Kolom Ironi Blok Cepu

Kolom Ironi Blok Cepu

Dradjad Wibowo [Ekonom, Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional DPR RI] Apa beda ExxonMobil dengan Merpati? Kita semua tahu, yang pertama adalah raksasa minyak Uncle Sam dan yang kedua merupakan badan usahamilik negara di sektor penerbangan. Yang pertama sangat kuat secarafinansial, yang kedua perusahaan zombie karena ekuitasnya negatif Rp1,15 triliun.Perlakuan pemerintah terhadap kedua perusahaan itu sung- guhlah berbeda.Exxon ingin menjadi operator Blok Cepu selama 30 tahun, tapi terhalangoleh Peraturan Peme-rintah No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha HuluMinyak dan Gas Bumi. Banyak pasal yang bisa menghambat kemau-an Exxonkarena sebelumnya perusahaan ini hanya me-ngan-tongi perjanjiantechnical assistance contract (TAC).Namun, pada 10 September 2005, pemerintah mengeluarkan PP No. 34/2005untuk mengubah aturan yang lama. Di situ dinyatakan antara lain: "dalam hal adanya kepentingan yang mendesak, dapat dilakukan pengecualian terhadap beberapa ketentuan pokok kontrak kerja sama.." Kalimat ini merupakan justifikasi yang mengada-ada agar pemerintah bisa leluasamengubah kontrak. Saya tidak tahu apakah perubahan ini ada kaitannya de-ngan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Yang jelas, hilanglah hambatan legal bagi Exxon untuk menguasaiBlok Cepu. Atur-an baru memungkinkan Exxon mengubah kontraknya menjadiproduction sharing, dan disetujui Dradjad Wibowo [Ekonom, Wakil Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional DPR RI] Apa beda ExxonMobil dengan Merpati? Kita semua tahu, yang pertama adalah raksasa minyak Uncle Sam dan yang kedua merupakan badan usahamilik negara di sektor penerbangan. Yang pertama sangat kuat secarafinansial, yang kedua perusahaan zombie karena ekuitasnya negatif Rp1,15 triliun.Perlakuan pemerintah terhadap kedua perusahaan itu sung- guhlah berbeda.Exxon ingin menjadi operator Blok Cepu selama 30 tahun, tapi terhalangoleh Peraturan Peme-rintah No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha HuluMinyak dan Gas Bumi. Banyak pasal yang bisa menghambat kemau-an Exxonkarena sebelumnya perusahaan ini hanya me-ngan-tongi perjanjiantechnical assistance contract (TAC).Namun, pada 10 September 2005, pemerintah mengeluarkan PP No. 34/2005untuk mengubah aturan yang lama. Di situ dinyatakan antara lain: "dalam hal adanya kepentingan yang mendesak, dapat dilakukan pengecualian terhadap beberapa ketentuan pokok kontrak kerja sama.." Kalimat ini merupakan justifikasi yang mengada-ada agar pemerintah bisa leluasamengubah kontrak. Saya tidak tahu apakah perubahan ini ada kaitannya de-ngan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Yang jelas, hilanglah hambatan legal bagi Exxon untuk menguasaiBlok Cepu. Atur-an baru memungkinkan Exxon mengubah kontraknya menjadiproduction sharing, dan disetujui

Sebelumnya perusahaan ini sudah25 kali rapat dengan berbagai komisi di DPR. Namun, dalam rapat denganKomisi XI pada 22 Maret 2006, Menteri Keuangan membawa kabar buruk. Diamenyatakan pemerintah tidak bisa menerbitkan undertaking letter .Alasannya, ada hambatan legal berupa Keputusan Presiden No. 59/1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri. BUMN, BUMD, atau perusahaanswasta hanya dapat dibenarkan menerima kredit luar negeri jika tidak disertai jaminan dari pemerintah Indonesia. Sungguh ironis. Demi Exxon, pemerintah bersedia mengubah peraturan pemerintah. Namun bagi Merpati, yang menghadapi persoalan hidup danmati, pemerintah menggunakan keppres yang sudah "kakek-kakek" sebagai alasan tidak mau menerbitkan undertaking letter. Padahal, apa susahnya pemerintah merevisi keppres tersebut agar bisa menerbitkan undertaking letter?Kasus Blok Cepu juga menyimpan ironi yang lain. Salah satu faktor yang membuat Pertamina kerdil adalah karena ia tidak bisa beroperasi sebagai perusahaan yang normal. Hasil penjualannya harus disetorkan ke Departemen Keuang-an terlebih dahulu. Valuasi aset, kewajiban, dan ekuitasnya pun masih sangat lemah sehingga neracanya

