Sumber dana

Sumber dana

Mengenai sumber dana pembiayaan berbagai aksi terorisme tersebut, Andi mengatakan sumbernya dari negara-negara Timur Tengah, terutama Libia dan Suriah. Saat ini ada dugaan dana itu langsung berasal dari Afghanistan melalui penjualan senjata gelap. Sedangkan dari dalam negeri, kalaupun ada, itu merupakan bagian dari distribusi dana yang ada di Afghanistan.

''Aliran dananya bermacam-macam. Bisa berupa penyelundupan senjata. Bantuan berupa uang tunai bisa melalui transfer bank, tetapi wujudnya terutama dari hasil penyelundupan senjata dan juga obat bius," kata Andi lagi. Namun, Wawan mengisyaratkan ada oknum dalam negeri yang memiliki impunitas

tersebut kepada teroris. Mantan perwira intelijen TNI Angkatan Laut Djuanda mengatakan kemungkinan adanya konspirasi negara tetangga dengan para teroris. Alasannya, dalam teori strategi peperangan dikenal prinsip bahwa musuh utama dari sebuah negara adalah negara tetangga terdekat. Sedangkan mengenai penyokong dana, Djuanda mengatakan sumber dana bukan dari kalangan Islam radikal, melainkan musuh-musuh Islam yang sengaja ingin menghancurkan Islam.

yang menyuplai

dana

Indikasinya, jelas Djuanda, Al-Qaeda. Di masa lalu Al-Qaeda dibina Badan Intelijen Amerika (CIA), tapi sekarang justru dicari dan menjadi musuh utama negara adidaya itu. ''Jadi, perang terorisme di Indonesia sekarang ini merupakan satu bagian dari perang besar, yaitu perang ekonomi dan perdagangan,'' jelas Djuanda lagi. Menurut pengamat militer AC Manulang, Indonesia dijadikan sasaran teroris disebabkan Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.

"Ini sebenarnya strategi global Amerika. Yakni, kolonialisasi dan kapitalisasi. Umat Islam Indonesia diperkirakan menjadi penghambat luar biasa bagi keberlangsungan kepentingan Amerika di Indonesia, " kata Manulang. Tegasnya, sambung Manulang, Amerika menginginkan citra Islam Indonesia buruk di mata internasional. Caranya dengan menjadikan Islam sebagai aksi-aksi di belakang terorisme. Dengan banyaknya teror di Indonesia, semakin lama kian terbentuk opini bahwa Islam identik dengan teroris. "Terorisme itu musuh dunia. Jika Indonesia tidak bisa meredam radikalisasi, ini berarti Indonesia negara teroris," tambahnya. Selain itu, Amerika ingin mengecek apakah ada kenyamanan dan keamanan bagi warga negara dan kepentingan AS di negeri ini. "Yang ditakutkan AS dari Indonesia adalah meluasnya upaya politikus agama, yang menggunakan Islam sebagai kuda troya politik. Untuk menghambat itu Amerika tidak memberi kesempatan bagi berkembangnya politik atas nama agama di negeri ini. Amerika tidak ingin orang yang membawa-bawa Islam di negeri ini berkuasa," jelasnya. Berkaitan dengan dana, Manulang menduga berasal dari orang-orang di berbagai belahan dunia, khususnya Amerika. Artinya, orang yang memiliki modal untuk berinvestasi di

Indonesia. "Di Irak, misalnya, aroma perebutan pengelolaan minyak menjadi bukti adanya keterlibatan orang kaya," jelas Manulang.

Di sisi lain, menurutnya, sumber dana terorisme muncul dari kelompok orang kaya di berbagai negara yang menjadikan agama sebagai ideologi dan ideologi dijadikan agama. (*/X-6)

--------------------------------------------

1. Saudara Wawan, sebagai salah seorang the rising star komunitas intelijen tampak terlalu formal dan tidak menyentuh esensi persoalan yg sesungguhnya. Soal payung hukum memang ada benarnya tapi bukan ini esensi persoalannya, Polisi selama ini cukup berhasil "melumpuhkan" gerakan kelompok-kelompok teroris (dengan dukungan dunia intelijen tentunya). Tetapi tampak ada keinginan dari kalangan intelijen, khususnya yang berbasis militer untuk turut aksi memerangi teroris, sehingga desakan payung hukum masih saja bergaung. Saya kira sebenarnya payung hukum yang melindungi setiap operasi Polisi jelas

