AM Hendropriyono versus TPF Munir

AM Hendropriyono versus TPF Munir

Jenderal (purn) Abdullah Mahmud Hendropriyono adalah mantan kepala BIN sekaligus tokoh nasional kontroversial yang telah banyak dilukiskan media massa sebagai tokoh yang begini dan tokoh yang begitu. Dihormati kolega karena keberanian dan prinsipnya, disegani lawan di medan pertempuran

ditakuti musuhnya karena keprofesionalannya di bidang militer, dicintai anak buah karena kedekatannya dan kehangatan pribadinya, dibenci musuh politik karena kelihaian dan arogansinya.

karena

strateginya,

TPF Munir adalah sebuah Tim bentukkan presiden yang didesak oleh gerakan aktivis, karena Munir Sarjana Hukum adalah salah satu aktivis yang tewas secara misterius. Ketakutan terulangnya peristiwa tewasnya aktivis lain membuat hampir seluruh aktivis HAM memiliki kepentingan yang sama, yaitu membongkar misteri tersebut.

Di sisi lain ada rakyat Indonesia yang menjadi saksi polemik di media massa. Ada juga pemerintah dengan aparatur penegak hukumnya yang juga menyaksikan polemik tersebut sekaligus berada di dalam proses pengungkapan kasus Munir SH.

Dalam kasus ini biarkan saya berposisi sebagai rakyat biasa yang kebetulan rajin mengamati perkembangan berita nasional Indonesia:

1. Sejak awal kematian Munir SH sudah ada desas-desus keterkaitan

BIN, yaitu yang disebar oleh seorang atau beberapa "oknum" kepada sejumlah aktivis dan wartawan melalui telepon genggam. Berawal dari desas-desus itu muncul ide pembentukkan TPF Munir dari kalangan aktivis karena diyakini Polisi tidak akan mencapai hasil maksimal.

2. Pemerintahan Yudhoyono yang baru dan memerlukan simpati segera merespon harapan para aktivis tersebut. Dalam posisi ini terjadi simbiosis mutualisme antara gerakan aktivis dan pemerintah. Dibentuklah TPF Munir dengan terjadinya beberapa penolakan dari sejumlah aktivis untuk duduk di dalamnya karena selain tidak yakin juga memperhitungkan "resiko" pribadi berupa kegagalan total.

3. Proses penyelidikan yang telah diwarnai "dugaan" berdasarkan informasi awal segera dimanfaatkan TPF yang dipimpin Jenderal Polisi berbintang satu untuk mengarahkan penyelidikan pada kemungkinan terlibatnya BIN. Secara perlahan satu-persatu langkah penyelidikan mencapai "keberhasilan" dengan puncaknya penetapan tersangka.

4. Karena tujuannya memang membidik BIN dan sejumlah mantan pimpinannya, maka TPF Munir tidak puas dengan penetapan tersangka itu oleh Kepolisian. Akhirnya berdasarkan "kekuatan" dukungan politik dari presiden dan "keberanian", beberapa anggota TPF berinisiatif melacak lebih jauh.

5. Kemudian terjadi lagi desas-desus dari seorang atau beberapa "oknum" yang menceritakan pernah melihat surat tugas yang mengaitkan

Pollycarpus dengan BIN. Terjadilah proses tarik menarik TPF Munir dan BIN yang membuat mantan Sekretaris Utama BIN bolak-balik ke diinterogasi TPF dan Polisi. Dilanjutkan dengan sejumlah mantan petinggi BIN lainnya seperti Kepala Biro BIN dan mantan Deputi V BIN, bahkan "hebatnya" TPF Munir sampai bisa melacak jalur telepon yang konon pernah tercatat menghubungkan mantan Deputi V BIN dengan tersangka Sdr. Pollycarpus. Belakangan pejabat tinggi aktif BIN turut diinterogasi.

6. Dibayang-bayangi oleh kemungkinan gagal karena tidak bisa membuktikan desas-desus surat tugas Pollycarpus dengan "memaksa" mantan petinggi BIN dan petinggi BIN, TPF mengembangkan opini negatif tentang BIN dan mantan petingginya bahkan juga menuduh Ketua BIN sekarang tidak kooperatif. Dalam jalur yang lain telah dipersiapkan langkah-langkah membuat kasus Munir sebagai kasus HAM internasional.

7. Karena dikait-kaitkan terus dalam sejumlah pemberitaan media massa, akhirnya Jenderal (purn) AM Hendropriyono menjadi gerah dan mengambil langkah hukum demi membela nama baiknya yang sudah lama digerogoti oleh proses yang biasa disebut pembunuhan karakter seseorang.

8. Polemik-pun berkelanjutan. Para aktivis mengupayakan konsolidasi kekuatan dan mencari dukungan dengan jalur khusus kepada Komnas HAM untuk lebih serius dalam kasus Talangsari. Kemudian sejumlah LSM pun melakukan aksi kecaman terhadap Jenderal (purn) AM Hendropriyono.

9. Persoalan ini bila kita coba lihat dari kacamata rakyat jelata jelas "TIDAK PENTING", karena rakyat biasa tidak akan pernah bisa melihat dari kacamata Elit Aristokratis para aktivis yang akhirnya terjebak dari idealisme ideologi menjadi kepentingan individualistik. Rakyat biasa juga tidak akan pernah bisa melihat dari kacamata seorang Elit Politik para petinggi dan mantan petinggi BIN. Rakyat jelata juga tidak akan bisa melihat dari kacamata Elit Eksekutif Presiden Indonesia.

10. Meskipun demikian, rakyat biasa seperti Ibu Suciwati istri Munir SH adalah pihak pertama yang merasakan kesedihan luar biasa karena kehilangan suami sekaligus penopang hidupnya. Dari kacamata Suciwati tentu saja pengungkapan kasus Munir menjadi "PENTING", demi keadilan dan demi kepuasan (ketentraman) bathin tentunya. Pentingnya terletak pada sisi kemanusiaan atas suatu peristiwa pidana "biasa" yang menimpa suaminya.

11. Namun bagi para aktivis letak pentingnya adalah terletak pada kemenangan Elit Aristokrat Aktivis yang jauh dari kejelataan, dan kemenangan aktivis atas dominasi negara yang "mungkin" dianggap mempraktekan kekerasan. Posisi aktivis akan semakin kuat pasca kasus Munir bila memang keberuntungan berpihak padanya. Bahkan bisa menjadi sebuah despotisme baru, dimana penguasaan opini publik dan justifikasi gerakan politik menjadi senjata ampuh dalam mendikte tata sosial masyarakat Indonesia.

12. Tidaklah mengherankan bila resistensi terjadi justru dari dalam 12. Tidaklah mengherankan bila resistensi terjadi justru dari dalam

13. Yang akan paling mengerikan adalah apabila desas-desus yang dipercayai oleh sejumlah anggota TPF ternyata bagian dari permainan besar yang tidak pernah ada dan tidak akan pernah bisa dibawa ke hadapan hukum. Inilah faktor utama yang membuat Polisi jauh lebih hati- hati, karena segala bukti yang tidak bisa menjadi barang bukti di pengadilan adalah sia-sia.

Posted by Senopati Wirang / Thursday, June 02, 2005