonasi kalimat dalam bahasa Indonesia serta implikasinya terhadap pengajaran dan pembelajaran bahasa Indonesia.
Siregar mengatakan bahwa secara sintaksis, intonasi dalam bahasa Indonesia dapat memiliki ciri-ciri yang berhubungan kategori dan fungsi kalimat.
Intonasi dapat memberikan informasi kategorial, misalnya intonasi deklaratif, interogatif, dan imperatif juga memberikan informasi fungsional. Selain itu
intonasi secara semantik dapat mengubah makna kalimat. Kontribusi penelitian Siregar adalah a pola intonasi pada sebuah ujaran
dapat melahirkan proposisi yang secara siktaksis dan semantik tidak berhubungan, melalui konteks pertuturan yang sesuai, b perubahan pola intonasi yang
membawa informasi pragmatika dapat dikenali dan diuraikan secara sistematis
Universitas Sumatera Utara
36 melalui pengkategorian pola intonasi menjadi pola intonasi tak bermarkah dan
pola intonasi bermarkah, c beberapa tindak ujaran tertentu dapat dilakukan melalui perubahan pola intonasi di dalam bahasa Indonesia, dan d fungsi
pragmatika intonasi kalimat memiliki implikasi teoretis terhadap pembelajaran dan pengajaran bahasa Indonesia.
3.2.4 Sugiyono
Penelitian Sugiyono 2003 yang berbentuk disertasi berjudul ―Pemarkah
Prosodik Kontras Deklaratif dan Interogatif B ahasa Melayu Kutai‖.Sugiyono
melakukannya dengan alat eksperimental, yaitu menggunakan perangkat komputer. Tujuan penelitian Sugiyono adalah untuk mencari parameter prosodi
yang menandai kontras di antara ciri akustik dalam tuturan deklaratif dan tuturan interogatif bahasa Melayu Kutai. Kemudian penelitian ini mencari toleransi
modifikasi setiap ciri akustik yang signifikan yang ada pada modus deklaratif dan modus interogatif.
Permasalahan dalam penelitian Sugiyono yaitu 1 parameter akustik apa yang digunakan pembicara untuk menandai modus di dalam sebuah tuturan, 2
berapakah ambang setiap parameter akustik di dalam tuturan mereka, 3 bagaimanakah pembicara mengkombinasikan setiap parameter akustik dalam
merealisasikan tuturan dengan modus tertentu, 4 parameter akustik apa yang dijadikan patokan pendengar di dalam menentukan modus, 5 berapakah ambang
perseptual parameter akustik yang dapat memicu persepsi modus tertentu, 6 konfigurasi parameter akustik seperti apa yang dapat memicu persepsi modus
tertentu. Sugiyono dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas melakukan
Universitas Sumatera Utara
37 lima eksperimen yaitu dengan cara satu eksperimen produksi dan empat
eksperimen persepsi. Penelitian prosodik kontras deklaratif dan interogatif Bahasa Melayu Kutai
ini, Sugiyono memaparkan dan mendiskripsikan pengukuran komponen- komponen melodik yaitu tentang tinggi nada awal, nada akhir, puncak nada dan
julat nada, setiap komponen-komponen tersebut dapat ditemukan nilai terendah dan nilai tertinggi pada setiap melodik yang diukur.
Hasil penemuan penelitian Sugiyono ada enam alir nada pokok yang dibahasnya, kemudian temuan lainnya menunjukkan bahwa dalam tuturan
deklaratif maupun tuturan interogatif rentang julat nada tuturan bahasa Melayu Kutai yaitu antar 50,21 Hz dan 366,73 Hz dengan rerata 133,39 Hz. Tinggi nada
dasar tuturan laki-laki dan nada dasar tuturan perempuan ditemukan sangat signifikan , yaitu p0,0001. Modus deklaratif dan modus interogatif pada nada
dasar tuturan laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan nada dasar tuturan perempuan yaitu 181,86 Hz berbanding 283,01 Hz.
Kontribusi penelitian Sugiyono adalah bahwa persepsi terhadap pemarkah kontras deklaratif dan interogatif hampir semua varian onset P2 dapat memicu
munculnya persepsi kontras. Ekskursi P2 dan nada final menjadi parameter yang menentukan kedeklaratifan dan keinterogatifan tuturan.
3.2.5 F.X. Rahyono
Penelitian Rahyono 2003 berbentuk disertasi yang berjudul ―Intonasi
Ragam Bahasa Jawa Keraton Yogyakarta Kontras Deklarativitas, Interogativitas, dan Imperati
vitas‖. Penelitian Rahyono bertujuan untuk menemukan pola intonasi deklaratif, introgatif, dan imperatif dalam ragam bahasa Jawa yang digunakan di
Universitas Sumatera Utara
38 keraton Yogyakarta dan untuk menemukan ciri signifikan yang menandai kontras
modus kalimat-kalimat itu. Penelitian Rahyono menggunakan ancangan IPO Instituut voor Perceptie
Onderzoek. Ancangan IPO ini adalah model fonetik eksperimental dengan pendekatan bottom-up. Ancangan IPO bertolak dari signal akustik sampai pada
analisis statistik parameter akustik ujaran yang diteliti, dan titik awal dari penelitiannya ini adalah pengukuran frekuensi dasar Fo, tetapi titik berat
pendekatan ini adalah persepsi. Berdasarkan prinsip pendekatan itulah, IPOmencakup tiga kegiatan pokok, yaitu 1 produksi ujaran, 2 pengolahan data
yang berupa analisis akustik, dan 3 uji persepsi. Pola intonasi yang menjadi sasaran penelitian Rahyono, diperoleh melalui sejumlah data ujaran yang
diperiksa melalui uji persepsi dan dijaring dari dialog takspontan dipersiapkan dan dialog kuasispontan dengan menggunakan teknik rekam.
Data yang diperoleh dari dialog takspontan digunakan sebagai data primer, sedangkan data dialog kuasispontan digunakan sebagai data sekunder. Perekaman
data menggunakan alat perekam stereo cassette- recorder Sony WM-D6C dan mikrofon Shure professional unidirectional head-worn dynamic microphone
SM10A dan tidak dilakukan di studio rekaman tetapi dilakukan di luar studio. Dialog dilakukan oleh empat orang informan yaitu para abdidalem keraton yang
lahir dan dibesarkan di Yogyakarta, jumlah kalimat sasaran sebanyak 112 tuturan. Setiap penutur menghasilkan tuturan sebanyak 4 empat kali tujuh kalimat.
Seluruh data ujaran yang telah direkam diklasifikasikan ke dalam modus-modus kalimat dan kalimat sasaran itu pula dikelompokkan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah kelompok kalimat yang menggunakan unsur-unsur
Universitas Sumatera Utara
39 segmental yang sama dan menjadi tiga tuturan yang digunakan untuk
merealisasikan modus kalimat yang berbeda, yakni deklaratif, interogatif, dan imperatif, dan kelompok kedua adalah kalimat dengan modus interogatif dan
imperatif yang menggunakan pemarkah modus yang berbeda-beda. Temuan secara menyeluruh dapatlah dilihat bahwa kontras antara kontur
modus deklaratif dan imperatif ditandai oleh landaian garis dasar nada. Modus deklaratif didominasi oleh deklinasi, sedangkan pola modus imperatif didominasi
oleh garis dasar nada yang mendatar atau inklinasi. Pada modus imperatif rentang nada pada alir nada subjek dan alir nada final terlihat lebih seimbang. Kemudian
pada modus deklaratif rentang nada pada alir nada akhir relatif lebih rendah dibandingkan rentang nada pada alir nada subjek. Selanjutnya kontur pada modus
interogatif secara keseluruhan tidak ditentukan oleh landaian garis dasar nada dan penanda modus didominasi oleh pola alir nada final dan oleh keseimbangan
rentang nada pada semua alir nada di sepanjang kontur. Kontribusi penelitian Rahyono adalah tentang identitas modus dan kontras
pola intonasi modus deklaratif, interogatif, dan imperatif yaitu setiap modus memiliki pola intonasi dasar dan varian.
3.2.6 T. Syarfina
Syarfina 2008 dalam disertasinya yang berjudul ‖Ciri Akustik Sebagai
Pemarkah Sosial, Penutur Bahasa Melayu Deli‖. Syarfina mengkaji bahasa Melayu Deli yang tersebar di wilayah Kecamatan Medan Sunggal, Kecamatan
Hamparan Perak, Kecamatan Medan Maimun, dan Kecamatan Patumbak dengan tujuan untuk menentukan ciri akustik yang menandai kelompok-kelompok sosial,
juga untuk menemukan alir nada kalimat deklaratif, interogatif, imperatif, serta
Universitas Sumatera Utara
40 ciri akustik apa yang signifikan sebagai penanda modus. Cakupan penelitiannya
ada dua bidang yaitu penelitian fonetik eksperimental dan sosiolinguistik, dari segi eksperimental menggunakan teori Lehiste, 1970, Hayward 2001, dan ‗t Hart
et al 1990 diawali dengan mendeskripsikan ciri akustik tuturan bahasa Melayu Deli dari segi frekuensi, durasi dan intensitasnya. Hasil pengukuran tersebut
digunakan Syarfina untuk penelitian sosiolinguistik dengan menggunakan teori Hymes 1974.