Polisi, tetapi jadi menomorduakan kalangan intelijen. Saya menduga ada keengganan dari kalangan intelijen non Polisi untuk berbagi dan membiarkan Polisi untuk menjadi pahlawan di mata masyarakat. Sungguh hampir keseluruhan jaring teroris atas dasar separatisme, sentimen agama maupun ideologi sudah terpetakan di kalangan intelijen non polisi. Mantan Kapolri Da'i Bachtiar saya kira cukup sportif dengan pernah mengakui bahwa polisi

menunjukkan

keberhasilan

disupplai informasi oleh komunitas intelijen non polisi, tetapi memang sayang intelijen selalu menjadi kambing hitam setiap kali kecolongan. Kemudian soal pendidikan, lagi-lagi soal klise yg diajukan saya kira ini terlalu dipermukaan tidak menjelaskan apa-apa. Bandingkan misalnya dengan negara-negara miskin di Afrika yang tingkat pendidikannya dibawah Indonesia, mengapa tidak menjadi front perang melawan terorisme??? Faktor kemiskinan juga berbicara sama dengan alasan klise soal pendidikan, siapa bilang hanya orang miskin dan berpendidikan rendah yg tertarik dengan gerakan terorisme??? Sama dengan orang-orang yg tertarik dengan dunia intelijen yg harus melewati syarat tingkat intelligence minimum, maka orang yg tertarik dan simpati serta mampu bergabung dengan gerakan terorisme juga demikian. Saya mendukung argumentasi motivasi uang dan petualangan dan ketersesatan dalam menterjemahkan mati demi Tuhan. Sungguh saudara wawan atau lebih tepat dik wawan perlu memperbaiki argumentasi karena anda telah dipersiapkan untuk bisa go public dan "direstui" tentunya. Atau mungkin dik wawan hanya mengeluarkan pernyataan yg telah diresmikan sebagai pandangan yang mudah dicerna publik dan tidak mengundang polemik, karena apa yg disampaikan bukanlah suatu hal yg baru bagi publik (setiap orang yg tidak buta huruf dan buta berita tentunya tahu). Terakhir, sedikit soal benturan antara Islam modern (yg mana ya? yg liberal? yg anti tahayul bid'ah kurofat? yg pembaharu?) dan Islam konservatif (yg tradisionalkah? atau yg beraliran politik jihadkah? atau yg wahabiahkah?) adalah disupplai informasi oleh komunitas intelijen non polisi, tetapi memang sayang intelijen selalu menjadi kambing hitam setiap kali kecolongan. Kemudian soal pendidikan, lagi-lagi soal klise yg diajukan saya kira ini terlalu dipermukaan tidak menjelaskan apa-apa. Bandingkan misalnya dengan negara-negara miskin di Afrika yang tingkat pendidikannya dibawah Indonesia, mengapa tidak menjadi front perang melawan terorisme??? Faktor kemiskinan juga berbicara sama dengan alasan klise soal pendidikan, siapa bilang hanya orang miskin dan berpendidikan rendah yg tertarik dengan gerakan terorisme??? Sama dengan orang-orang yg tertarik dengan dunia intelijen yg harus melewati syarat tingkat intelligence minimum, maka orang yg tertarik dan simpati serta mampu bergabung dengan gerakan terorisme juga demikian. Saya mendukung argumentasi motivasi uang dan petualangan dan ketersesatan dalam menterjemahkan mati demi Tuhan. Sungguh saudara wawan atau lebih tepat dik wawan perlu memperbaiki argumentasi karena anda telah dipersiapkan untuk bisa go public dan "direstui" tentunya. Atau mungkin dik wawan hanya mengeluarkan pernyataan yg telah diresmikan sebagai pandangan yang mudah dicerna publik dan tidak mengundang polemik, karena apa yg disampaikan bukanlah suatu hal yg baru bagi publik (setiap orang yg tidak buta huruf dan buta berita tentunya tahu). Terakhir, sedikit soal benturan antara Islam modern (yg mana ya? yg liberal? yg anti tahayul bid'ah kurofat? yg pembaharu?) dan Islam konservatif (yg tradisionalkah? atau yg beraliran politik jihadkah? atau yg wahabiahkah?) adalah

