GRAND DESIGN AMERIKA SERIKAT TERHADAP PAPUA oleh: ABWEHRMEISTER

GRAND DESIGN AMERIKA SERIKAT TERHADAP PAPUA oleh: ABWEHRMEISTER

Menarik kita amati perkembangan kasus Papua, yang diawali dari kasus Abepura (yang menuntut ditinjau ulangnya kontrak karya antara PT.Freeport Indonesia dan pemerintah RI) dan kasus pemberian visa tinggal sementara oleh Australia bagi puluhan orang aktivis Papua Merdeka yang menyatakan adanya genocide di Papua. Mari kita coba mengamati secara lebih seksama kedua kasus tersebut.

1. Tuntutan peninjauan ulang kontrak karya antara pemerintah RI dan PT.Freeport Indonesia. Hal ini mulai mendapat perhatian publik setelah terjadi demo besar- besaran oleh sebagian besar unsur masyarakat Papua (baik di Papua maupun di Jakarta) yang menelan korban dari aparat dan dari masyarakat. Mereka menuntut di tinjau ulangnya kontrak karya pengolahan Sumber Daya Alam yang dilakukan PT.Freeport Indonesia,

sebuah perusahaan Amerika Serikat. Tuntutan ini dikarenakan selama ini PT.Freeport Indonesia dinilai lalai dalam menangani masalah lingkungan hidup dan PT.Freeport Indonesia dirasa tidak memberi dampak positif secara signifikan kepada masyarakat asli Papua. Hal ini diperkuat oleh adanya laporan dari Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia yang menyatakan bahwa (pada intinya) telah terjadi degradasi/penurunan kualitas lingkungan hidup di Papua, yang apabila dibiarkan terus menerus akan sangat merugikan Indonesia. Beberapa tokoh politisi dan parlemen Indonesia belakangan angkat bicara dan mengakomodir keinginan masyarakat Papua melalui parlemen. DPR mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kontrak karyanya dengan PT.Freeport Indonesia. Hanya sayang sikap DPR ini hanya melalui pernyataan-pernyataan tokohnya secara parsial, bukan sikap resmi DPR secara institusional sebagai lembaga parlemen Indonesia. Tanpa perlu menjadi seorang expert, kita bisa melihat adanya gangguan terhadap kepentingan Amerika Serikat di Indonesia. Bisa dibayangkan berapa besar kerugian yang dialami PT.Freeport Indonesia (baca: Amerika Serikat) apabila peninjauan ulang kontrak karya tersebut benar-benar terjadi. Sebenarnya peninjauan ulang kontrak kerja sama merupakan HAK Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh atas Papua. Ditinjau dari segi hukum (tentunya hukum Indonesia), pembaruan suatu perjanjian dimungkinkan untuk dilakukan sebelum habis masa berlaku perjanjian tersebut apabila ada hal-hal yang secara prinsipil melanggar UU. Ketentuan ini bisa kita lihat dari pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (BW) yang menyatakan sebagai berikut :”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu

