Tentang Komunisme Versus Liberalisme

Tentang Komunisme Versus Liberalisme

Artikel ini mudah-mudahan bisa menjawab sejumlah argumentasi via e- mail dari mereka yang mengaku pejuang ekonomi pasar dan mereka yang mengaku Marxist. ----------------------------------- Bila Dita Indah Sari sampai kelabakan untuk menangkis tuduhan komunis dalam sebuah debat TV SCTV minggu lalu (4/4) seperti diceritakan seorang rekan Blog I-I, maka saya menjadi ragu bahwa prinsip-prinsip filosofis yang ditempuh Papernas maupun PRD sudah mapan, tentunya masih ada perdebatan yang seru didalamnya. Saya pribadi tidak pernah menyatakan bahwa Papernas maupun PRD Komunis (silahkan baca lagi lebih hati-hati Marxist Indonesia, yang saya nyatakan adalah merupakan perwujudan pemikiran Marxist yang mana variannya belum saya pahami sepenuhnya karena masih tampak mencari bentuk yang tepat. Dari beberapa tulisan tentang kelompok kiri, saya tidaklah berhenti dalam sikap antipati atau bermusuhan.

Bila para ekonom dalam Yayasan Indonesia Forum tetap berpijak pada keyakinan ekonomi bahwa sistem pasar dan integrasi pada ekonomi global adalah satu-satunya resep mujarab menuju Indonesia Raya dalam 5 besar dunia pada 2030, maka saya pastikan bahwa ada banyak resep pahit sosial-politik yang harus ditelan sebelum mimpi itu menjadi kenyataan. Dalam kritik saya pada para penganjur ekonomi pasar saya juga tidak bersikap antipati melainkan hanya mempertanyakan variabel-variabel non-ekonomi yang kadangkala justru lebih dominan di Indonesia.

Apa yang Blog I-I tawarkan adalah bahwa ada perlunya untuk sejenak keluar dari rumah intelektual filosofis keilmuan dan melihat kenyataan praktis apa yang perlu dibenahi di dalam rumah Indonesia Raya. Blog I-I juga menyarankan kepada mereka yang senang menggunakan prinsip pemaksaan untuk berkaca dan melihat betapa energi positif konstruktif hancur dan menciptakan konflik terbuka yang tak kunjung selesai. Konflik yang bersumber dari perbedaan pemikiran adalah wajar dan telah menjadi catatan sejarah yang berulang-ulang. Namun bila kita ingin mimpi Indonesia Raya bisa terwujud, maka konflik perbedaan itu tidak harus diakhiri dengan kehancuran salah satu pihak melalui jalan-jalan kekerasan. Ingat!!! mayoritas kelompok-kelompok politik di negeri ini pernah menghalalkan jalan-jalan kekerasan dalam catatan sejarah.

Dalam sudut pandang intelijen, generalisasi komunisme memang dirancang sedemikian rupa untuk mempermudah penolakan masyarakat secara total terhadap faham komunisme tanpa ada pemilahan sama sekali. Suatu hal yang mencengangkan adalah bahwa mekanisme tersebut juga telah mengganyang sosialisme Indonesia yang pernah mapan dalam beberapa periode di era Orde Lama dan kemudian berubah penampilan pada era Orde Baru dengan gerakan yang lebih kompromis dengan kekuasaan. Adalah ABRI/TNI yang bertanggungjawab dalam menciptakan strategi jitu penghancuran total komunisme. Bukankah pada era Orde Lama kekuatan politik dan militer yang berhadapan frontal adalah PKI dan TNI-AD. Sebenarnya gagasan strategis TNI cukup baik dalam bingkai pemantapan Pancasila dan Nasionalisme Indonesia, namun hal itu menjadi Dalam sudut pandang intelijen, generalisasi komunisme memang dirancang sedemikian rupa untuk mempermudah penolakan masyarakat secara total terhadap faham komunisme tanpa ada pemilahan sama sekali. Suatu hal yang mencengangkan adalah bahwa mekanisme tersebut juga telah mengganyang sosialisme Indonesia yang pernah mapan dalam beberapa periode di era Orde Lama dan kemudian berubah penampilan pada era Orde Baru dengan gerakan yang lebih kompromis dengan kekuasaan. Adalah ABRI/TNI yang bertanggungjawab dalam menciptakan strategi jitu penghancuran total komunisme. Bukankah pada era Orde Lama kekuatan politik dan militer yang berhadapan frontal adalah PKI dan TNI-AD. Sebenarnya gagasan strategis TNI cukup baik dalam bingkai pemantapan Pancasila dan Nasionalisme Indonesia, namun hal itu menjadi