2. Buat Saudara Andi Widjajanto, saya memaklumi bila anda terlalu banyak membaca tulisan "akademis" tentang Intelijen yang dirancang oleh kelompok RAND atau setidaknya dipengaruhi oleh orang-orang yang pernah atau punya kontak dengan RAND. Janganlah terlalu terpengaruh oleh orang-orang seperti Angel Rabasa atau John Haseman meskipun tulisan mereka sangat meyakinkan, atau bahkan seorang spesialis seperti Zachary Abuza (Simmons College in Boston), dan sejumlah penulis yg "produktif" lainnya. Meski saya juga menghormati karya-karya ilmiah mereka, namun coba lebih teliti kembali argumentasi dan sumber rujukan tulisan mereka, saya kira saudara Andi akan cepat menangkap maksud saya. Saya yakin setelah saudara Andi lebih cermat dalam memahami peta studi terorisme maka argumentasi mengapa ada kelompok teroris yg memilih Indonesia adalah sebagai bagian implementasi konsep mendirikan khalifah Islam di Asia Tenggara akan segera terpatahkan. Ada cerita yg jauh lebih besar dari sekedar cita-cita "semu" khalifah Islam Asia Tenggara. Argumentasi anda bahwa kelompok teroris berusaha menggerogoti sistem melalui aksi teror jelas tidak

sesuai baik secara teori maupun prakteknya, karena tidak realistis bagi para pelaku teror sekalipun (saya bisa jelaskan lebih lanjut bila ada yg tertarik). Kemudian soal dana, jangan mengacu pada dugaan "resmi" pemerintah Indonesia tentang sumber dana dari Libia, Suriah atau bahkan Afghanistan, hal ini dulu pada masa Presiden Megawati pernah dilontarkan sebagai upaya diplomatis untuk menekan negara-negara tersebut agar membuka akses kerja sama memerangi aksi teror. Tidak sungguh-sungguh karena ada aliran dana yg besar dari sana, apalagi hasil penjualan senjata dan obat bius, cobalah untuk tidak berimajinasi, masa saudara Andi yg sedang terbuka luas bisa terancam oleh kredibilitas argumentasi yg lemah semacam itu. Betapa-pun saudara Andi berhasil mengakses sumber- sumber terbatas di kalangan Intelijen, pendapat-pendapat semacam itu sangatlah sumir dan tidak meyakinkan komunitas intelijen internasional yg sesungguhnya. Perhatikan pendapat saudara wawan soal oknum dalam negeri yg memiliki impunitas (saya lebih setuju dengan istilah untouchable) yg menyuplai dana ke kalangan teroris.

3. Ah kawan lama Djuanda mengapa anda menyampaikan teori negara tetangga tanpa langsung saja menyebut Singapura dan dukungan Mossad-nya, sepertinya masih ingin membiarkan publik berpikir

konspirasi internasional penghancuran citra Islam memang sangat menarik, akan lebih menarik bila disampaikan juga teori the puppet master. Kalangan intelijen analis sudah banyak yg mengajukan "kemungkinan"

seperti biasa.

Teori Teori

4. Ah si abang Manullang tak hentinya menghembuskan strategi global Amerika tapi sayang mengapa alasannya saya rasakan tidak terlalu kuat. Meski abang cukup lama bergelut dalam litbang intelijen, tapi abang sangat jarang mengalami realita lapangan intelijen. Akibatnya banyak analisa abang yang terlalu bombastis meski ada juga dukungan faktanya. Sekali lagi saya sampaikan, ini bukan soal potensi hambatan dari umat Islam Indonesia tetapi lebih pada upaya menggiring umat Islam Indonesia, khususnya pemerintah Indonesia untuk "terpaksa" mendukung Amerika dalam memerangi "kejahatan" aksi teror. Argumentasi bahwa citra Islam menjadi buruk seharusnya lebih diperjelas dalam rangka membentuk opini publik domestik

Amerika yg mayoritas tdk terlalu paham juga opini internasional tentang definisi ANCAMAN dari kelompok teroris. Saya kira propaganda dan definisi ancaman teror itu sudah cukup jelas dengan sejumlah aksi bom di beberapa kota di dunia, juga termasuk yg di Indonesia. Lihat aksi bom terakhir yg terjadi di Amman Yordania, saya kira akan masih akan ada serial lanjutannya di kawasan Timur Tengah. Polemik apakah Al Qaeda benar-benar berada dibelakang setiap aksi kelihatan semakin mengkerucut ke arah "persetujuan" bahwa itulah kebenaran. Sedikit soal politik Islam, abang sudah lupa dengan sejarah bahwa kekuatan politik Islam tidak pernah mencapai angka dominan dalam pemilu 1955 maupun pasca reformasi, yang terbesar di kalangan Islam Indonesia adalah tidak pernah benar-benar menginginkan negara Islam. Pendapat-pendapat lain dari abang terlalu kecil untuk dikomentari karena saya lihat agak tergesa-gesa.

Sekian kegelisahan saya dalam mencermati para pakar Intelijen Indonesia.