Pengumpulan data tuturan bahasa Melayu Deli direkam data dijaring dengan menggunakan narasi dan menggunakan tuturan pembawa dalam tiga
modus yaitu modus deklaratif, interogatif, dan imperatif dengan menggunakan alat perekam bermerk SONY Stereo Cassette Corder WM-D6C dan head set mic
SHURE model SM 10A sedangkan kaset perekam yang digunakan adalah bermerk Sony dan Maxel yang berdurasi 60 menit. Jumlah penutur 108 orang 54
laki-laki dan 54 perempuan sebanyak 54 kalimat, sehingga jumlah data yang dituturkan sebanyak 1.944 tuturan. Responden terdiri atas kelas sosial atas, kelas
sosial menengah, dan kelas sosial bawah. Penelitian ini menggunakan alat bantu komputer program PRAAT versi
4.0.27. untuk pengolahan data. Pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap yaitu: digitalisasi, segmentasi data, pembuatan salinan kontur, dan Uji statistik.
Semua pendekatan dilakukan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitiannya yaitu 1 bagaimanakah alir nada pitch movement bahasa Melayu
Deli pada modus deklaratif, interogatif, dan imperatif? 2 apakah frekuensi, durasi, dan intensitas menandai kelompok sosial penutur bahasa Melayu Deli?,
Universitas Sumatera Utara
41 dan apakah modus deklaratif, interogatif, dan imperatif menandai kelompok sosial
penutur bahasa Melayu Deli? Temuan dari pertanyaan rumusan-rumusan di atas, menyimpulkan bahwa
alir nada modus-modus tersebut adalah alir nada naik, turun, naik-turun, naik- datar, datar-turun dan turun-naik. Pola alir nada itu berdasarkan pada kontur-
kontur nada kalimat deklaraif, interogatif, dan imperatif pada konstituen pemarkah interogatif, mengkale, pemarkah konfimatoris -kan, subjek, predikat, keterangan
tempat, dan nada final. Sedangkan temuan yang kedua adalah tidak ditemukan adanya perbedaan intensitas dasar pada variabel jenis kelamin, generasi,
pendidikan, dan pemakaian bahasa Melayu Deli. Sebaliknya, Syarfina menemukan adanya perbedaan pada tuturan kelas sosial. Kenyaringan berbicara
para penutur dari kelas sosial bawah lebih tinggi 78,11 st daripada tuturan kelas sosial menengah 75,44 st dan tuturan kelas sosial atas 76,75 st. Juga tidak
ditemukan adanya perbedaan intensitas final yang signifikan pada variabel jenis kelamin, generasi, pendidikan, dan pemakaian bahasa Melayu Deli, kecuali pada
variabel kelas sosial. Pada tuturan kelas sosial bawah intensitas final adalah 73,24 dB yang berbeda dengan intensitas final tuturan kelas sosial menengah yaitu
67,72 dB, dan intensitas final kelas sosial atas 74,36 dB. Kemudian pada julat intensitas tertinggi tidak ditemukan perbedaan pada variabel usia, jenis kelamin,
pendidikan, dan pemakaian bahasa Melayu Deli. Julat intensitas tertinggi dalam tuturan kelas sosial bawah yaitu 2,66 dB yang berbeda dengan julat intensitas
tertinggi tuturan kelas sosial menengah 3,17 dB dan, intensitas final kelas sosial atas 2,94 dB.
Universitas Sumatera Utara
42 Kontribusi penelitian Syarfina adalah ditemukannya pola alir nada kalimat
deklaraif, interogatif, dan imperatif bahasa Melayu Deli. Alir nada modus-modus kalimat dalam bahasa Melayu Deli adalah alir nada naik, turun, naik-turun, naik-
datar, datar-turun dan turun-naik.
3.2.7 T. Syarfina dan T. Silvana Sinar
Syarfina dan Silvana 2010 dalam bukunya yang berjudul ‖Ciri Akustik
Bahasa Melayu Langkat‖. Syarfina dan Silvana mengkaji bahasa Melayu Langkat
dengan tujuan untuk menentukan ciri akustik mana yang signifikan sebagai penanda modus, kemudian apakah ketiga modus tuturan yang diamati menandai
kelompok sosial tertentu, juga mencari ciri suprasegmental apa yang menandai kelompok sosial itu. Dalam penelitian ini Syarfina dan Silvana tidak
menggunakan teori Sosiolinguistik. Pengumpulan data dilakukan dengan cara merekam tuturan bahasa Melayu
Langkat yang tinggal di wilayah Langkat dalam tiga modus, yaitu berita, tanya, dan perintah yang berjumlah 108 orang penutur dengan menggunakan perekam
audio yang kemudian digitalisasi menggunakan alat program komputer. Kemudian dalam teknik pengumpulan data, data yang terkumpul diolah dengan
menggunakan program PraatVersi 4.0.27. Dalam pengolahan data, Syarfina dan Silvana melakukannya dengan beberapa tahap yaitu dengan cara 1 Digitalisasi,
2 Segmentasi data, 3 Pembuatan salinan kontur, dan 4 Uji statistik. Semua pendekatan yang dilakukan adalah untuk menjawab rumusan
masalah dalam penelitian Syarfina dan Silvana yaitu 1 Bagaimanakah ciri akustik tuturan kalimat bahasa Melayu Langkat menurut modusnya? 2 Apakah
modus deklaratif, modus imperatif, dan modus interogatif menandai kelompok-
Universitas Sumatera Utara
43 kelompok sosial penutur bahasa Melayu Langkat? 3 Apakah ciri akustik seperti
frekuensi, durasi, dan intensitas yang menandai kelompok-kelompok sosial penutur bahasa Melayu Langkat?
Dari rumusan-rumusan di atas peneliti dapat menemukan hasil temuan yaitu frekuensi suara, intensitas suara dan durasi sangat distingtif dalam tuturan
Bahasa Melayu Langkat, berarti ciri akustik tuturan bahasa Melayu Langkat dapat menjadi penanda sosial penutur dalam kelompok-kelompok berdasarkan variabel
jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, kelas sosial, dan keseringan penggunaan dari bahasa Melayu Langkat.
Kemudian dalam penelitian ini ditemukan bahwa melalui analisis akustik tuturan, nada tertinggi, nada dasar, nada final, nada rendah, durasi dan intensitas
dapat dijadikan pemarkah sosial penutur bahasa Melayu Langkat, tetapi perbedaan yang siginfikan hanya ditemukan pada intensitas saja. Ketika perempuan
berbicara, frekuensi nada tertinggi, nada dasar, nada rendah dan nada final lebih tinggi daripada tuturan laki-laki, tetapi tidak ditemukan perbedaan pada ekskursi
nada final. Pada variabel generasi ditemukan tinggi julat nada, nada dasar, nada final ketika berbicara dan ekskursi nada finalnya lebih tinggi dibandingkan
dengan tuturan usia tua. Secara umum durasi deklaratif lebih besar dibandingkan dengan durasi interogatif, sedangkan durasi deklaratif hampir sama dengan durasi
imperatif yang ditemukan pada beberapa variabel yaitu variabel jenis kelamin, generasi, kelas pekerjaan, nelayan, pedagang dan pegawai, pendidikan
pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Durasi silabel awal dan konstituen selalu lebih panjang dibanding dengan durasi silabel tengah konstituen.
Intensitas pada variabel kelamin, generasi, pendidikan, dan penggunaaan bahasa
Universitas Sumatera Utara
44 Melayu Langkat ditemukan perbedaan pada intensitas dasar, final, rendah dan
intensitas tertinggi, serta perbedaan ditemukan pada seluruh variabel penelitian ini.
Kontribusi dari penelitian ini, yaitu frekuensi nada tertinggi, nada dasar, nada rendah dan nada final perempuan lebih tinggi daripada tuturan laki-laki,
Pada variabel generasi ditemukan tinggi julat nada, nada dasar, nada final ketika berbicara dan ekskursi nada finalnya lebih tinggi dibandingkan dengan tuturan
usia tua.
3.2.8 Hesti Fibriasari
Hesti Fibriasari 2012 dalam penelitiannya yang berbentuk disertasi berjudul
‖Kendala Prosodi Pembelajar Bahasa Prancis di Medan‖ mempunyai tiga permasalahan yang dibahas yaitu 1 bagaimana prosodi bahasa Prancis yang
dituturkan oleh pembelajar bahasa Prancis di Medan? 2 bagaimanakah persepsi pembelajar bahasa Prancis di Medan terhadap prosodi bahasa Prancis? 3
bagaimana kendala prosodi yang menjadi kendala pembelajar bahasa Prancis di Medan?
Lokasi penelitian Fibriasari di Kota Medan dengan responden para mahasiswa jurusan bahasa asing yang sedang kuliah di beberapa perguruan tinggi
yang ada di Kota Medan. Jumlah mahasiswa tersebut sebanyak 350 orang dan sampel yang diambil sebanyak 35 orang mahasiswa dengan teknik pengambilan
contoh acak berstrata stratified random sampling dengan mempertimbangkan ciri pembelajar seperti jenis kelamin, lama belajar, dan asal daerahnya. Data
diambil dengan cara mengarahkan responden untuk menuturkan kalimat target sebelum perekaman, ketika perekaman kalimat responden diminta untuk
Universitas Sumatera Utara
45 mengulangnya sebanyak tiga kali dengan beberapa modus kalimat yaitu modus
deklaratif, interogatif absolut, interogatif parsial dan imperatif. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu menggunakan
pendekatan instrumental
Praat. Pengujian
statistik dilakukan
dengan menggunakan program SPSS Statistics Package for Social Scientist.