perjanjian tidak dapat dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.” Dari uraian pasal tersebut diatas nampak jelas bahwa suatu perikatan hukum (baca: perjanjian) dapat ditarik kembali (atau diperbarui) apabila mendapat kesepakatan dari kedua belah pihak dan atau pelanggaran terhadap UU yang berlaku. Dalam hal ini UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Posisi pemerintah dalam hal ini sebenarnya sangat kuat baik secara de facto maupun secara de jure. Pemerintah tidak perlu takut terhadap pencitraan buruk Indonesia di luar negeri. Saya yakin banyak putera-puteri Indonesia yang ahli dalam bidang komunikasi dan pencitraan diri. Masih banyak investor asing lain yang mau menanamkan modalnya di Papua. Dalam kasus ini PT.Freeport Indonesia (baca:Amerika Serikat) jelas-jelas merasa terancam dan merasa terusik posisinya di Indonesia. Logikanya, pasti mereka akan memberikan reaksi yang kita tidak tahu entah apa. Melihat arah kebijakan luar negeri AS yang kental nuansa kapitalisme (baca: kolonialisme) yang dilatar belakangi sumber daya alam (Irak, Blok Cepu, Amerika Latin),bisa dipastikan mereka akan mempertahankan kepentingannya dengan segala cara. Pengalaman kita pada masa pemerintahan Soekarno, dimana AS berencana untuk menduduki Indonesia melalui skenarionya membumi hanguskan CALTEX di Riau untuk kemudian mendarat dan menguasai Indonesia. Kejadian itu pada masa pemberontakan PRRI-PERMESTA pada zaman pemerintahan Soekarno. Saya merasa bersyukur skenario tersebut gagal total dan akhirnya mencoreng muka AS. Bukan tidak perjanjian tidak dapat dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.” Dari uraian pasal tersebut diatas nampak jelas bahwa suatu perikatan hukum (baca: perjanjian) dapat ditarik kembali (atau diperbarui) apabila mendapat kesepakatan dari kedua belah pihak dan atau pelanggaran terhadap UU yang berlaku. Dalam hal ini UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Posisi pemerintah dalam hal ini sebenarnya sangat kuat baik secara de facto maupun secara de jure. Pemerintah tidak perlu takut terhadap pencitraan buruk Indonesia di luar negeri. Saya yakin banyak putera-puteri Indonesia yang ahli dalam bidang komunikasi dan pencitraan diri. Masih banyak investor asing lain yang mau menanamkan modalnya di Papua. Dalam kasus ini PT.Freeport Indonesia (baca:Amerika Serikat) jelas-jelas merasa terancam dan merasa terusik posisinya di Indonesia. Logikanya, pasti mereka akan memberikan reaksi yang kita tidak tahu entah apa. Melihat arah kebijakan luar negeri AS yang kental nuansa kapitalisme (baca: kolonialisme) yang dilatar belakangi sumber daya alam (Irak, Blok Cepu, Amerika Latin),bisa dipastikan mereka akan mempertahankan kepentingannya dengan segala cara. Pengalaman kita pada masa pemerintahan Soekarno, dimana AS berencana untuk menduduki Indonesia melalui skenarionya membumi hanguskan CALTEX di Riau untuk kemudian mendarat dan menguasai Indonesia. Kejadian itu pada masa pemberontakan PRRI-PERMESTA pada zaman pemerintahan Soekarno. Saya merasa bersyukur skenario tersebut gagal total dan akhirnya mencoreng muka AS. Bukan tidak

2. Kasus pemberian visa tinggal sementara oleh Australia terhadap aktivis separatisme Papua. Kasus ini membuat hubungan bilateral Indonesia – Australia kembali memanas. Indonesia menarik kembali dubesnya, sementara dubes Australia dipanggil Menlu RI untuk menjelaskan sikap pemerintahan Australia. Untuk yang kesekian kalinya hubungan Indonesia – Australia menegang. Masih segar dalam benak rakyat Indonesia bagaimana peran aktif Australia dalam kasus lepasnya Timor-Timur dari pangkuan ibu pertiwi. Belakangan diketahui bahwa motif utama Australia dalam mensponsori kemerdekaan Timor-timur adalah celah timor yang ditengarai kaya akan minyak. Sobat kental AS ini nampaknya telah belajar banyak dari sohibnya itu. Pemberian suaka dan visa tinggal tersebut jelas-jelas tidak mencerminkan sikap dukungan Australia terhadap kedaulatan wilayah NKRI, seperti yang selama ini berulang kali mereka utarakan kepada berbagai media dunia. Sikap mereka ini menunjukkan bahwa mereka memberi dukungan kepada elemen-elemen separatisme di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari adanya dukungan berupa moril dan materiil dari berbagai parpol Australia terhadap pihak separatis Papua (sebagaimana tercantum dalam temuan data dan fakta yang dibawa oleh tim parlemen Indonesia yang akan sowan ke Australia). Terlebih lagi kita memiliki pengalaman pahit pada masa lalu dalam kasus 2. Kasus pemberian visa tinggal sementara oleh Australia terhadap aktivis separatisme Papua. Kasus ini membuat hubungan bilateral Indonesia – Australia kembali memanas. Indonesia menarik kembali dubesnya, sementara dubes Australia dipanggil Menlu RI untuk menjelaskan sikap pemerintahan Australia. Untuk yang kesekian kalinya hubungan Indonesia – Australia menegang. Masih segar dalam benak rakyat Indonesia bagaimana peran aktif Australia dalam kasus lepasnya Timor-Timur dari pangkuan ibu pertiwi. Belakangan diketahui bahwa motif utama Australia dalam mensponsori kemerdekaan Timor-timur adalah celah timor yang ditengarai kaya akan minyak. Sobat kental AS ini nampaknya telah belajar banyak dari sohibnya itu. Pemberian suaka dan visa tinggal tersebut jelas-jelas tidak mencerminkan sikap dukungan Australia terhadap kedaulatan wilayah NKRI, seperti yang selama ini berulang kali mereka utarakan kepada berbagai media dunia. Sikap mereka ini menunjukkan bahwa mereka memberi dukungan kepada elemen-elemen separatisme di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari adanya dukungan berupa moril dan materiil dari berbagai parpol Australia terhadap pihak separatis Papua (sebagaimana tercantum dalam temuan data dan fakta yang dibawa oleh tim parlemen Indonesia yang akan sowan ke Australia). Terlebih lagi kita memiliki pengalaman pahit pada masa lalu dalam kasus