belum auditable.Itu sebabnya, dalam berbagai rapat Komisi XI DPR RI sa-ya mendesak dibuatkannya valuasi dan neraca awal Pertamina serta dilakukannya konsolidasi rekening migas Departemen Keuangan. Setelah itu, berikan sebuah lapangan minyak dan gas dengan cadangan besar, agar aset Pertamina meningkat drastis. Blok Cepu memiliki cadangan minyak minimal 600 juta barel. Cadangan recoverable gas di sana paling sedikit 2 triliun standar kaki kubik(TCF). Dengan asumsi harga minyak mentah US$ 55 per barel dan gas US$ 3 per mmbtu, Pertamina akan memperoleh tambahan aset senilai minimal US$40 miliar jika Blok Cepu diserahkan kepadanya. Setelah itu, lakukan financial engineering, dengan menggunakan Blok Cepu sebagai underlying asset. Saya optimistis, Pertamina bisa memperoleh dana segar minimalUS$ 6-8 miliar di sini, bah-kan bisa sampai US$ 14 miliar jika kondisi pasar dan desainnya menguntungkan. Dana yang digalang Pertamina bisa dipakai untuk ekspan- si usaha. Surplus dan dividennya bisa diinvestasikan dalam surat-surat berhargayang diterbitkan pemerintah. Konsep ini lalu digabung dengan konsep BUMN special purpose vehicle (SPV) dan BUMN restructuring bonds yang pernah saya sampaikan. Pemerintah akan mempunyai dana restrukturisasi BUMN yang cukup besar. Kita bisa merestrukturisasi BUMN yang mengalami krisis utang dankeuangan yang kronis seperti Garuda, Merpati, dan Dirgantara Indonesia. Kita juga punya dana untuk membangun sinergi industri logam dasar, permesinan dan hilirnya, misalkan antara Krakatau Steel, Texmaco (yangsudah dikuasai pemerintah), Boma Bisma, PAL, INKA, DI, dan seterusnya.Tentu semua itu harus dibarengi dengan pengetatan tata kelola perusahaan yang baik di BUMN serta perombakan hubungan kepemilikan dan kerja antara

BUMN dan pemerintah, DPR, dan BPK. Intinya, kita buatBUMN bisa bekerja secara profesional sebagaimana korporasi lainnya. Dengan Blok Cepu diserahkan kepada ExxonMobil, potensi di atas tidak dimanfaatkan maksimal. Banyak pula keganjilan dalam proses penyerahan hak ope-rator tersebut.Pertama, masalah kepemilikan hak. Pada 3 Agustus 1990 Pertamina danHumpuss Patragas menanda-tangani technical assistant contract (TAC)Blok Cepu selama 20 tahun (1990-2010). Kontrak ini sebenarnya tidakboleh dipindahtangankan. Tapi pada 21 Maret 1997, paragraf 1 sectionV.1.1 dan V.1.2 tentang larangan pengalihan participating interest (PI)kepada pihak asing diamendemen.Perubahan ini membuat Humpuss dapat menjual hak isti-mewa yangdimilikinya. Pada 12 Juni 1997, 49 persen hak ke-penguasaan Humpussdialihkan kepada Ampolex, yang 51 persen dialihkan kepada Mobil CepuLtd pada 11 April 1999. Semua ini versi Pertamina.Menurut versi ExxonMobil, Ampolex memperoleh 49 per-sen dari Humpusspada 1996, dan diakuisisi oleh Mobil tahun itu juga. Jika ini benar,berarti Ampolex memperoleh hak tersebut secara tidak sah karenaamendemen kontrak TAC dibuat Maret 1997. Saya tidak tahu mana yangbenar.Yang jelas, Inspektorat Pertamina menemukan adanya du-ga-an kolusi,korupsi, dan nepotisme dalam proses amendemen kontrak TAC danpengalihannya. Laporan kasusnya pun sudah diserahkan kepada KejaksaanRI pada 26 Desember 2000. Sayangnya, laporan ini di-peti-es-kan.Anehnya, berbagai jajaran pemerintah, termasuk tim negosiasi yangdibentuk Menteri Negara BUMN pada 29 Maret 2005, sama sekali tidakmempersoalkan dugaan KKN itu. Negosiasi dilanjutkan seolah-olah Exxonsudah menjadi pemilik sah hak TAC atas Blok Cepu. Hebatnya lagi,setelah Maret 2006, ExxonMobil menjadi