Berdasarkan teori, metode dan teknik yang digunakan Fibriasari menyimpulkan bahwa prosodi bahasa Prancis yang dituturkan oleh pembelajar
bahasa Prancis yang ada di Kota Medan pada modus deklaratif, interogatif absolute, interogatif parsial dan imperatif mempunyai perbedaan prosodi dalam
aspek produksi yang dituturkan oleh mahasiswa yang berjenis laki-laki dan perempuan dengan penutur asli Prancis. Kontribusi dari penelitian ini yaitu
pembelajar bahasa Prancis di Medan dalam mempersepsikan tuturan bahasa Prancis sangat baik dalam kompetensi menyimak maupun mendengarkan tapi
dalam kompetensi berbicara, pembelajar bahasa Prancis yang ada di kota Medan masih mendapat kendala dalam hal prosodi.
3.2.9 Rohani Ganie
Penelitian Rohani Ganie 2014 menganalisis ―Intonasi Kesantunan
Tindak Tutur Direktif Bahasa Aceh, Dialek Aceh Timur: Kajian Fonetik Eksperimental
‖. Rohani Ganie menggunakan dua kalimat sasaran yaitu kalimat direktif perintah dan kalimat permintaan. Kedua kalimat sasaran ini dituturkan
oleh dua informan. Hasil rekaman diproses dengan digitalisasi dan dilanjutkan dengan uji persepsi terhadap 30 responden. Masalah yang dianalisis terhadap data
yang diperoleh, yaitu: Bagaimanakah prosodi kesantunan tindak tutur direktif dalam bahasa Aceh DAT?; Apakah usia penutur menghasilkan intonasi yang
Universitas Sumatera Utara
46 berbeda?; dan Apakah terdapat perbedaan persepsi intonasi kesantunan tindak
tutur direktif DAT berdasarkan jenis kelamin? Temuan penelitian, bahwa nada tuturan kalimat direktif perintah kapurono
seudati ke jih yaitu dari segi nada dasar, nada final, nada tinggi, nada rendah, dan durasi temporal, yang dituturkan informan remaja lebih tinggi daripada yang
dituturkan informan dewasa. Sebaliknya nada tuturan kalimat direktif perintah tagun keumamah ke lon siat yaitu dari segi nada dasar, nada final, nada rendah,
dan durasi temporal, yang dituturkan informan lebih tinggi daripada yang dituturkan informan remaja. Hanya pada nada tinggi, yang dituturkan informan
dewasa lebih rendah daripada yang dituturkan informan remaja. Durasi tuturan kalimat
kapurono sәdati kә jih, apabila dibandingkan antara penutur remaja dan penutur dewasa hasilnya durasi penutur remaja lebih panjang
daripada penutur dewasa. Kalimat tagun kәmamah kә lon siat durasi penutur
dewasa lebih panjang daripada penutur remaja. Intonasi kalimat kapurono seudati ke jih dan tagun keumamah kelon siat
memiliki kontur deklinasi, yang diawali dengan nada dasar Fo yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nada akhir. Hasil uji persepsi terhadap kontur primer,
mengindikasikan bahwa kontur deklinasi memiliki tingkat kesantunan yang relatif baik. Perseptual intonasi kesantunan terhadap dua tuturan kalimat direktif dengan
kontur deklinasi yang memiliki parameter atau ukuran nada yang berbeda antara penutur remaja yang bernada tinggi dengan penutur dewasa yang bernada rendah,
menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan.
Universitas Sumatera Utara
47 Kontribusi hasil penelitian ini, yaitu persepsi intonasi kesantunan,
ditemukan bahwa setelah dilakukan perubahan intonasi dengan menaikkan beberapa st, maka jawaban responden umumnya menyatakan bahwa intonasi
tersebut tidak santun. Tetapi, di saat intonasinya diturunkan dari intonasi normal, diperoleh jawaban responden yang menyatakan intonasi tersebut mendekati
santun.
3.3 Penelitian Intonasi Emosi dan Makna Emosi
Penelitian-penelitian tentang intonasi emosi
yang menggunakan pendekatan fonetik eksperimental adalah Mozziconacci 1998, dengan penelitian
yang berjudul ―Speech Variability and Emotion, Production and Perception‖ dan Zahid 2003,
dengan penelitian yang berjudul ―Penelitian Intonasi Fonetik Eksperimental: Realisasi Makna Emosi Filem Sembilu 1 dan 2
‖, tentunya akan akan menjadi rujukan dan mengarahkan peneliti dalam penyelesaian penelitian
ini.
3.3.1 Sylvie Jeannette Laure Mozziconacci
Penelitian Mozziconacci 1998 yang berbentuk buku berjudul ―Speech
Variability and Emotion, Production and Perception ‖, penelitian ini
menggunakan prosedur IPO yang melibatkan fonetik eksperimental. Makna emosi yang dikaji Mozziconacci berjumlah 7 emosi yaitu 1 neutrality keadaan yang
netral, 2 kegembiraan, 3 kebosanan, 4 ketakutan, 5 kemarahan, 6 kesedihan, dan 7 tekanan.
Mozziconacci merekam data tuturan dari informan yang berjumlah empat orang yang berbangsa Belanda. Pada analisis awal penelitian ini menggunakan
Universitas Sumatera Utara
48 satu informan laki-laki dan pada penelitian lanjutan menggunakan tiga informan
yaitu dua laki-laki dan satu satu informan perempuan. Informan tersebut bertutur dengan emosi tertentu. Kemudian uji persepsi menggunakan responden untuk
mengetahui jenis emosi dan menentukan nilai optimal untuk parameter akustik yaitu tingkat kenyaringan, julat kenyaringan dan ukuran tuturan.
Pada analisis awal data yang digunakan sebanyak 14 tuturan yang terdiri atas 2 tuturan dikalikan dengan jumlah 7 emosi yang dituturkan hanya sekali oleh
satu penutur sebagai stimulus. Sedangkan pada analisis lanjutan data terdiri atas 315 tuturan, yaitu 5 tuturan dikalikan dengan jumlah 7 emosi yang dituturkan tiga
kali oleh tiga penutur. Data pada analisis awal tersebut ada dua jenis tuturan yaitu 1 They have bought a new car, 2 His girlfriend came by plane, sedangkan data
dalam analisis lanjutan ada lima jenis tuturan yaitu 1 They have bought a new car, 2 His girlfriend came by palne, 3
It is almost nine o‟clock, 4 The lamp is on the desk, dan 5 John has been to the hairdressers.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai optimal dan mencari keanekaragaman tuturan melalui pergerakan kenyaringan dengan makna emosi
berdasarkan tiga parameter akustik yaitu tingkat kenyaringan, julat kenyaringan dan ukuran tuturan. Kontribusi penelitian Mozziconacci bagi tuturan emosi yaitu
didapati bahwa
kontur intonasi
yang paling
sesuai dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam menentukan makna emosi.
3.3.2 Indirawati Zahid
Penelitian Zahid 2003 yang berjudul ―Penelitian Intonasi Fonetik
Eksperimental: Realisasi Makna Emosi Filem Sembilu 1 dan 2‖,membahas pola
intonasi bahasa Melayu yang melibatkan nada, durasi dan makna emosinya.
Universitas Sumatera Utara
49 Penelitian ini mengaitkan dengan makna emosi yang ada di dalam tuturan
bahasa Melayu dalam Film Sembilu 1 dan 2. Makna emosi yang dikaji berjumlah 9 emosi tunggal yaitu 1 Neutral, 2 Cemas, 3 Gembira, 4 Tidak Gembira, 5
Keberatan, 6 Marah, 7 Penegasan, 8 Tertanya-tanya, 9 Tidak puas hati. Dalam penelitiannya ini Zahid tidak mengemukakan teori-teori tentang emosi.
Ada tiga hipotesis di dalam penelitian Zahid yaitu 1 bahwa bahasa Melayu mempunyai berbagai bentuk kontur intonasi di dalam kalimat, 2
mempunyai berbagai bentuk kontur intonasi untuk menandai sesuatu makna emosi, 3 terdapat kecendrungan jenis kalimat dan jenis makna emosi dengan
bentuk sesuatu kontur intonasi. Di dalam penelitiannya didapati bahwa hipotesis ini benar. Sedangkan tujuan dalam penelitian Zahid ada tiga yaitu
mendiskripsikan ungkapan dan durasi yang menandai makna emosi, kontur intonasi untuk menentukan jenis kalimat dan hubungan kontur intonasi dengan
realisasi makna emosi. Penelitian Zahid yang menggunakan kaidah eksperimental dan dilakukan
di Universiti Malaya ini menggunakan program PRAAT dalam menganalisis data. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dalam penamaan makna-makna emosi
tersebut, Zahid juga melakukan uji persepsi yang dilakukan terhadap 120 data tuturan laki-laki dan perempuan, dengan 9 jenis makna emosi yang dipilih, hanya
7 makna emosi tunggal yang didapat atau diketahui oleh responden yaitu neutral, cemas, gembira, keberatan, marah, penegasan dan tertanya-tanya. Jumlah data
tuturan yang diketahui mempunyai satu jenis ekspresi makna emosi, yaitu makna emosi tunggal hanya 56 data, sedangkan sisa data memperlihatkan gabungan dari
berbagai emosi yang dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan ciri maknanya.
Universitas Sumatera Utara
50 Kelompok 1 bercirikan penegasan yaitu 46 71.88 data ujaran, kelompok 2,
tertanya-tanya, 11 17.19 dan kelompok 3, tidak spesifik, 7 10.94. Kontribusi penelitian Zahid yaitu, bahwa pola intonasi dapat membuktikan
durasi yang menandai makna emosi. Hal ini dapat diaplikasikan di dalam tuturan lebih dari satu pola. Tetapi setiap penutur akan menentukan pola mana yang akan
digunakannya dalam tuturan yang berkaitan dengan konteks dan makna emosinya.