4. Alternatif penyelesaian masalah. Berkali-kali Australia menginjak-injak harga diri dan martabat bangsa Indonesia. Penangkapan nelayan Indonesia, pelanggaran kedaulatan Indonesia di udara oleh AU Australia (boleh tanyakan pada saudara- saudara kita di AURI), lepasnya Tim-tim dari NKRI, pemasangan instalasi rudal yang dapat menjangkau wilayah NKRI, dan sekarang dukungan secara terang-terangan terhadap elemen separatisme Papua (pihak parlemen Indonesia dan kalangan intelijen pasti tahu lebih banyak). Kita semua pasti mahfum bahwa kita tidak bisa berharap banyak dari PBB.

Sudah banyak kejadian yang menunjukkan bahwa PBB tidak memihak kepada rasa keadilan masyarakat internasional dan didalam tubuh PBB sendiri ada perbedaan perlakuan terhadap negara-negara anggotanya. Masih adanya hak veto bagi beberapa negara menunjukkan hal ini. Padahal hak veto tersebut sangat tidak relevan dan sangat mencederai asas persamaan kedudukan negara-negara yang berdaulat di dunia. Tidak akan pernah tercapai susunan dunia yang adil, merata dan sejahtera bila PBB (sebagai organisasi internasional yang utama) masih tidak berubah. Sikap Indonesia yang menarik kembali duta besarnya di Australia mencerminkan adanya perhatian yang serius dari pemerintah RI. Kita harus menata ulang kembali hubungan bilateral kita dengan Australia. Saya menyarankan beberapa alternatif penyelesaian disini, yaitu : § Secara eksternal

 Melakukan komunikasi bilateral dengan Australia melalui saluran diplomatik secara lebih intensif dan komprehensif dalam konteks Papua

 Mencari dukungan dalam berbagai forum internasional terhadap keutuhan kedaulatan wilayah NKRI (negara-negara Asia-Afrika, ASEAN, PBB,dll)

 Memberikan penjelasan kepada masyarakat internasional bahwa apa yang terjadi di Papua adalah murni masalah intern dalam negeri Indonesia, bahwa tidak ada peristiwa pelanggaran HAM berat (genocide) yang terjadi di bumi Papua seperti yang dituduhkan para aktivis separatisme Papua, bahwa apa yang dilakukan Australia adalah bentuk sikap bermusuhan dan melegalisasi tuduhan pelanggaran HAM berat di Indonesia,  Memberikan penjelasan kepada masyarakat internasional bahwa apa yang terjadi di Papua adalah murni masalah intern dalam negeri Indonesia, bahwa tidak ada peristiwa pelanggaran HAM berat (genocide) yang terjadi di bumi Papua seperti yang dituduhkan para aktivis separatisme Papua, bahwa apa yang dilakukan Australia adalah bentuk sikap bermusuhan dan melegalisasi tuduhan pelanggaran HAM berat di Indonesia,

Secara internal 

Melakukan pengusutan tuntas terhadap kasus kerusuhan Abepura, Papua.

 Merangkul semua elemen masyarakat Papua untuk bersama-sama mencari solusi yang terbaik bagi bangsa dan negara RI (hal ini lebih sulit dalam hal implementasi di lapangan).

 Mencari bukti keterlibatan asing dalam kasus Papua. 

Para pemimpin bangsa ini agar tidak serta merta mengeluarkan pernyataan yang bersifat tuduhan yang menyudutkan saudara sebangsa sendiri (politisasi). Akan lebih baik jika kita memfokuskan perhatian dan stamina kita untuk mengantisipasi ancaman dari luar. Kasus ini adalah murni masalah harga diri dan martabat Indonesia, tidak perlu kita larut dalam kepentingan politik sesaat.

 Melakukan pemberdayaan intelijen nasional baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini sangat penting artinya untuk menangkal ancaman-ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Sebagai contoh, pembentukan aturan hukum yang jelas bagi kalangan intelijen nasional lebih urgent ketimbang RUU APP misalnya.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat, paling tidak, menimbulkan kesadaran berbangsa dan semoga dalam tataran lebih luas dapat memberikan alternatif wawasan dalam menanggapi sikap Australia. Semoga Tuhan YME melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Amin !!