pemegang hak operator dalamkontrak kerja sama bagi hasil dengan Pertamina.Jika Blok Cepu diumpamakan sawah, pemegang TAC mirip petani penggarap.Dengan memegang kontrak baru, si penggarap kini telah menjadi penguasalahan.Kedua, pembentukan tim negosiasi Blok Cepu juga diper-tanyakanlegalitasnya. Tim ini telah mengambil alih wewe-nang direksi Pertaminaseperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 19/2003 tentang Badan usahaMilik Negara. Tim negosiasi berunding dengan Exxon untuk dan atas na-maPertamina.Ketiga, dalam jadwal semula, joint operation agreement (JOA) rencananyaakan ditandatangani Juni 2006. Tapi pe-nan-datanganannya dipercepat keMaret 2006, bertepatan de- ngan kunjungan Menteri Luar Negeri AmerikaSerikat.Keempat, adanya penggantian Direktur Utama Pertamina sebelum kedatanganMenteri Luar Negeri Amerika. Saya tidak peduli Dirut Pertamina maudiganti seribu kali. Tapi penggantian ini, adanya tim negosiasi, danmunculnya PP 34/2005, memberikan indikasi adanya upaya yang sistematisuntuk menjadikan Exxon operator Cepu.Terakhir, adanya kampanye bahwa Pertamina tidak sanggup mengelola Blok Cepu dan tidak mempunyai dana. Masalah kesanggupan ini sudah dibantah oleh para ahli geologi dan geofisika Indonesia, dan tidak lagi dijadikan argumen. Masalah dana, sudah terbantahkan dengan potensi penerbitan obligasi dan dana perbankan. Masih banyak keganjilan lain, mulai dari cost recovery, biaya eksploitasi, potensi cadangan sebenarnya, hingga manfaat bagi rakyat. Dalam sebuah iklan yang dibuat Exxon disebutkan Indonesia akan menerima Rp 33 triliun per tahun. Tapi saya menghitung seharusnya itu jauh lebih besar karena biaya produksinya bisa ditekan jadi US$ 1,6 per barel. Saya masih pemegang hak operator dalamkontrak kerja sama bagi hasil dengan Pertamina.Jika Blok Cepu diumpamakan sawah, pemegang TAC mirip petani penggarap.Dengan memegang kontrak baru, si penggarap kini telah menjadi penguasalahan.Kedua, pembentukan tim negosiasi Blok Cepu juga diper-tanyakanlegalitasnya. Tim ini telah mengambil alih wewe-nang direksi Pertaminaseperti yang diatur dalam Undang-Undang No. 19/2003 tentang Badan usahaMilik Negara. Tim negosiasi berunding dengan Exxon untuk dan atas na-maPertamina.Ketiga, dalam jadwal semula, joint operation agreement (JOA) rencananyaakan ditandatangani Juni 2006. Tapi pe-nan-datanganannya dipercepat keMaret 2006, bertepatan de- ngan kunjungan Menteri Luar Negeri AmerikaSerikat.Keempat, adanya penggantian Direktur Utama Pertamina sebelum kedatanganMenteri Luar Negeri Amerika. Saya tidak peduli Dirut Pertamina maudiganti seribu kali. Tapi penggantian ini, adanya tim negosiasi, danmunculnya PP 34/2005, memberikan indikasi adanya upaya yang sistematisuntuk menjadikan Exxon operator Cepu.Terakhir, adanya kampanye bahwa Pertamina tidak sanggup mengelola Blok Cepu dan tidak mempunyai dana. Masalah kesanggupan ini sudah dibantah oleh para ahli geologi dan geofisika Indonesia, dan tidak lagi dijadikan argumen. Masalah dana, sudah terbantahkan dengan potensi penerbitan obligasi dan dana perbankan. Masih banyak keganjilan lain, mulai dari cost recovery, biaya eksploitasi, potensi cadangan sebenarnya, hingga manfaat bagi rakyat. Dalam sebuah iklan yang dibuat Exxon disebutkan Indonesia akan menerima Rp 33 triliun per tahun. Tapi saya menghitung seharusnya itu jauh lebih besar karena biaya produksinya bisa ditekan jadi US$ 1,6 per barel. Saya masih