3.4 Kerangka Konseptual
3.4.1 Emosi
Emosi mempunyai peran yang penting dalam komunikasi antar manusia dalam kehidupan sehari-hari.Emosi adalah pengungkapan ekspresi yang selalu
muncul dari dalam diri seseorang, di luar kesadarannya. Berbagai macam peristiwa selalu melibatkan emosi. Seseorang mungkin akan marah ketika
diremehkan di hadapan publik, sedih karena berpisah dengan orang yang dikasihinya, senang ketika mendapatkan hadiah yang diimpikannya. Peristiwa-
peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan manusia memang selalu berkaitan dengan emosi. Dengan demikian, kehidupan manusia itu mempunyai
‖warna‖ yang berbeda. Berbagai ekspresi dalam merespons berbagai situasi yang dialami
sesungguhnya memperkaya kehidupan. Kata emotif, kata afektif, dan kata ekspresiemotif
–ekspresif merupakan istilah yang berkaitan dengan emosi. Istilah yang lebihpopular
ialah yang diberikan ―kata― berkadar atau bernilai rasa, luapan perasaan yang berkembang kemudian surut dalam waktu singkat, keadaan
dan reaksi psikologis dan fisiologis seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan, keberanian yang bersifat subjektifMastuti, 2002:27.
Universitas Sumatera Utara
51 Jenisemosi seperti senangkegembiraan, kesedihan, kemarahan, ketakutan,
dan sebagainya telah dikenal sejak lama dan menjadi aspek yangpenting dari perilaku manusia, karena tanpa adanya emosi manusia akan hidup seperti robot
yang tidak mempunyai perasaan. Emosi merupakan fitrah yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia dan setiap manusia pula mempunyai pelbagai emosi,
mulai dari emosi senang, sedih, marah, benci sampai pada emosi ketakutan dan sebagainya. Emosi setiap manusia bukan saja berbeda melainkan juga ekstrem
sifatnya. Emosi merupakan tindakan dan reaksi psikologis seseorang individu terhadap sesuatu situasi yang dihadapinya sebagai ahli sesuatu masyarakat.
Penelitian di bidang emosi merupakan sebuah proses yangkompleks karena dapat berubah secara dinamis. Oleh karena itu, penelitian emosi yang
berbasis teks banyakdilakukan dikarenakan bentuk teks relatif lebih sederhana dibandingkan bentuk lain seperti visual atau suara.
3.4.2 Defenisi Emosi
Kata emosi berasal dari bahasa Prancis emouvoir, yang berarti kegembiraan. Selain itu, emosi juga berasal dari bahasa Latin yaitu emovere, dari
e-varian eks yang berarti ―luar‖ dan movere ―bergerak‖. Para ahli yakin bahwa
emosi lebih cepat berlalu daripada suasana hati. Contohnya, jika kita bersikap kasar terhadap orang lain, maka orang yang kita kasari akan merasa marah.
Perasaan marah tersebut bisa datang dan pergi dengan cepat. Namun, suasana hati yang tercipta karena ledakan amarah itulah yang akan berlangsung lebih lama
Syukur, 2011:11. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008:368 emosi mempunyai arti luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu
singkat; keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis seperti kegembiraan,
Universitas Sumatera Utara
52 kesedihan, keharuan, kecintaan; keberanian yang bersifat subjektif. James, W.
1892 dalam Yanti 2010:17 mengatakan “An emotion is a tendency to feel”;
kemudian Pierrehumbert 1992 mengatakan “….the whole psychology of feeling
is still in very unsettled state”. Sedangkan Yanti 2010:17 merumuskan definisi
emosi sebagai segala rasa yang dapat dirasakan oleh seseorang dalam keadaan tidak stabil. Emosi dasar yang dimiliki seseorang dapat diungkapkan dalam
bentuk verbal kata-kata dan nonverbal gerak-gerik atau mimik dan perilaku. Dayakisni 2004:77 menyatakan bahwa emosi adalah sebagai perasaan
yang subyektif dan diasosiasikan dengan serangkaian perilaku tampak tertentu, seperti: senyum, muka merah, dan gemeretak rahang, serta dengan respon fisik
pheripheral semacam debaran jantung, berkeringat, atau gangguan pencernaan. Emosi adalah perasaan mendalam yang diikuti adanya perubahan elemen kognitif
maupun fisik dan mempengaruhi perilaku. Emosi adalah kondisi tergerak a state of being moved yang memiliki
komponen penghayatan perasaan subyektif, impuls untuk berbuat dan kesadaran awareness tentang perasaan yang dihayatinya Semiawan, 1997:153.
Sedangkan Feldman 1997 mendefinisikan emosi sebagai perasaan-perasaan yang dapat mempengaruhi perilaku dan pada umumnya mengandung komponen
fisiologis dan kognitif. Perasaan-perasaan tersebut bisa sangat kuat sehingga kontrol rasional tidak berfungsi Winnkel, 1983:151. Perasaan yang kuat tersebut
diikuti oleh ekspresi motorik yang berhubungan dengan suatu objek atau situasi eksternal Gunarsa, 1989:156. Sehubungan dengan hal ini, Goleman 1997
menyatakan bahwa emosi adalah perasaan dan pikiran khas, yakni suatu keadaan biologik dan psikologik.
Universitas Sumatera Utara
53 Susanti 2004 berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan emosi adalah keadaan yang kuat dan kompleks yang diikuti oleh ekspresi motorik serta mengandung unsur afeksi dan
pikiran yang khas, yang mempengaruhi perilaku. Keadaan afeksi yang disadari dapat berupa kegembiraan, ketakutan, kebencian, cinta dan sebagainya.
Albas dan McCluskey 1976 dalam Dayakisni 2004:95 mengumpulkan sampel-sampel pertuturan dalam bahasa Inggeris dan Cree dari subyek penelitian
warga Kanada yang mengandung makna ungkapan-ungkapan kebahagiaan, kesusahan, cinta dan kemarahan. Ungkapan-ungkapan dibuat serampangacak
secara semantik dengan prosedur penyaringan elektronik yang menyisakan desah intonasi emosional. Subjek dari dua kelompok bahasa merekognisi emosi yang
dimaksud pengucap jauh di bawah tingkat kebetulan, tetapi kinerjanya lebih tinggi dalam bahasa subjek sendiri ketimbang dalam bahasa lain Berry, 1999.
Para ahli telah berupayadan berusaha mendefinisikan emosi berdasarkan berbagai pengalaman dan penelitian terhadap manusia dan hewan, kendati masih
banyak ditemukan kendala-kendala untuk merumuskannya. Menurut Goleman 1997:411, kendala tersebut khususnya dipicu oleh jenis-jenis emosi yang sangat
beragam sehingga perbendaharaan kata yang kita miliki untuk menyebutkannya tidak sepadan. Akibatnya, para ahli pun berbeda dalam merumuskan pengertian
dan pembagian tentang emosi, meskipun sebenarnya merupakan pengalaman kita sebagai manusia di dalam kehidupan sehari-hari, baik yang dialami secara
langsung atau secara pribadi maupun ketika berinteraksi dengan orang lain. Seperti yang diutarakan Fehr dan Russel dalam Roger-Daniel 2009:33
bahwa ‖Setiap orang tahu apa yang disebut dengan emosi, sehingga seseorang itu
Universitas Sumatera Utara
54 diminta untuk memberikan definisi tentang emosi itu sendiri. Setelah itu, tidak
seorang pun dari mereka yang mengetahuinya‖. Ketika kita menggunakan istilah
tersebut, emosi merupakan sebuah pengalaman rasa. Kita merasakan adanya emosi; kita tidak sekedar memikirkannya. Ketika seseorang mengatakan sesuatu
atau melakukan sesuatu yang secara pribadi penting untuk kita, maka emosi kita akan meresponnya, dan biasanya akan diikuti dengan pikiran yang berhubungan
dengan perkataan tersebut, perubahan psikis dan juga hasrat untuk melakukan sesuatu. Misalnya, jika ada seorang bawahan yang menyuruh kita untuk mencatat
hasil pertemuan rapat kantor, mungkin kita akan merasa marah dan berpikir, ‖Siapa sih dia, berani-beraninya menyuruh saya?‖. Psikis kita akan mengalami
perubahan ketika tekanan darah kita meninggi, dan kita merasakan adanya sebuah keinginan untuk memarahinya. Walaupun demikian, para ahli telah berusaha
mencoba merumuskan definisi emosi, atau setidaknya, berupaya membuat rumusan-rumusan untuk mengantar pemahaman kita pada masalah tersebut.
3.4.3 Klasifikasi Emosi
Scherer 1997 dalam Wade, dkk. 2007:107 menyatakan bahwa manusia di manapun mereka berada, telah memiliki dasar-dasar emosi atau telah memiliki
emosi primer dan emosi sekunder. Dasar emosi primer umumnya meliputi rasa takut fear, marah anger, sedih sadness, senang joy, terkejut surprise, jijik
disgust, dan sebal contempt. Emosi-emosi tersebut memiliki pola fisiologis yang berbeda-beda dan menghasilkan ekspresi wajah yang juga berbeda-beda.
Situasi yang menimbulkan emosi-emosi tersebut bersifat umum di seluruh dunia: di manapun manusia berada, kesedihan akan mengikuti persepsi kehilangan, rasa
takut akan mengikuti persepsi ancaman atau disakiti, rasa marah akan mengikuti
Universitas Sumatera Utara
55 persepsi penghinaan atau ketidakadilan, dan seterusnya. Sebaliknya, emosi
sekunder meliputi semua variasi dan campuran berbagai emosi yang bervariasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya serta berkembang secara
bertahap sesuai tingkat kedewasaan kognitif. Untuk mengklasifikasikan emosi sangatlah pelik, sama juga halnya seperti
mendefinisikan emosi di atas. Emosi-emosi itu bisa menjadi positif dan bisa menjadi negatif. Emosi yang positif secara personal menghasilkan perasaan yang
menyenangkan. Apakah itu bangga, bahagia, puas, damai, harapan atau suatu kelegaan. Emosi yang positif pula akan menghasilkan sesuatu yang baik.