Sorotan kepada TNI bukan dalam artian TNI menjadi sasaran tembak seperti pernah dilakukan oleh mayoritas aktivis civil society ketika mempreteli hak eksklusif TNI melalui mekanisme dwi-fungsi. Melainkan lebih pada dukungan penuh untuk menjadikan TNI yang profesional dengan kepastian anggaran militer yang memadai serta dukungan pembangunan kompleks industri militer untuk pengadaan peralatan perang. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya adalah perubahan watak segenap anggota militer melalui proses pendidikan yang profesional sehingga mampu menghasilkan insan militer yang tidak mudah tergoda untuk terjun bebas dalam praktek bisnis kotor seperti terjadi pada era Orde Baru. Hal itu juga terjadi dalam korps Polisi Indonesia, sehingga Military Watch dan Police Watch yang dilakukan masyarakat sipil Sorotan kepada TNI bukan dalam artian TNI menjadi sasaran tembak seperti pernah dilakukan oleh mayoritas aktivis civil society ketika mempreteli hak eksklusif TNI melalui mekanisme dwi-fungsi. Melainkan lebih pada dukungan penuh untuk menjadikan TNI yang profesional dengan kepastian anggaran militer yang memadai serta dukungan pembangunan kompleks industri militer untuk pengadaan peralatan perang. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya adalah perubahan watak segenap anggota militer melalui proses pendidikan yang profesional sehingga mampu menghasilkan insan militer yang tidak mudah tergoda untuk terjun bebas dalam praktek bisnis kotor seperti terjadi pada era Orde Baru. Hal itu juga terjadi dalam korps Polisi Indonesia, sehingga Military Watch dan Police Watch yang dilakukan masyarakat sipil

Liberalisme dan integrasi ke pasar global telah mendorong rasionalisasi sistem ekonomi nasional Indonesia yang selama masa Orde Baru penuh akal-akalan untuk kepentingan kelompok tertentu. Namun proses liberalisasi tersebut juga telah melahirkan kekuatan baru yang berpotensi memiliki watak semena-mena seperti pada masa Orde Baru. Namun kelompok baru ini tentunya semakin canggih dengan berbagai argumentasi dan pendekatan hukum formal yang kuat. Itulah sebabnya perlu dilakukan pengawasan yang super ketat dalam reformasi hukum nasional Indonesia agar tidak menjaid sangat berat kepada kelompok liberal. Disinilah, Blog I-I memberikan dukungan penuh kepada kaum Marxist Indonesia untuk berteriak dan memberikan draft pemikiran yang Liberalisme dan integrasi ke pasar global telah mendorong rasionalisasi sistem ekonomi nasional Indonesia yang selama masa Orde Baru penuh akal-akalan untuk kepentingan kelompok tertentu. Namun proses liberalisasi tersebut juga telah melahirkan kekuatan baru yang berpotensi memiliki watak semena-mena seperti pada masa Orde Baru. Namun kelompok baru ini tentunya semakin canggih dengan berbagai argumentasi dan pendekatan hukum formal yang kuat. Itulah sebabnya perlu dilakukan pengawasan yang super ketat dalam reformasi hukum nasional Indonesia agar tidak menjaid sangat berat kepada kelompok liberal. Disinilah, Blog I-I memberikan dukungan penuh kepada kaum Marxist Indonesia untuk berteriak dan memberikan draft pemikiran yang

Harapan Blog I-I tentu berupa sinergi dimana apapun gagasannya dan teknik pelaksanaannya satu hal yang perlu digarisbawai adalah bukan untuk kepentingan golongan, karena hal ini hanya mengulangi kesalahan besar Orde Baru.

Blog I-I berasumsi bahwa kesulitan terbesar dalam menggagas Indonesia Raya adalah terletak pada watak sombong dan ingin menang sendiri dari sosok manusia Indonesia. Selain itu diperparah oleh iri hati dan dendam yang akhirnya membutakan mata, menulikan telinga dan menutup hati nurani. Alih-alih pengatasnamaan agama, ideologi atau keyakinan seringkali ditembakkan demi niat-niat penghancuran elemen bangsa yang dianggap "musuh". Jangankan dialog, melihatpun tidak sudi karena sikap bermusuhan muncul lebih dahulu daripada harapan adanya perubahan yang lebih baik.

Watak-watak tersebut diatas menyuburkan kehidupan tikus-tikus koruptor, broker-broker ekonomi, pungutan-pungutan preman politik, perampok kekayaan alam, tikus kepolisian, tikus pengadilan, serta berbagai perilaku menyimpang lainnya. Di level akar rumput, lahir masyarakat yang haus narkoba karena kehilangan arah, masyarakat yang senang mengadili karena tidak ada keadilan, masyarakat yang menyimpan amarah karena tak berdaya, dan masyarakat yang cenderung putus asa.

Betapapun kondisinya, bila kita sadar makna kehadiran kita di dunia sebagai manusia Indonesia, bila kita masih merasa waras, maka belum terlambat untuk mencari jalan atas nama diri kita masing-masing untuk berdiri tegak menjadi lokomotif perubahan berkontribusi dengan niat tulus. Sekecil apapun cahaya yang kita keluarkan bisa menerangi sesuai kekuatan cahayanya.

Maaf, nulisnya kurang terstruktur karena memang tidak dikonsep secara baik. Silahkan dikoreksi oleh rekan-rekan semua.

Sekian