Sebaliknya, perasaan marah, frustasi, takut, dengki, panik dan emosi-emosi negatif lainnya secara personal menghasilkan perasaan susah.
Roger-Daniel 2009:51 mengklasifikasikan emosi-emosi positif dan emosi- emosi negatif sebagai berikut:
Tabel 3.1. Klasifikasi Emosi Positif dan Emosi Negatif
Emosi-emosi Positif Emosi-emosi Negatif
Gembira Senang
Girang Antusias
Riang Baik Hati
Kesukaan Gembira luar biasa
Bangga Puas
Bahagia Bersorak girang
Menggetarkan hati Sangat gembira
Besar hati Bebas
Terhibur Puas hati
Santai Merasa bersalah
Malu Terhina
Tersipu-sipu Menyesal
Dengkiiri hati Cemburu
Muak Benci
Marah Rendah diri
Tidak sabar Dongkol
Geram Kejam
Terintimidasi Ragu-ragu
Kaget
Universitas Sumatera Utara
56
Emosi-emosi Positif Emosi-emosi Negatif
Sabar Damai
Tenang Penuh harapan
Terpesonakagum Takjub
Takut Panik
Menakutkan Sedih
Putus asa Tidak senang
Merusak
Kemudian, Roger-Daniel 2009:60 mengatakan bahwa emosi negatif timbul akibat dari perhatian utama yang diabaikan seperti tabel di bawah ini:
Tabel 3.2. Emosi Negatif Timbul Karena Perhatian Tidak Terpenuhi
Keinginan utama saya tidak
terpenuhi ketika: Emosi yang dihasilkan
bisa membuat saya merasa:
Ketika hal ini terjadi, maka saya mudah:
Saya tidak dihargai Saya diperlakukan sebagai
musuh Kebebasan saya dibatasi
Status saya diturunkan Peran saya diremehkan dan
di batasi
MarahMuak Geram Jijik
Kesal Muak Jengkel Marah
Gemas Terhina Terganggu
Benci Iri hatiMerasa
Tidak bersalah Sabar dan malu
Gelisah
Menyesal Menyesal Terhina
Malu Takut Sedih Grogi
Menderita Khawatir Putus asa
Gusar Murung Hancur
Dengki
Apatis
dan cemburu
Bertindak secara negatif, melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kepentingan saya.
Menjalaninya sendirian. Berpikir kaku.
Bertindak seakan-akan dan terlihat seperti tidak dapat
dipercaya.
Selanjutnya, Roger-Daniel 2009:61 juga mengatakan bahwa emosi positif timbul akibat dari kekuatan dari terpenuhinya keinginan-keinginan utama seperti
tabel di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
57 Tabel 3.3. Emosi Positif Timbul Karena Perhatian Tidak Terpenuhi
Keinginan utama saya
terpenuhi manakala:
Emosi yang dihasilkan bisa membuat saya
merasa: Ketika hal ini
terjadi, maka
saya mudah:
Saya dihargai Saya diperlakukan
sebagai rekan Kebebasan
Antusias
Gembira Senang
Terhibur Sangat
Gembira
Mengharukan
Penuh cinta Peduli
Penuh kasih
Bangga
Ulung Bekerja sama
Bekerja Secara
kelompok Menjadi kreatif
saya untuk memutuskan
sesuatu diakui. Status saya
yang tinggi dihormati
sebagaimana mestinya.
Peran saya diakui;
pengakuan itu meliputi
aktifitas-aktifitas yang meyakinkan
saya bahwa saya bisa membuat
perbedaan.
Bahagia
Puas hati Senang
Riang Nyaman
Gembira
Penuh Harapan
Berani
Tenang
Bebas Santai
Menjadi terpercaya.
Setelah melihat uraian-uraian di atas, dapatlah diketahui bahwa emosi mempunyai varian-varian, apakah emosi positif ataukah emosi negatif. Varian-
varian emosi itu, memiliki beberapa fungsi di dalam kehidupan manusia. Menurut Coleman dan Hammen dalam Syukur, 2011:34
—40, ada empat fungsi emosi yaitu,
1. Emosi berfungsi sebagai survival yaitu sebagai sarana untuk mempertahankan hidup. Emosi juga akan memberikan kekuatan pada
manusia untuk membedakan dan mempertahankan diri terhadap gangguan atau rintangan. Dengan adanya perasaan cinta, sayang, marah, cemburu
Universitas Sumatera Utara
58 atau benci dapat membuat manusia menjalani hidup dalam kebersamaan
dengan orang lain. 2. Emosi berfungsi sebagai energizer yaitu sebagai pembangkit energi.
Dengan adanya emosi dapat memberikan kita semangat dalam bekerja dan hidup. Misalnya perasaan cinta dan kasih sayang. Tetapi, di sisi lain emosi
juga dapat memberikan dampak negatif yang akan membuat kita merasakan sedih dan benci.
3. Emosi berfungsi sebagai messenger yaitu emosi yang terjadi pada diri seseorang dapat membawa informasi atau pesan. Emosi akan
memberitahukan kepada kita bagaimana keadaan orang-orang yang ada di sekitar kita, terutama orang-orang yang kita sayangi atau kita cintai.
4. Emosi berfungsi sebagai komunikasi intrapersonal, sekaligus juga sebagai komunikasi interpersonal. Emosi juga berfungsi sebagai sumber informasi
tentang keberhasilan kita. Emosi yang ada di dalam diri manusia dapat memberikan rangsangan terhadap pemikiran, khayalan baru, dan tingkah
laku yang baru. Ketika kita mendambakan kesehatan yang baik, kondisi badan yang sehat menandakan bahwa apa yang kita dambakan berhasil.
Melihat fungsi emosi di atas menunjukkan bahwa emosi sangat dibutuhkan di dalam kehidupan manusia, tetapi janganlah emosi itu menimbulkan
persoalan-persoalan yang dapat merusak tatanan kehidupan manusia.
3.4.4 Klasifikasi Bunyi Bahasa
Bunyi adalah bagian yang paling penting di dalam bahasa. Bunyi bahasa pula merupakan bunyi yang berfungsi sebagai alat komunikasi, yaitu bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia yang mengandung pengertian khusus. Manusia
Universitas Sumatera Utara
59 dapat menghasilkan bunyi bahasa dengan menggunakan gerakan udara dan saling
bersentuhan dengan alat-alat di dalam diri manusia dimulai dari paru-paru hingga rongga mulut seperti lidah, langit-langit keras atau langit-langit lunak, gusi, gigi,
dan bibir Chaiyanara, 2006:22. Secara umum bunyi bahasa dibedakan atas bunyi vokal dan konsonan.
Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dengan getaran pita suara dan tidak mengalami rintangan yaitu [a, i, u, e, o], sedangkan konsonan
adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dengan getaran pita suara dan mengalami rintangan yaitu [p, b, t, d, k, g, c, j, z, f, s, sy, x, h, m, n, ny,
ng, l, r, w, y].
3.4.4.1 Alat-Alat Penghasil Bunyi Bahasa
Alat-alat penghasil bunyi bahasa adalah alat yang dapat memproduksi bunyi. Alat-alat itu adalah paru-paru, pangkal tenggorok, rongga kerongkongan,
langit-langit lunak, langit-langit keras, gusi dalam, gigi, bibir, dan lidah.
3.4.4.1.1 Paru-paru
Fungsi utama paru-paru adalah untuk bernapas atau menghirup dan mengeluarkan udara. Proses pembesaran dan pengecilan ruangan paru-paru
dikerjakan oleh otot-otot paru-paru, otot perut, dan rongga dada. Hal itu berlaku terus menerus secara teratur selama manusia hidup. Arus udara yang dihasilkan
paru-paru inilah yang menyebabkan terjadinya bunyi Chaiyanara, 2006:22.
3.4.4.1.2 Pangkal Tenggorok
Udara yang dikeluarkan oleh paru-paru melalui rongga pada ujung pipa pernapasan trachea menuju ke pangkal tenggorok larynx yang terletak di
Universitas Sumatera Utara
60 bagian atas saluran udara. Pangkal tenggorok terdiri atas empat komponen yaitu
tulang rawan krikoid, dua tulang rawan aritenoid, sepasang pita suara vocal cords, dan tulang rawan tiroid. Ketika pita suara terbuka dan tertutup, maka akan
terbentuk suatu celah di antara sepasang pita suara. Celah itu disebut glotis glottis. Ketika manusia bernapas dengan normal maka glotis dalam keadaan
terbuka lebar, glotis terbuka ketika menghasilkan bunyi takbersuara, tertutup ketika menghasilkan bunyi bersuara, dan tertutup rapat ketika menghasilkan bunyi
hamzah Chaiyanara, 2006:23.
3.4.4.1.3 Rongga Kerongkongan
Rongga yang terletak di antara pangkal tenggorok, rongga mulut dan rongga hidung disebut rongga kerongkongan pharynx.Peranan rongga
kerongkongan dalam pembentukan bunyi bahasa adalah sebagai tabung udara yang akan ikut bergetar ketika pita suara bergetar. Bunyi faringal merupakan
bunyi yang dihasilkan oleh faring.
3.4.4.1.4 Langit-Langit Lunak
Langit-langit lunak velum merupakan bagian yang dapat dinaikkan ataupun diturunkan agar udara dapat dikeluarkan ke rongga hidung maupun ke
rongga mulut. Selain itu bagian ujung dari langit-langit lunak yang disebut dengan anak tekak uvula juga dapat dinaik turunkan sedemikian rupa sehingga kedua
alat ini dapat menghasilkan bunyi bahasa. Ketika langit-langit lunak dan anak tekaknya naik maka rongga hidung tertutup dan arus udara melalui rongga mulut
dan menghasilkan bunyi non nasal. Sedangkan bunyi nasal dihasilkan ketika
Universitas Sumatera Utara
61 langit-langit lunak dan anak tekak turun sehingga udara akan keluar masuk
melalui rongga hidung.
3.4.4.1.5 Langit-Langit Keras
Langit-langit keraspalatum merupakan struktur langit-langit keras yang terbuat dari tulang yang terletak sesudah gusi. Dalam pembentukan bunyi bahasa
langit-langit keras ini berfungsi sebagai artikulator pasif dan bunyi yang dihasilkan oleh artikulator ini disebut bunyi palatal.
3.4.4.1.6 Gusi Dalam
Gusi dalam alviotus merupakan bagian gusi tempat letak akar gigi depan atas bagian belakang, letaknya tepat di atas serta di belakang gigi yang
melengkung ke dalam menghadap lidah. Dalam penghasilan bunyi bahasa gusi bertindak sebagai artikulator pasif. Bunyi yang dihasilkan dengan hambatan ujung
lidah dengan gusi disebut bunyi apiko-alveolar.
3.4.4.1.7 Gigi
Gigi dentalterbagi dua yaitu gigi bawah yang terdapat dibelahan mulut bawah dan gigi atas terdapat dibelahan mulut atas. Gigi yang sangat berpengaruh
dalam pembentukan bunyi bahasa adalah gigi atas yang bekerja sama dengan bibir bawah dan ujung lidah Nasution, 2010:54. Bunyi yang dihasilkan oleh gigi
disebut bunyi dental.
3.4.4.1.8 Bibir
Bibir labium terbagi dua yaitu bibir bawah dan bibir atas. Di dalam menghasilkan bunyi bahasa artikulator yang aktif adalah bibir bawah yang bekerja
Universitas Sumatera Utara
62 sama dengan gusi atas dan membentuk bunyi labiodental, sedangkan bibir bawah
dan bibir atas membentuk bunyi bilabial.
3.4.4.1.9 Lidah
Lidah adalah alat yang paling aktif dalam menghasilkan bunyi bahasa. Sebagai artikulator, lidah dibagi menjadi lima bagian, yaitu 1 ujung lidah tip of
tongue adalah bagian lidah yang paling ujung, 2 daun lidah blade of tongue adalah bagian lidah yang terletak setelah ujung lidah,3 depan lidah front of
tongue adalah bagian lidah yang terletak setelah daun lidah, 4belakang lidah back of tongue adalah bagian lidah yang terletak setelah depan lidah, dan 5
akar lidah roof of tongue adalah bagian lidah yang terletak paling dekat dengan glotis atau anak tekak. Chaiyanara, 2006:21.
3.4.5 Bunyi Bahasa Melayu Langkat
Di dalam bahasa Melayu Langkat, bunyi bahasanya terdiri atas vokal dan konsonan sama dengan bunyi bahasa pada umumnya. Menurut Noor dkk. dalam
Syarfina, 2011 jumlah fonem bahasa Melayu Langkat berjumlah 28 fonem yang terdiri atas 8 fonem vokal dan 20 fonem konsonan.
3.4.5.1 Klasifikasi Vokal
Vokal di dalam bahasa Melayu Langkat terdiri atas 8 fonem yaitu [i, ,
ε
, ə, a, u, U,
]. Berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut dapatlah dibuat bagan atau peta vokal sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
63 Tabel 3.4. Klasifikai Vokal Bahasa Melayu Langkat
Variasi bunyi Depan
Tengah Belakang
TB B
TB B
TB B
Tinggi i
U Agak Tinggi
Sedang
ε
ə
Agak rendah Rendah
a
keterangan: TB = Tak Bundar B = Bundar
Tabel 3.5. Distribusi Vokal Dalam Kata Bahasa Melayu Langkat Sumber: diubahsuaikan dari Syarfina 2011
Bunyi vokal Posisi
Awal Tengah
Belakang
[i] [ikan] ‗ikan‘
[it ] ‗itik‘
[biji] ‗biji‘ [lidah] ‗lidah
[dari] ‗dari‘ [b
li] ‗beli‘ [
] [sik
t] ‗sikit‘ [b
əlt] ‘tipu [bat
‗sarung wanita‘
[
ε
] [
ε
kor] ‘ekor‘ [
ε
je ] ‘ejek‘
[benã ] ‘amat‘
[kal
ε
h] ‘geser‘ [n
ε
] ‘ini‘ [t
ε
] ‘tidak‘ [
ə] [ənãs] ‘nenas‘
[əmpat]‘empat‘ [təbu] ‘tebu‘
[bəli] ‘beli‘ [a]
[anda ]‘anak
kelima‘ [ati] ‘hati‘
[lalu] ‘pergi‘ [mãja]
‘apa‘ [sa
pa] ‘siapa‘ [uda] ‘anak
keenam‘
[ ]
[pa t] ‘gantung‘
[da
n] ‗daun‘ [
j
] ‗itu‘
[ ]
[t əumb] ‘gemuk‘
[t əmbs] ‘tembus‘
[u] [usus] ‘usus‘
[unču] ‘anak bungsu‘
[kudok] ‘tengkuk‘ [tabuan] ‘tabuhan‘
[bulu] ‘bulu‘ [dag
u] ‘dagu‘
Universitas Sumatera Utara
64
3.4.5.2 Klasifikasi Konsonan
Konsonan di dalam bahasa Melayu Langkat terdiri atas 20 fonem yaitu [p, t, c , k,
, b, d, , g, f, s, h, m, n, , ŋ, l, ŕ, w, j]. Berdasarkan posisi pita suara, tempat artikulasi, dan cara artikulasi dapatlah dibuat bagan atau peta konsonan sebagai
berikut:
Tabel 3.6. Konsonan Bahasa Melayu Langkat
tempat cara
b il
a b
ia l
la b
io -
d en
ta l
Alv eo
la r
a lv
eo p
a -
la ta
l Pa
la
ta l
v ela
r u
v u
la r
g lo
ta l
d en
ta l
Plosif TB
p t
k
B
b d
g
Afrikat TB
č
B
Frikatif TB
f s
h
B
Nasal
TB B
m n
ŋ
Lateral
TB B
l
Getar
TB B
ŕ
Semivokal
TB B
w j
keterangan: TB = Tak Bersuara
B = Bersuara
Universitas Sumatera Utara
65 Tabel 3.7. Distribusi Konsonan dalam Kata Bahasa Melayu Langkat
Sumber: diubahsuaikan dari Syarfina 2011
Bunyi Konsonan
Posisi Awal
Tengah Belakang
[p] [pa
ŋkaj] ‗besar‘ [pa
ət] ‗gantung‘ [tapak
] ‗telapak‘ [kepoh] ‗kandang‘
[sirip ] ‗sirip‘
[atap ] ‗atap‘
[b] [bil
] ‗kamar‘ [bil
ə] ‗kapan‘ [taba] ‗tawa‘
[limbat ] ‘sejenis lele‘
[t] [ti
ŋkap] ‘jendela‘ [tilam] ‘kasur‘
[linta ŕ ] ‘petir‘
[kati ŋ] ‘keranjang‘
[sikat ] ‘sisir‘
[ja
ε
t ] ‘jahit‘
[d] [dula]
‘talam berkaki‘
[da
n] ‘daun‘ [bedi
] ‘buka mata‘ [and
ŋ] ‘nenek‘ [
č] [
čaŋk
ε
h ] ‘cengkeh‘
[ čika]
‘racun kepiting‘
[un ču] ‘
anak bungsu
‘ [ka
ču] ‘gambir‘ [
] [
ia] ‘dangkal‘ [
alaŋ] ‘liar‘ [ron
aŋ]‘jangkung‘ [tu
oh] ‘tujuh‘ [k]
[k əntən] ‘beduk‘
[kinĭn] ‘sekarang‘ [aka
] ‘kakak‘ [waktu
] ‘waktu‘ [lao
] ‘lauk‘ [tandi
] ‘sangat‘ [g]
[genõhor]
‘dapur gula‘
[gabar ] ‘mengingau‘
[u ŋgas] ‘burung‘
[pi ŋgaŋ] ‘pinggang‘
[
əla] ‗bosan‘ [tapa
] ‗jejak kaki‘ [f]
[fak ŕ] ‗fakir‘
[mã af] ‗maaf‘
[s] [sə
ãp] ‘sepi‘ [sudu] ‘sendok‘
[lasa] ‘lemah‘ [basah
] ‘basah‘ [rupas
] ‘koyak‘ [ambus] ‘minggat‘
[h] [haram
] ‘haram‘ [halkom] ‘jakun‘
[paha] ‘paha‘
[pəlahan] ‘perlahan‘ [lidah
] ‘lidah‘ [paroh
] ‘paruh‘ [m]
[m ũlt] ‘mulut‘
[mãja ] ‘apa‘
[lembit ] ‘lembut‘
[tem ũro?]
‘telur busuk‘
[jarom ] ‘jarum‘
[ketam] ‘kepiting‘ [
ŋ] [
ŋãet] ‘menjolok‘‘ [
ŋẽmãt]‗membidik‘ [ba
ŋket] ‘bangun‘ [ta
ŋãh] ‘sedang‘ [m
ẽnõŋ]‘termenung‘ [ando
ŋ]‘nenek‘ [l]
[lali] ‗lewat‘ [lambat
] ‗lambat‘ [bul
h] ‗bambu‘ [kel
εh] ‗lihat‘ [c
aŋkol]‗cangkul‘ [taŋkal] ‗anti‘
[ ŕ]
[ŕawa] ‗rawa‘ [ŕebus] ‗rebus‘
[aŕi] ‗hari‘ [kuraŋ] ‗kurang‘
[teg aŕ] ‗tegar‘
[uloŕ] ‗ulur‘ [w]
[waris] ‘ahli waris‘ [wali] ‘wali‘
[bawa] ‘bawa‘ [pe
ŋgawaŋ] ‘galah‘ [
elebaw]
‘labi-labi‘
[kerbaw] ‘kerbau‘ [j]
[j akin] ‘yakin‘
[j o] ‘itu‘
[saja ] ‘tapisan‘
[buaj a] ‘buaya‘
[sa ŋaj] ‘tudung saji‘
[petaj ] ‘petai‘
Universitas Sumatera Utara
66
3.5 Kerangka Teori
Trubetzkoy 1962:11 mengatakan bahwa fonetik adalah ilmu yang mengkaji bahasa yang berkaitan atau berhubungan dengan peristiwa tuturan tanpa
mempertimbangkan fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna dalam suatu bahasa, sedangkan fonologi adalah ilmu yang mengkaji bunyi yang berhubungan dengan
sistem suatu bahasa juga merupakan studi fungsi linguistik bunyi bahasa. Fonetik menyelidiki bunyi bahasa dari sudut tuturan atau ujaran berusaha
merumuskan secara teratur tentang asal bunyi bahasa. Seperti yang dikatakan Malmberg 1974 bahwa fonetik akustis mempelajari bunyi bahasa dari segi bunyi
sebagai gejala fisis. Bunyi-bunyi diselidiki frekuensi getarannya, amplitud, intensitas dan timbernya. Menurut Bright 1992 fonetik akustik menyelidiki
gelombang suara sebagai peristiwa fisika atau fenomena alam yang membentuk hubungan antara pembicara dan pendengar. Gelombang suara adalah udara yang
bergerak dalam gelombang-gelombang dengan cepat dan tidak teratur. Maksudnya partikel pertikel udara dibuat bergerak, dan gerakan itu mendesak
partikel-partikel yang lain, dan pertikel yang lain itu mendesak pertikel udara yang lain lagi, dan begitu terus sampai membentuk gelombang suara.
Oleh karenanya, sebuah bunyi atas gelombang suara itu dapat diklasifikasikan menurut ciri-cirinya sewaktu diucapkan disebut bunyi bunyi
suprasegmental atau disebut juga dengan ciri-ciri Prosodi prosodic features cf. Bloch George L. Trager, 1942:34 Samsuri, 1970:6--7 melalui Marsono,
1993:115.
Universitas Sumatera Utara
67 Ciri prosodi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Panjang atau kuantitas maksudnya menyangkut lamanya bunyi diucapkan. 2. Nada Pitch atau yang disebut juga dengan intonasi maksudnya nada
menyangkut tinggi rendahnya suatu bunyi. 3. Tekanan Stress menyangkut keras lunak lemah-nya bunyi.
4. Jeda atau Persendian Juncture maksudnya menyangkut perhentian bunyi dalam bahasa.
Keberadaan fitur prosodi yang mengikuti gelombang bunyi mempunyai beberapa fungsi. Menurut Rietveld dan Heuven 2001 fitur prosodi dalam tuturan
mempunyai empat fungsi yang berbeda, yaitu: 1. fungsi leksikal
Fitur prosodi yang keberadaannya dapat mempengaruhi makna satuan bahasa. Fitur yang mempunyai fungsi tersebut dapat berupa tekanan dan
nada. 2. fungsi demarkatif
Fitur prosodi yang berperan sebagai pemarkah batas satuan bahasa. Fitur yang dimaksud dapat berupa jeda, tempo, dan tekanan di awal dan di akhir
satuan. 3. fungsi informatif.
Fitur prosodi yang berperan memberi penegasan atau penerangan pada tuturan yang diujarkan. Fitur yang dimaksud dapat berupa aksen dan pola
intonasi. 4. penanda sikap dan emosi.
Universitas Sumatera Utara
68 Melalui fitur prosodi dapat diketahui sikap dan kondisi emosional penutur.
Fitur ini diketahui melalui perubahan durasi, tinggi nada, dan intonasi. Keempat fungsi di atas dapat dilihat secara jelas melalui persepsi yang
ditimbulkan terhadap untaian bunyi satuan bahasa. Crystal 1989:171 juga berpendapat bahwa intonasi dan ciri
suprasegmentalprosodi itu mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai, 1 penanda emosional yaitu untuk mengekspresikan tentang makna yang
berhubungan dengan sikap-senang, bosan, terkejut, keramahan, penerimaan, dan sikap lainnya. Intonasi, fitur prosodi dan paralinguistik lainnya melengkapi
ekspresi emosional 2 penanda gramatikal, karena intonasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam penandaan kontras gramatikal. Dalam indentifikasi
unit-unit besar gramatikal yaitu klausa dan kalimat sangat bergantung pada bagaimana kontur nada memilah-milah suatu ujaran; beberapa kontras khusus,
seperti kalimat pernyataan dan kalimat pertanyaan, ataupun kalimat positif dan kalimat negatif, semuanya dapat mengandalkan intonasi. 3 penanda struktur
informasi karena intonasi dapat menyampaikan tentang banyak hal apakah ada sesuatu yang baru ataukah sesuatu yang telah diketahui dalam makna suatu ujaran
yang dikenal sebagai ‗struktur informasi‘ dari ujaran tersebut. Ketika seseorang mengatakan ‗Saya melihat mobil berwarna BIRU‘, penekanan intonasi maksimum
pada ‗biru‘. Oleh karena itu, orang yang mendengar memberikan dugaan awal bahwa seseorang itu telah meragukan warna; apabila p
enekanan pada kata ‗saya‘ hal tersebut akan memberikan dugaan pertanyaan sebelumnya tentang siapa orang
yang dilibatkan, karena sangatlah aneh ketika seseorang bertanya ‗Siapa melihat mobil berwarna biru?‘, dan jawabannya adalah ‗Saya melihat mobil BIRU‘, 4
Universitas Sumatera Utara
69 penanda tekstual karena intonasi bukan hanya digunakan untuk memberi tanda
dalam struktur kalimat, tetapi merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam suatu konstruksi cakupan yang lebih luas dari wacana discourse. Pada
pembacaan berita radio, koherensi prosodi dapat digambarkan dengan baik yaitu cara memberikan bentuk melodi distingtif pada paragraf-paragraf informasi. 5
penanda psikologi karena intonasi sangat membantu dalam mengorganisasikan bahasa ke bagian-bagian yang lebih mudah dipahami, dan kemampuan dalam
mengorganisasikan ujaran ke bagian-bagian intonasi juga merupakan suatu ciri penting dari pemerolehan bahasa normal, dan 6 penanda indeksikal, yaitu
sebagai penanda terhadap identitas pribadi atau suatu fungsi ‗indeksikal‘, ciri tersebut membantu mengidentifikasi orang sebagai milik kelompok sosial dan
pekerjaan yang berbeda seperti pendeta, pedagang kaki lima, prajurit tentara. Berdasarkan beberapa uraian di atas dapatlah diambil simpulan bahwa,
penelitian intonasi adalah penelitian yang berhubungan dengan fonetik akustik. Menurut Rahyono 2003:11 penelitian intonasi ini dapat dilakukan dengan cara
1 produksi data, 2 analisis akustik, dan 3 uji persepsi. Pada tahap produksi tuturan mempunyai dua kegiatan yaitu, penjaringan data dan seleksi korpus data.
Sedangkan, pada tahap analisis akustik mempunyai dua kegiatan yaitu tuturan disegmentasikan dan sintesis tuturan. Pada tahap yang terakhir, adalah uji persepsi
yang terdiri atas tiga kegiatan yaitu penyusunan stimulus, penilaian dari responden, dan analisis statistik.
3.5.1 Frekuensi
Frekuensi adalah bunyi yang berpengaruh terhadap tinggi dan rendahnya nada pada sebuah bunyi juga menentukan tinggi rendahnya nada sebuah bunyi.
Universitas Sumatera Utara
70 Semakin tinggi frekuensi tentu akan semakin tinggi nada bunyi itu. Menurut
Lehiste 1970 frekuensi bunyi adalah jumlah getaran dalam waktu satu detik. Pada umumnya, frekuensi yang terdengar terletak di antara 20 dan 20.000
HertzHz. Seperti yang dikatakan Boë melalui Laksman 1995:189 bahwa frekuensi suatu bunyi mencapai 37 HertzHz, telinga hanya dapat mendengarnya
sebagai variasi bunyi yang berbeda sedangkan kontinuitas karateristik suatu bunyi musikal hanya muncul mulai 41 HertzHz. Sedangkan tuturan memiliki frekuensi
di antara 80 HertzHz 8 kHertz.
3.5.2 Intonasi
Intonasi merupakan sebuah unsur dalam tuturan yang dapat membantu seseorang ketika mengekspresikan sesuatu yang ada dalam hatinya atau
perasaannya dengan naik turunnya suara. Dengan adanya intonasi tentu banyak suatu kalimat akan berbeda-beda pula maknanya.
Intonasi mempunyai beberapa fungsi kebahasaan, ada yang bersifat umum yang berlaku untuk semua bahasa dan ada yang bersifat khusus yang berlaku
untuk bahasa tertentu saja. Sebagaimana yang diutarakan Nasution 2010:129 bahwa di antara fungsi kebahasaan dari intonasi adalah 1 Fungsi semantik, yang
membedakan arti dari suatu kata atau kalimat. Kata atau kalimat jika dituturkan dengan intonasi yang berbeda tentu dapat berbeda pula artinya. Contohnya, kata
“astaghfirullah” jika dituturkan dengan intonasi yang menurun, artinya meminta ampun kepada Allah, apabila dituturkan dengan intonasi naik, turun, naik maka
dapat diartikan sebagai orang yang sedang marah atau mengomel, karena tidak mengikuti aturan. 2 Fungsi ketatabahasaan, yang membedakan bentuk-bentuk
kalimat. Jika suatu kalimat dituturkan dengan intonasi yang berbeda dapat
Universitas Sumatera Utara
71 berubah bentuknya dari kalimat tanya interogatif menjadi kalimat berita
deklaratif atau menjadi kalimat perintah imperatif. Contohnya, dalam kalimat ―Ani lulus ujian‖ jika di tuturkan dengan intonasi mendatar maka kalimat tersebut
merupakan kalimat berita deklaratif, apabila intonasinya dituturkan dengan intonasi naik maka kalimat itu akan menjadi kalimat tanya interogatif. 3
Fungsi ekspresi kejiwaan, yang dapat membedakan sikap jiwa penuturnya, yaitu antara senang, marah, heran, atau kagum. Contohnya pada kalimat ―masak iya‖
dapat berarti sebagai ekspresi senang, ekspresi ketidaksetujuan atau sebagai ekspresi kesedihan.
3.5.3 Durasi
Durasi dapat didefenisikan sebagai rentang waktu yang diperlukan untuk menuturkan sebuah bunyi bahasa Halim, 1984:43. Pendapat yang sama juga
dinyatakan oleh Sugiyono 2003 bahwa durasi merupakan rentang waktu yang diperlukan di dalam merealisasikan sebuah segmen bunyi yang dapat diukur
dalam satuan milidetik. Menurut Lyon dan Martin dalam Laksman 1995:189 untuk dapat didengar dan dikenali, segmen bunyi harus disampaikan dalam durasi
waktu tertentu, persepsi terbaik adalah apabila rentang waktu segmen bunyi di antara 30 dan 50 milidetik.
3.5.4 Nada
Secara umum, persepsi pendengar yang berkenaan dengan nada bunyi adalah tentang tinggi atau rendahnya bunyi atau naik turunnya bunyi. Ketika pita
suara semakin tegang yang disebabkan oleh naiknya arus udara dari paru-paru, tentu akan menimbulkan nada yang tinggi. Seperti yang dinyatakan oleh Lapoliwa
1988:41 bahwa biasanya nada dipakai untuk menyatakan hal-hal baik yang
Universitas Sumatera Utara
72 bersifat lingusitik atau yang bersifat non-linguistik. Bersifat lingusitik karena
hampir semua bahasa selalu mempergunakan nada sebagai penanda satuan sintaksis, yaitu 1 suara nada bunyi turun biasanya menunjukkan kelengkapan
tuturan, 2 suara nada naik biasanya menunjukkan ketidaklengkapan tuturan. Sedangkan yang bersifat non-linguistik karena nada suara juga menunjukkan sifat
seseorang, yaitu 1 nada bunyisuara dapat menunjukkan jenis kelamin seseorang, apakah perempuan atau laki-laki. Suara laki-laki biasanya lebih rendah
dibandingkan dengan suara perempuan. 2 nada bunyisuara orang dewasa lebih rendah dibandingakan dengan nada suara anak-anak. 3 nada bunyisuara dapat
juga menunjukkan emosi penutur, misalnya a ketika seseorang marah nadanya biasanya akan meninggi atau tajam. b ketika seseorang sedang sedihsusah
nadanya biasanya agak rendah. c ketika seseorang sedang gembirasenang nadanya biasanya agak tinggi.
3.5.4.1 Alir Nada
Alir nada atau pitch movement adalah satuan terkecil analisis perseptual intonasi. Kemudian, alir nada merupakan satuan terkecil konstituen intonasi
dalam membentuk satuan yang lebih besar yang disebut dengan kontur nada dan kontur nada adalah satuan terbesar di dalam intonasi. Melalui pola-pola kontur
nada, dapat ditemukan pola-pola intonasi ‗t Hart, 1990:72.
3.5.5 Fonetik Eksperimental
Fonetik eksperimental merupakan penelitian yang menggunakan instrumen atau peralatan di dalam mengkaji bunyi-bunyi bahasa. Instrumen dalam
kaijan fonetik akustik adalah alat yang dapat memproses, menganalisis dan
Universitas Sumatera Utara
73 menghasilkan analisis akustik, oleh karena itu fonetik eksperimental disebut juga
dengan fonetik instrumental. Fonetik eksperimental adalah penelitian yang relatif lebih muda dibandingkan dengan fonetik impresionistik yang sama sama dapat
melakukan analisis fonetik. Fonetik impresionistik adalah penelitian yang mengandalkan kepakaran dari ahli fonetik dalam membedakan bunyi-bunyi
dengan menggunakan telinga atau indera pendengaran, kemudian menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang didengarnya. Hasil penelitian tersebut hanya
berdasarkan tanggapan dari peneliti fonetik impresionistik saja. Fonetik eksperimental dapat memberikan penyelesaian yang baik terhadap masalah-
masalah yang dihadapi dalam fonetik impresionistik. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan instrumental, yaitu
penelitian yang dilakukan dengan bantuan alat ukur yang akurat, baik di dalam pelacakan gerak pita suara, maupun pengukuran ciri akustik Ladd, 1996 dan
Cruttenden, 1977. Telah banyak dikembangkan program komputer untuk pengukuran ciri akustik seperti Computerized Reasearch speech Environment
CRSE dan Praat. Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini akan menggunakan pendekatan instrumental dengan menggunakan program Praat.
3.5.6 Hipotesis Nol Ho
Menurut Bungin 2001:94 —95, Hipotesis ini mempunyai bentuk dasar
atau memiliki statement yang menyatakan tidak ada hubungan antara variabel X dan variabel Y yang akan diteliti, atau variabel independen X tidak
mempengaruhi variabel dependen Y. Statement konkritnya dapat dicontohkan; ―Tidak ada hubungan antara sikap pemihakan jurnalistik dengan gejolak politik di
suatu negara‖, ―Tidak ada hubungan antara tingkat kenakalan remaja suatu negara
Universitas Sumatera Utara
74 dengan mutu pelayanan kesejahtera
an sosial di negera tersebut‖, ―Peningkatan jumlah kecelakaan lalu lintas tidak dipengaruhi oleh sikap pengendara kendaraan
bermotor di jalan raya‖ dan sebagainya. Hipotesis nol ini dibuat dengan kemungkinan yang besar untuk ditolak, ini
berarti apabila terbukti bahwa hipotesis nol ini tidak benar dalam arti ditolak, maka disimpulkan bahwa ada hubungan antara variabel X dan variabel Y.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Pendahuluan
Penelitian tentang intonasi emosi bahasa Melayu Langkat ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Untuk mendeskripsi pola intonasi
tuturan bahasa Melayu Langkat di dalam masalah tuturan pada emosi marah, sedih dan senang akan menggunakan metode kualitatif sedangkan untuk
mengetahui apakah intonasi tuturan emosi marah, sedih dan senang dengan kontur intonasi tertentu mempunyai makna yang berbeda, akan menggunakan metode
kuantitatif.
Bab ini menguraikan metodologi yang akan digunakan di dalam penelitian intonasi emosi bahasa Melayu Langkat dengan menjelaskan tentang siapa dan
jumlah informan dan responden, bagaimana teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, metode analisis data, dan bagaimana cara uji persepsi seleksi
korpus data. Dalam bab ini juga akan diuraikan tentang alat ukur yang akan digunakan dalam kajian ini yaitu Praat versi 4.0.27.
4.2 Informan dan Responden Penelitian
Di dalam penelitian ini informan dan responden yang digunakan adalah penutur bahasa Melayu Langkat yang berdomisili di Tanjung Pura dan sekitarnya
yang terdiri atas dua kelas sosial yang berbeda yaitu kelas sosial bangsawan dan orang kebanyakan. Seperti yang dikatakan Omar, 1985 bahwa kelas sosial dalam
bahasa Melayu digeneralisasikan ke dalam dua kelompok yaitu kelompok bangsawan dan kelompok kebanyakan. Informan dalam penelitian ini berjumlah 6
Universitas Sumatera Utara
76 orang yang terdiri atas 3 orang dari kelompok bangsawan dan 3 orang dari
kelompok kebanyakan. Mereka berusia antara 20 s.d. 55 tahun. Alasan memilih 6 orang sebagai informan karena mereka memiliki alat ucap yang baik atau
artikulator yang lengkap. Teknik pengambilan informan menggunakan teknik purposive berdasarkan tujuan.
Penetapan responden ditujukan kepada penutur bahasa Melayu Langkat yang memiliki alat ucap yang baik dan artikulasi yang lengkap terjaring sebanyak
40 orang terdiri atas 20 orang kelompok bangsawan dan 20 orang dari kelompok kebanyakan yang keseluruhannya dijadikan sebagai sampel total sampling.
4.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data